Pimpinan Perguruan Tinggi Harus Berkarakter Kuat

Pimpinan perguruan tinggi harus berpikir jauh ke depan. Mengajak dan membangun spirit yang dipimpinnya untuk maju, bersifat dinamis, karena memimpin Perguruan Tinggi itu hakikatnya membangun generasi. Oleh karena itu kepemimpinan yang dibutuhkan adalah kepemimpinan substantif dan berkarakter kuat dan baik, bukan sekedar pemimpin simbolik yang hanya berkutat dengan hal rutin.

Demikian benang merah yang disampaikan Ketua PP Muhammadiyah yang juga anggota Wantimpres Prof A Malik Fajar dan Wakil Ketua Majelis Pendidikan Tinggi PPM yang juga Ketua Umum Aptisi Edy Suandi Hamid dalam sambutan pada acara pelantikan Rektor Universitas Muhammadiyah Purworejo periode 2015-2019 Supriyono MSi di Kampus Perguruan Tinggi tersebut. Saat itu juga diresmikan satu unit gedung baru.

Menurut Prof Malik, dengan tugas berat tersebut kerjasama dan kekompakan pimpinan sangat penting. Dengan demikian Perguruan Tinggi bisa terus bergerak tanpa henti dan terus melakukan. “Ini seperti orang yang mengayuh sepeda,” ujarnya. Ditambahkan, dalan kondisi persaingan yang ketat, Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) tidak boleh merasa khawatir. “Karena bagi Muhammadiyah itu kompetisi dalam kebaikan, fastabiqul khairot. Ini tidak ada finishnya,” katanya.

Sementara itu Edy Suandi Hamid mengingatkan agar Rektor bisa terus mengembangkan budaya akademik dan benar-benar menjaga norma akademik. Kasus seperti pengeluaran ijazah aspal yang terjadi sekarang ini tidak boleh dan tidak akan terjadi di Muhammadiyah.

Pendidikan Muhammadiyah tidak sekedar berorientasi kuantitas, tapi kualitas, karenanya norma akademik harus dijaga secara ketat.

“Kasus penerbitan ijazah aspal itu sungguh menodai dunia pedidikan kita karena pelakunya ada di dalam kampus. Ini berbeda dengan kasus ijazah palsu yang terjadi pada waktu lalu. Karenanya oknum pelaku penerbitan ijazah aspal ini harus ditindak tegas” kata Edy Suandi Hamid.

Diingatkan pula, Perguruan Tinggi tidak harus berlomba meluluskan alumni dan mencetak ijazah saja. namun yang lebih penting adalah bagaimana menghasilkan insan yang bermanfaat bagi masyarakat; sehingga berperan mewujudkan Indonesia berkemajuan dan berperadaban. “ini berarti memcetak manusia berahlak dan berkompetensi tinggi dan berdaya saing,” ujarnya.

Sumber : APTISI

UMM Ciptakan Alat Pengukur Kemampuan Bahasa Inggris

Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur, menciptakan alat pengukur kemampuan berbahasa Inggris bagi mahasiswa maupun masyarakat yang diberi nama Test of Academic English Proficiency (TAEP).

Direktur Language Center (LC) UMM, Dr Masduki, mengemukakan alat tes (TAEP) tersebut sedang diajukan hak patennya ke Kementerian Hukum dan HAM pada awal tahun 2015.

Meski belum mendapatkan hak paten, Komisi Eropa justru sudah mengakui alat ukur pengetahuan berbahasa Inggris yang dibuat UMM sejak tahun 2012 tersebut.

“TAEP ini setara dengan alat Test of English as Foreign Language (TOEFL) maupun IELTS. Tahun lalu, mahasiswa UMM yang mengikuti program beasiswa Erasmus Mundus ke Eropa hanya melampirkan dokumen TAEP tanpa disertai TOEFL atau IELTS, namun tetap diakui oleh Komisi Eropa,” katanya, Kamis (20/3).

Oleh karena itu, pihaknya mempercepat pengajuan hak paten untuk alat tersebut ke Kementerian Hukum dan HAM. Pengajuan hak paten tersebut sudah dilayangkan pada awal tahun 2015 dan harapannya hak paten itu segera turun.

Ia menjelaskan bentuk TAEP tidak jauh berbeda dengan alat pengukur lainnya, seperti TOEFL, IELTS, atau alat tes setara lainnya yang diberlakukan di hampir negara seluruh dunia, sebab bentuk alat pengukurnya juga berupa tes pilihan ganda, lisan, dan isian.

Perbedaan TAEP dengan alat pengukur lainnya, kata Masduki, baru terasa saat tes “listening”. TAEP memiliki suara aksen bahasa Inggris yang beragam karena UMM melibatkan mahasiswa dari berbagai belahan dunia, seperti Brasil, Italia, Jepang, Nigeria, Polandia, Prancis, Singapura, Spanyol, Uzbekistan, dan sejumlah negara lainnya untuk mengisi suara tes listening tersebut.

Alasan melibatkan mahasiswa dari berbagai negara di belahan dunia ini, katanya, karena disesuaikan dengan status bahasa Inggris sebagai bahasa global, tidak hanya milik Amerika atau Inggris saja, sehingga TAEP ini bisa dikatakan lebih globish atau Global English.

Ia mengakui selain bisa digunakan dan dimanfaatkan masyarakat umum dengan biaya murah, yakni hanya Rp50 ribu per test, keberadaan TAEP tersebut secara internal juga sangat menguntungkan mahasiswa karena mereka bisa terhindar dari test TOFL atau IELTS ilegal atau yang hanya akal-akalan saja.

“Secara umum, biaya tes TOEFL dan IELTS rata-rata sekitar Rp500 ribu untuk sekali tes dan TAEP hanya Rp50 ribu, bahkan saya jamin mahasiswa atau masyarakat umum yang mampu mengerjakan soal-soal TAEP dan hasilnya bagus, pasti hasilnya akan bagus juga ketika mengikuti tes sejenis, termasuk yang diselenggaran TOEFL maupun IELTS,” ujarnya.

Sumber : REPUBLIKA