Syafii Maarif, Inspirasi Moral, Budaya dan Humanisme

Puncak acara Milad 50 UMM berbarengan dengan Milad 102 Muhammadiyah diwarnai dengan pemberian UMM Award pada delapan Tokoh Muhammadiyah yang di usia lebih 70 tahun tetap berkhidmat dan berjuang untuk umat dan bangsa. Rektor UMM, Prof. Dr. Muhadjir Effendy, menyerahkan penghargaan tersebut disaksikan 5000 undangan di UMM Dome, Ahad (07/12). Berikut adalah profil singkat salah satu tokoh tersebut, Prof. Dr. HA Syafii Maarif.

Ahmad Syafii Maarif lahir di Sijunjung, Sumatera Barat pada 31 Mei 1935. Ia adalah mantan ketua umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah periode 1998-2005, menggantikan Amien Rais yang pada 1998 mendirikan dan memimpin Partai Amanat Nasional (PAN). Sikap Syafii yang moderat dan bersahaja membuat Muhammadiyah di era kepemimpinannya amat disegani oleh berbagai kalangan dari latar politik, agama, dan budaya yang berbeda.

Dalam kancah internasional, Syafii pernah menjadi presiden World Conference on Religion and Peace (WCRP) sebagai forum tokoh-tokoh lintas agama dunia bermarkas di New York yang mempromosikan agama sebagai instrumen perdamaian dan anti-kekerasan. Hal itu tak lepas dari sosoknya sebagai cendekiawan Muslim yang pluralis dan sangat mementingkan nilai-nilai moral dalam beragama. Hingga saat ini, ia senantiasa dipandang sebagai tokoh bangsa yang sangat tegas mengawal gerakan moral dan kemanusiaan.

Syafii memulai pendidikannya pada Sekolah Rakyat (SR) di Sumpur Kudus pada 1942. Pada saat itu, selain mengikuti sekolah formal, ia juga belajar agama di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah sore harinya dan belajar mengaji di surau malam harinya. Ia tamat SR pada 1947, namun karena beban ekonomi, ia baru bisa meneruskan sekolahnya di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Balah Tengah, Lintau, Sumatera Barat, pada 1950, dan berlanjut di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta hingga tamat pada 1956. Berbekal ilmu dari Muallimin, Syafii merantau ke Lombok Timur dan mengabdi selama setahun di sekolah Muhammadiyah.

Gelar Sarjana Muda diraih Syafii dari Universitas Cokroaminoto pada 1964, sedangkan gelar Sarjana ia peroleh dari IKIP Yogyakarya (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta/UNY) empat tahun kemudian. Selanjutnya, gelar Master of Arts diraihnya dari Ohio University, Amerika Serikat (AS) pada 1979 dan gelar doktoralnya diperoleh dari University of Chicago di negara yang sama pada 1983. Selama di Chicago inilah, Syafii secara intelektual dibimbing tokoh pembaharu Islam Fazlur Rahman serta terlibat diskusi intensif dengan Nurcholish Madjid dan Amien Rais yang juga tengah belajar di tempat yang sama. Kepakarannya kian lengkap setelah menjadi Guru Besar Ilmu Sejarah pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) IKIP Yogyakarta (sekarang Fakultas Ilmu Sosial UNY).

Sekalipun memiliki akar Muhammadiyah yang kuat, Syafii baru benar-benar aktif di persyarikatan pada 1985 saat diajak Amien Rais menjadi anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah. Lima tahun setelahnya, yaitu saat Muktamar ke-42 di Yogyakarta pada 1990, ia terpilih dalam formatur 13 PP Muhammadiyah dan kemudian diangkat sebagai bendahara PP. Saat itu PP Muhammadiyah dipimpin Ahmad Azhar Basyir hingga wafat pada 1994 dan bola kepemimpinan jatuh pada Amien Rais di mana Syafii lantas dipercaya sebagai salah satu wakil ketua.

Sejak Desember 1998, yaitu saat Sidang Tanwir PP Muhammadiyah di Bandung, Syafii diberi amanah sebagai ketua umum PP Muhammadiyah setelah Amien memimpin PAN. Praktis, terhitung hingga Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada Juli 2005, ia telah memimpin Muhammadiyah selama tujuh tahun. Selama masa itu, ia begitu energik mengunjungi warga Muhammadiyah hingga pelosok wilayah Indonesia. Ia juga menjadi payung intelektual yang menginspirasi lahirnya para pemikir muda Muhammadiyah hingga banyak di antaranya yang saat ini menjadi pemikir kaliber nasional.

Di mata para kolega, baik dari kalangan Muhammadiyah, NU, maupun tokoh-tokoh non-muslim, Syafii dikenal sebagai sosok jujur dan kukuh menjaga moral. Itulah sebabnya, ia dapat dengan mudah diterima semua kalangan, termasuk oleh kelompok politik di negeri ini sehingga nasehat-nasehatnya selalu didengar sebagai landasan moral pengambilan berbagai kebijakan.

Sifat-sifat itu pula yang menginspirasi berbagai tokoh untuk mendirikan Maarif Institute for Culture and Humatity yang concern pada gerakan ilmu, pemikiran, budaya dan kemanusiaan. Sebuah lembaga yang didirikan untuk menyebarluaskan pemikiran Syafii dalam konteks keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan.

Kisah hidupnya yang inspiratif, membuat masa kecil Syafii dinovelkan oleh sutradara Damien Dematra dengan judul “Si Anak Kampoeng”. Novel ini telah difilmkan dan meraih enam penghargaan pada American International Film Festival (AIFF). (han)

Sumber : www.umm.ac.id