“Terdapat empat nilai Islam progresif yaitu berpikir logis, aktif memperbaiki diri, bekerja keras, dan meyakini kemampuan diri . Diskusi ini bertujuan untuk melihat pengaruh empat nilai tersebut kepada mahasiswa melalui AIK,” ujar Anisia Kumala Masyhadi saat menjelaskan hasil penelitiannya dalam forum diskusi berkala tentang Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, di PP Muhammadiyah Cik Ditiro pekan lalu.

Lebih jelasnya Anisia menjelaskan rumusan masalah penelitiannya merujuk pada tiga pertanyaan yaitu apakah keyakinan pada nilai-nilai Islam progresif berpengaruh pada inisiatif pertumbuhan diri mahasiswa PTM? Bagaimana profil nilai Islam progresif mahasiswa PTM, adakah nilai tertentu yang mendorong mereka untuk melakukan perbaikan diri?. “Dan yang terakhir darimana atau dari siapa mahasiswa PTM memperlajari dan memperoleh nilai-nilai Islam progresif?” tambah Anisia.

Data menunjukan, dari 285 mahasiswa dari seluruh PTMA yang tersebar di Indonesia, 6,4% tercatat memiliki inisiatif pertumbuhan diri atau upaya aktif untuk maju dan berkembang. Hasil ini menyimpulkan, empat nilai islam memiliki pengaruh yang sangat kecil terhadap inisiatif diri mahasiswa di PTMA. “Ada sekian puluh persen yang bukan berasal dari nilai Islam, dan itu berasal dari sumber yang lain,” lanjutnya.

Di antara empat nilai Islam progresif, dua nilai yang berpengaruh yaitu berpikir logis dan memperbaiki diri. Sedangkan dua lainnya tidak memiliki peran yang signifikan dalam mempengaruhi diri. Dengan kata lain nilai Islam progresif tidak serta merta menjadi nilai penting bagi pertumbuhan diri mahasiswa. “Ada faktor lain yang berperan di luar empat nilai ini yang tidak tergali melalui penelitian ini,” tegas Anisia.

Jika dilihat dari tokoh yang berperan dalam menanamkan nilai Islam, peran pengajar masih tergolong kecil. Jika diasumsikan, pengajaran keislaman di perguruan tinggi belum optimal menggali dan menanamkan pentingnya nilai dan aktifitas yang berorientasi pada perubahan dan kemajuan. “Sementara dosen mata kuliah agama (AIK) belum berperan secara kuat dalam mengenalkan atau memberi penguatan pada nilai-nilai kemajuan ini.

Adanya fakta ini memunculkan keresahan bagi Prof Lincolin Arsyad selaku Ketua Majelis Diktilitbang PPM, ia memandang AIK melalui perspektive kaderisasi. “Saya mengamati, kaderisasi kita relatif lambat, adanya kader yang paripurna masih kurang,” paparnya.

Pengamatannya memunculkan beberapa solusi antara lain upaya untuk meningkatkan potensi kaderisasi seperti melakukan kerjasama dengan Lazismu dan fokus untuk menjadikan asrama PTMA sebagai tempat kaderisasi. “Jangan anggap enteng Aslama, Aslama harus menggunakan kurikulum yang baik dengan berbagai ilmu yang mumpuni pula,” lanjutnya.

Ia menambahkan generasi Muhammadiyah berkemajuan itu harus memperbaiki diri dan meningkatkan keilmuwannya. Karena kader sekarang itu tidak cukup hanya dengan AIK saja, namun harus diimbangi dengan ilmu lainnya. “AIK menjadi pondasi dan ditambah ilmu lainnya sebagai pelengkap,” tutupnya.

Tidak hanya itu, Prof Lincolin juga memberikan penekanan bahwa penanaman nilai AIK harus melibatkan seluruh dosen. Harapannya dosen dapat memberikan pengajaran dengan konsep ethic mainstreaming yang dikenal dengan sebutan meta learning approach. Jangan sampai AIK hanya dipahami sebagai ilmu namun tidak ada afektif dan psikomotoriknya. “Al Maun tidak hanya di tafsirkan, namun bagaimana diamalkannya. Penanaman etika juga diperlukan, hal ini harus dipegang oleh semua dosen,”pesannya.

AIK? Jangan Sekedar Teori

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *