SEMI PINGGIRAN: POSISI OPTIMUM INDONESIA

Kutukan Sejarah Berkelanjutan dalam Globalisasi Barat dan Timur?
Oleh:  Suwarsono Muhammad

Apa yang Dicari: Dimana Posisi Ekonomi Politik Indonesia?
Tulisan ini berusaha mengenali posisi ekonomi politik Indonesia dalam konteks panggung kesejagadan dan kompetisi peradaban dunia:  dulu dan sekarang.  Untuk keperluan itu hendak digunakan pendekatan sejarah yang berdimensi waktu panjang.  Apakah sesungguhnya Indonesia, yang pada masa lalu yang jauh diwakili oleh “kemaharajaan” Sriwijaya dan Majapahit pernah meraih posisi berdiri gagah ditengah pusaran peradaban dunia.   Dalam bahasa akademik,  adakah kedua entitas imperium tersebut dapat dinilai sebagai salah satu pusat peradaban dominan dunia (core/heartland)?  Ataukah malah hanya berada pada posisi pinggiran (periphery) sebagai dependensia atau paling puncak sebagai semi pinggiran.  Tentu saja usaha pencarian tersebut dilakukan secara komparatif, dengan secara seksama membandingkan dengan posisi yang digenggam oleh negara atau imperium lain: Imperium Islam, China, dan India.  Ketika sekarang dunia berada dalam hegemoni Barat yang merupakan satu-satunya peradaban dominan dunia, adakah Indonesia mengalami pergeseran perbaikan posisi atau justru sebaliknya.
Dengan demikian, sesungguhnya tulisan ini mau tidak mau bersinggungan dengan proses pasang naik dan surut sebuah peradaban.  Mengapa peradaban tertentu mampu meraih masa gemilang dalam satu penggalan tertentu sejarah panjang dunia?  Dan mengapa bekembang terus dan pada saaatnya menjadi peradaban dominan?  Variabel apa yang menjadi penjelasnya?  Bagaimana proses pencapaian menuju masa puncak kejayaan itu diraih?  Setelah cukup lama menjadi peradaban dominan – menjadi acuan dan standar bagi yang lain – mengapa sepertinya menjadi sebuah keniscayaan peradaban dominan itu mengalami kemunduran dan akhirnya hanya berdiri di pinggiran dunia?  Bagaimana proses degeneratif itu terjadi?  Adakah sisa-sisa sejarah masa lalu dapat menjadi inspirasi yang dapat digunakan sebagai modal kembangkitan kembali di masa-masa yang akan datang?  Tidak lupa, pertanyaan juga diajukan untuk mengenali masa transisi ketika terjadi pergantian peradaban dominan masih dalam proses: kekuatan lama mengecil dan kekuatan baru sedang dalam proses terbentuk.  Itulah beberapa pertanyaan pokok yang menjadi perhatian tulisan ini.  Pertanyaan besar yang sudah sering dihindari, bahkan terlupakan.

Momentum Pencarian
Ada masa-masa tertentu ketika sejumlah akademisi – umumnya sejarahwan profesional maupun amatir – yang sepertinya secara tiba-tiba bersedia menyisihkan waktu dan energi mereka yang begitu berharga tetapi terbatas itu untuk menengok ulang sejarah dan pasang surut peradaban (civilisasi) dunia.  Salah satu kemungkinannya terjadi ketika peradaban yang sedang memegang hegemoni dunia terancam – internal dan eksternal – berpindah posisi dari pusat (core) ke posisi pinggiran.  Perpindahan posisi yang sungguh amat menakutkan.  Mereka terlihat sadar sepenuhnya untuk tidak perlu menunggu sampai ancaman itu terlihat dengan jelas, atau menunggu sampai pada masa ketika benar-benar terjadi pergantian posisi.  Sekalipun dipastikan memerlukan waktu lama – biasanya berabad-abad – pintu itu tidak pernah sepenuhnya tertutup selamanya.  Sejarah sudah membuktikannya:  ada pergantian pemegang hegemoni dunia.
Jangan lupa bahwa ancaman penurunan posisi bagi satu peradaban tertentu selayaknya juga dapat diartikan sebagai kemungkinan adanya peluang bagi peradaban lain untuk menggantikannya.  Yang disebut terakhir, dengan demikian, sedang dalam proses menempati posisi hegemonis yang sebelumnya ditempati dan kini mulai ditinggalkan oleh peradaban lain.  Setidaknya mereka mengenali adanya kemungkinan peluang itu.  Bukan tidak mungkin telah ditunggu demikian lama  Dan inilah sesungguhnya merupakan jenis momentum kedua untuk menjenguk kembali tentang pasang surut peradaban.  Ancaman untuk mengalami penurunan ke posisi surut dan sebaliknya peluang untuk meraih posisi pasang dapat menjadi pendorong lahirnya gairah kajian akademik utuk belajar lembali.
Setidaknya itulah yang juga dikatakan oleh Ferguson (2011: xv-vi).  Disamping pernyataannya bahwa pertanyaan pokok yang hendak dijawab oleh bukunya  – Civilization: the West and the Rest – “seems….. the most interesting question a historian of the modern era can ask,” ia juga memiliki pertanyaan kedua.  “My subsidiary question is this: if we can come up with a good explanation for the West’s past ascendancy, can we then offer a prognosis for its future? Is this really the end of the West’s world and the advent of a new Eastern epoch?”  Kegelisahannya lahir pada dasawarsa pertama abad 21 yang sepertinya lebih banyak ditandai oleh krisis ekonomi yang sudah relatif  lama, dimulai di Amerika Serikat pada akhir tahun 2007 yang kini masih terus berlanjut dan juga terjadi di Eropa dengan tingkat intensitas yang tidak lagi ringan.  Bahkan ia telah melihat celah kecil kembalinya era Timur, sekalipun belum tersedia tanda-tanda signifikan.  Pikiran serupa juga dimiliki oleh Abu-Lughod (1989: 352-73).
Kedua, dan ini lebih menarik, ternyata pesona sejarah peradaban tidak pernah hilang, selalu memiliki daya panggil untuk menyingkap misteri yang mengitarinya.  Ada saja sisi sejarah yang masih gelap, belum terungkap dan oleh karena itu juga menanti jawaban – dengan tidak perlu terlalu risau derajat kesementaraan jawaban yang disajikan.  Selalu saja terbuka ada kejutan fakkta sejarah, yang pada mulanya dianggap kemuskilan.  Transformasi sosial, misalnya, selalu menyimpan rahasia kelahirannya.  Bagian yang telah menemukan jawaban ternyata juga mengundang tafsir baru, apalagi ketika pisau analisis yang tersedia bisa digunakan untuk melihat persoalan yang sama dari sudut pandang (angle) berbeda.  Apalagi jika ternyata tersedia bukti-bukti baru, yang hampir bisa dipastikan terus berdatangan.  Olson (1982: 1) menegaskan bahwa “Many have been puzzled by the mysterious decline or collapse of great empires or civilization and by the remarkable rise to wealth, power, or cultural achievement of previously peripheral or obscure people.  The collapse of the Roman Empire in the West and its defeat by scattered tribes ….. is only one of many puzzling examples.”
Tidak berbeda jauh dengan peradaban Barat dan empat peradaban dunia lainnya – Cina, India, Jepang, dan Yahudi – yang merupakan peradaban dominan,  peradaban Islam juga menyimpan misteri:  memiliki pesona masa lalu luar biasa sekaligus bisa memberikan inspirasi pembelajaran masa depan (lihat Muhammad, 2015).  Sekalipun peradaban Indonesia belum pernah memiliki pengalaman sejarah sejajar dengan enam peradaban dominan tersebut, pasti juga ditemukan alasan untuk memberikan legitimisasi akademik tentang pentingnya mengenali lebih jauh dan dalam tentang masa lalunya dan kemungkinan peta perjalanannya di masa depan.  Adakah sejarah bisa menjadi pelajaran sebagai penerang penunjuk jalan atau sebaliknya sejarah itu terus berulang sebagai sebuah kutukan – jika boleh disebut begitu.  Uraian yang baru saja ditulis dalam bagian ini mendasari rumusan pertanyaan yang hendak dicari jawabnya dalam tulisan ini.

Pergeseran Peradaban Dominan Dunia
Jika dibuat ringkas, setidaknya tersedia tiga penggalan sejarah jika dihitung sejak dari tahun 1 (satu) Masehi.  Tiga periode itu dibuat berdasarkan adanya pergantian siapa yang memegang hegemoni dunia, dengan pengertian yang unik dan kontekstual pada zamannya.  Sampai dengan kurang lebih akhir abad ke 5 (lima), Bizantium (Romawi Timur) dan Persia menjadi imperium yang mengendalikan dunia.  Setelah melalui masa transisi – kurang lebih selama 1 (satu) abad –  Islam, China, dan India tampil kepermukaan menggantikan penguasa lama.  Periode emas (golden age) ini berjalan kurang lebih sampai pada akhir abad empat belas ketika Globalisasi Timur berakhir.  Masa kejayaan Islam sendiri terhitung dalam kurun waktu yang lebih pendek. Pada masa itu Barat berada dalam masa kegelapan (dark age).
Setelah melalui masa transisi kurang lebih selama 1 (satu) abad, sejak abad 15 (lima belas) – yang kemudian diikuti oleh Revolusi Industri di Inggris dan Revolusi Perancis – Barat mulai memegang kendali dunia, dan boleh dikata terus berlangsung sampai sekarang.  Pada masa inilah  ketimpangan dunia terlihat begitu signifikan dan transparan.  Barat maju dan makmur, belahan dunia lain tertinggal jauh.  Ada yang menyebutnya dengan masa the Great Divergence.  Adakah kini, setelah millenium baru abad 21 (dua puluh satu) berjalan dua dasawarsa, masa transisi pergeseran pemegang hegemoni dunia mulai terlihat ke permukaan?  Adakah tanda-tanda paling awal ditemukan?  Siapa yang hendak menggantikan?  Adakah Globalisasi Timur kembali datang?  Adakah Barat juga tetap menjadi salah satu peradaban dominan?

Kelahiran Kembali Globalisasi Timur:  Indonesia dalam Tanda Tanya.
Dasawarsa pertama dan kedua abad 21 ini boleh dikata sebagai dasawarsa istimewa yang tidak boleh terlewatkan dari pengamatan, jika dilihat dari perspektif sejarah panjang peradaban.  Pada masa ini terbuka kemungkinan ada tidaknya pergantian siapa yang hendak (atau terus) menjadi pemegang hegemoni dunia, secara ekonomi, politik, dan kebudayaan.  Sungguh beruntung bisa menyaksikan secara langsung panggung sejarah yang kini terlihat begitu gegap gempita ketika tanda-tanda paling awal terbukanya pintu transisi dan difusi kekuasaan global.  Dalam bahasa populer dapat dikatakan bahwa globalisasi sedang dalam proses bergeser dari Barat ke Timur.  Masa transisinya mulai terlihat agak transparan.  Barat sedang dalam posisi menurun, dan sebaliknya, Timur sedang dalam posisi menaik.  Babak sejarah baru sedang dalam proses penciptaan.  Bukankan pada masa lalu pasang surut peradaban juga sudah pernah terjadi? (lihat Diamond, 2005a, 2005b;  Kennedy, 1989;  dan Moyo 2011).

Dengan menoleh kebelakang dengan rentang waktu yang relatif agak jauh, globalisasi Timur pernah mewujud pada tahun-tahun 1250-1350an.  Setidaknya itulah pendapat Janet L. Abu-Lughod (1989) dalam buku klasiknya Before European Hegemony.  Sekalipun  yang terlibat  lebih terbatas pada “negara kota” dari banyak imperium yang ada dan lebih fokus pada perdagangan, globalisasi Timur ketika itu memiliki beberapa poros pengendali hegemoni (multipolar), tidak seperti globalisasi Barat sekarang yang cenderung dihegemoni oleh satu kekuatan saja (unipolar): Barat.   Karakteristik banyak poros (kutub) itu merupakan keunikan dan keunggulannya.  Lebih penting dari pada itu, ia juga dengan jelas memprakirakan bahwa  globalisasi Timur akan kembali datang di masa depan.

Kemungkinan inilah, yang dalam waktu belum lama ini, dijelaskan dengan detail oleh  Mahbubani (2011) yang dengan tegas menyatakan tentang kemungkinan yang tidak terelakkan dari bergesernya kekuatan global ke arah timur.  Dalam tulisannya yang lebih baru, ia (2013)  menyebutnya sebagai “the Great Convergence.”  Ia tidak saja menguraikan besarnya kemungkinan, tetapi juga menjelaskan hambatan eksternal dan internal yang menghadang dan sekaligus menunjukkan strategi yang perlu dipilih – formula 7-7-7- untuk menjadikan pergeseran hegemoni ini sebagai peristiwa besar dunia yang wajar dan tidak perlu (dan tidak harus) dengan  kejutan.  Sebutan serupa juga digunakan oleh penulis lain, misalnya Spence (2011), dengan menggunakan istilah “the Next Convergence.”

Barat Turun?

Krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat (AS) yang dimulai pada menjelang akhir tahun 2007 pada mulanya diperkirakan hanya berlangsung singkat karena dinilai tidak terkait dengan variabel struktural.  Digambarkannya sebagai hurup V, menurun sebentar dan segera kembali bangkit.  Yang terjadi kemudian, ternyata sampai dengan awal 2013 belum ditemukan obat mujarab untuk mengatasi krisis tersebut.  Gambarnya bisa berubah menjadi layaknya huruf U atau bisa juga huruf W atau dengan gambar lain yang tampak lebih abstrak.  Bahkan yang terjadi kemudian dan sampai kini masih berlanjut, krisis menyebar kebelahan bumi lain, terutama Eropa, dengan tingkat kedalaman krisis yang lebih parah.

Pada masa awal krisis, hanya sedikit ilmuwan (baca: ekonom) yang melihatnya sebagai sebuah pertanda awal kemungkinan penurunan keunggulan Barat.  Salah satu yang jeli adalah Roubini (dan Mihm: 2010).  Mereka, sesungguhnya, termasuk amat sedikit ekonom yang sejak tahun 2006 telah memprakirakan datangnya krisis itu dan sedari mula melihat setidaknya sebagai depresi kecil.  Pendapat yang pada mulanya terkesan agak ganjil ini, ternyata kemudian diikuti oleh pengamat lain.  Dengan membandingkannya dengan kinerja ekonomi China, Ferguson (2012) misalnya, menyatakan bahwa jarak antara China dan Amerika kian mendekat, setelah sejak tahun 1500 jarak keduanya terus menjauh (the great divergence).  Lebih jauh dia katakan (2012: 2) bahwa “This great reconvegence is far more astonishing historical event than the collapse of communism that Fukuyama so astutely anticipated.”  Dengan data yang lebih kuantitatif dan menggunakan indikator ekonomi yang lebih lengkap , pernyataan serupa juga disampaikan oleh Mahbubani (2013) dalam buku terbarunya The Great Convergence.  Bahkan Bremmer (2012) menyatakan bahwa kini negara hanya berpikir dan bertindak untuk menjaga kepentingannya sendiri-sendiri, tidak ada lagi negara yang memiliki kekuatan yang cukup untuk menjadi polisi dunia.

Timur Naik?

Disisi yang lain ditemukan fakta bahwa gelora semangat dan harapan bagiTimur (China, Brasil, India, Rusia,dan Afrika Selatan,  misalnya) yang memiliki kekuatan dan peluang untuk menjadi pemimpin baru dunia.  Satu posisi yang begitu terhormat dan biasanya bertahan untuk waktu yang lama (beberapa abad), seperti yang sudah terlihat dalam sejarah.  Disisi lain terlihat wajah-wajah yang sepertinya penuh kekhawatiran dan kecemasan (dan tampak mulai lelah) ketika kini posisi terhormat mereka – Amerika Serikat (AS) dan Barat – sebagai pemegang supremasi dunia mulai goyah (baca: terancam) dengan tingkat ancaman tertinggi, yang belum pernah terjadi sebelumnya.  Akankah zaman itu segera berlalu?

Dalam batas-batas tertentu ancaman tersebut kadangkala masih dicoba disembunyikan untuk tidak diakui.  Di waktu yang lain, mereka masih mencoba meyakini bahwa ekonomi pasar (baca: kapitalisme) tetap bisa bertahan karena kemampuan adaptasi yang selama ini telah terbukti terlewati beberapa kali, sekalipun harus dengan perubahan komposisi DNA (Kaletsky, 2010;  Malloch-Brown, 2011; Nye, Jr, 2011). Ada yang mengatakan bahwa revolusi global belum berakhir (the Unfinished  Gl-b-l  R-v-lution), dan ada pula yang menamainya dengan Kapitalisme 4,0.  Takaran perbandingan antara pasar dan negara (ekonomi dan politik) dicoba diramu dengan resep yang lebih fleksibel: eksperimen baru yang sepertinya masih menunggu waktu untuk terbukti.  Atau justru sebaliknya pemenang perang antara pasar (baca: perusahaan, bisnis) dan negara telah terlihat dengan terang benderang dan gamblang (Bremmer, 2010).

Tahun-tahun terakhir ini dengan demikian memiliki makna yang berbeda bagi Barat dan Asia.  Jika dibuat sederhana rasanya tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa, Barat – Eropa dan Amerika Serikat (AS) – berada dalam masa penurunan, setelah sekian lama kurang lebih selama lima abad mendominasi dunia.  Bisa dipastikan ketika ekonomi sakit – tidak tumbuh atau malahan tumbuh negatip – kemiskinan dan pengangguran akan bertambah dengan signifikan.  Sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa mereka akan kehilangan satu dasawarsa pembangunan (lost decades) (Chin dan Frieden, 2011).   AS dan Eropa memiliki pengalaman baru, setelah sejak Perang Dunia II berakhir ekonomi, politik, dan budaya mereka selalu dalam posisi pasang naik.
Pengalaman berbeda dimiliki oleh Asia.  Kini ia dianggap sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dunia, bahkan sebagai mesin penggerak ekonomi dunia.  Asia dijadikan tempat bergantung bagi dunia.  BRICS, khususnya China dan India (Chindia) benar-benar tahan terhadap goncangan krisis di Barat.  Sepertinya tidak sedang terjadi gangguan apa-apa.  Yang ada hanya optimisme  bahwa abad sekarang ini memang milik Asia.  Pergeseran kekuatan global ke Timur – yang mungkin berupa Globalisasi Timur Multi Polar – sepertinya tidak hendak terelakkan.  Asia adalah hemisfer baru dunia, kata Mahbubani (2011).  Hampir secara otomatis dengan demikian bisa dipastikan posisi tawar ekonomi, politik, dan budaya Asia akan meningkat dengan signifikan dalam waktu yang tidak lama lagi.  China harus dikatakan berdiri paling depan, setidaknya terlihat dari capaian pertumbuhan ekonomi tinggi yang berkelanjutan, proses berdirinya Bank Investasi Infrastruktur (Investment Infrastructure Bank/IIB), dan gemuruh politik dan keamanan di Laut Tiongkok Selatan, sekalipun terlihat ada ada kekurangan dalam  demokrasi politik dan hak azasi manusia.

Skenario Lain: Barat dan Timur Berada di Puncak
Namun demikian, apa yang diprakirakan tentang masa depan tetaplah bukan skenario tunggal.  Globalisasi Timur hanya salah satu kemungkinan, sekalipun skenario ini sering dinilai memiliki kemungkinan terbesar.  Dapat saja terjadi Barat dan Timur bekerja sama sebagai dua kekuatan baru yang relatif seimbang.  Dunia dengan struktur baru terbentuk.  Bahkan tidak boleh dilupakan tetap saja ada kemungkinan bahwa Barat kembali berjaya sendirian, dengan kemungkinan yang relatif kecil untuk mewujud.  Setidaknya skenario terakhir ini disampaikan oleh Overveldt (2015) dengan mengandalkan pada tiga keunikan kekuatannnya:  demokrasi dan masyarakat melting pot, teknologi, dan kewirausahaan. Yang tidak diiinginkan adalah jika dua kekuatan  dunia – Barat dan Timur – itu tidak sanggup melakukan dialog konstruktif, yang seyogyanya sudah harus dimulai sejak sekarang.  Jika ini terjadi akan membawa hasil yang juga teramat jelas: kekacauan dunia.  Dunia berada dalam genggaman mereka yang tidak kenal peradaban.

Bertanya tentang Indonesia:  Pinggiran atau Semi-Pinggiran
Ketika dua aktor lama  – China dan India – telah menunjukkan keunggulan ekonomi politiknya dan kini bersiap untuk kembali menempati posisi terhormat pemegang hegemoni dunia, tidakkah seharusnya Indonesia juga tergerak hati nuraninya untuk mengikuti peta jalan kemajuan yang semestinya telah terlihat dengan lebih jelas.  Tidak lagi perlu berdebat keras apakah akan terjebak dalam posisi dependensia struktural atau justru akan melihat jalan terang dan kemudian ikut terdongkrak naik posisi.  Keputusan bergabung dengan globalisasi memang tidak bisa terrelakkan dan disaat yang sama kemungkinan benefit yang diraih juga sudah terlihat ada buktinya.  Dengan menambah sedikit kecerdikan, rasanya tidak berlebihan jika Indonesia sesungguhnya juga berhak memiliki harapan.
Untuk kesekian kalinya, kesempatan itu hampir atau malahan sudah terlewatkan..  Era minyak dengan mudah berlalu begitu saja, seakan tanpa bekas.  Demikian pula era batubara dan kelapa sawit.  Sekarang ini hendak dinyatakan sebagai era ekonomi kreatif dan pariwisata – yang dipastikan memerlukan prasyarat keberhasilan yang lebih kompleks.  Tengok saja kinerja Indonesia pasca krisis ekonomi sosial politik tahun 2007.  Tidak ada prestasi yang menonjol yang boleh disebut hebat (great) hampir pada semua aspek peradaban, dari yang paling ringan tetapi penuh makna simbolik (olah raga dan diplomasi) sampai pada yang paling kongkrit dan kasat mata (ekonomi dan teknologi).  Bahkan yang dijumpai justru adanya beberapa penurunan kinerja, dari ketimpangan ekonomi sampai pada soal moral dan integritas (de Silva dan Sumarto, 2014:  227-42;  Miranti, Duncan, dan Cassells, 2014:  461-83).  Ekonomi dan politik semakin jauh dari inklusif (secara bersama dinikmati) dan terus bergerak ke arah ekslusif (dinikmati pihak-pihak tertentu saja), jika menggunakan pikiran Acemoglu dan Robinson (2012).  Kebudayaan dan keIndonesiaan juga mulai pudar, tahap awal untuk retak.  Penilaian tersebut mungkin menyakitkan, tetapi sesekali perlu dikatakan dengan lebih lugas dan transparan.
Jika tidak ada prestasi yang menonjol hebat, lantas apa yang telah diraih selama lebih dari satu dasawarsa terakhir ini?  Pasti ada dan banyak, tetapi semuanya dalam kategori biasa-biasa saja  (medium).  Untuk sekedar contoh sebut saja pertumbuhan ekonomi.  Bisa diraih angka disekitar enam persen dan kini sekitar lima persen per tahun, lebih baik dari pada pertumbuhan ekonomi banyak negara miskin lain dan juga negara maju, tetapi jauh lebih rendah dibanding China dan India (Howes dan Davies, 2014:  157-84).  Demikian banyak penulis yang kecewa karena prakiraan mereka tentang kemungkinan kebangkrutan dan kematian Indonesia yang tidak kunjung tiba.  Entah untuk masa yang akan datang ketika sumber daya alam sebagai salah satu elemen terpenting penyelamat Indonesia kini sudah semakin menipis dan tidak lagi memiliki pasar global yang menjanjikan.  Masihkah ada penyelamat yang lain?
Jika ternyata Indonesia hanya mampu meraih kinerja serba medium (tanggung-tanggung saja), rasanya tidak berlebihan jika orang kemudian mengajukan pertanyaan apakah kinerja dengan skala itu memiliki makna signifikan untuk melakukan lompatan menuju proses konvergensi: setara dan terhormat di kancah dunia.  Jangan tanya soal kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan berkepribadian secara budaya.  Jauh panggang dari api.  Omong kosong.  Dalam bahasa gaul anak muda itu namanya Omdo.  Dengan kinerja medioker Indonesia secara relatif dan komparatif tetap tertinggal dan semakin jauh berdiri di paling belakang: di pinggiran atau masksimum sampai pada posisi semi-pinggiran.  Dan ini yang lebih penting: dari dahulu sampai kini prestasi Indonesia selalu berhenti pada tingkatan medium.  Persoalan struktural lama juga tidak kunjung berakhir dan dipastikan terus berulang:  pelemahan mata uang rupiah, yang pasti terkait dengan rendahnya produksi dan ekspor di satu sisi dan tingginya konsumsi dan impor di sisi lain.  Klasik dan menjemukan.
Masihkah dapat menemukan keajaiban kinerja yang diraih Indonesia?  Pasti ada dan belakangan ini agak sering dibanggakan:  harmoni, pandai memelihara konflik, dan artistik.  Di luar ketiga hal tersebut, Indonesia juga sering dinilai memiliki keunggulan dalam ketahanan untuk menderita, miskin, dan uniknya selalu bangkit dari krisis.  Sekedar bangkit.  Berdiri pelan tidak sampai tegak.  Jangan minta berlari.  Siapa saja yang mengajak Indonesia berlari cepat dan jangka panjang serta menuntut capaian  serba hebat maka sejak itu pula pasti ada musuh politik yang menghadang, yang diamini dan disyahkan oleh dalil kebudayaan.  Indonesia memang tidak hendak dengan mudah untuk mati.  Mati bukan sekedar persoalan sakit, tetapi memerlukan dua syarat tambahan lagi:  diserang dan tidak ada kawan yang menolong.  Setidaknya itulah kata Diamond dalam Collapse (2005a).
Galau?  Tentu saja tidak.  Dan tidak perlu.  Sudah terbiasa.  Apakah diiperlukan krisis dengan skala yang lebih besar dan dahsyat lagi untuk membuka pintu lahirnya Indonesia Bangkit?

Sriwijaya:  Kerajaan Perniagaan di Semi Pinggiran
Jika digunakan perspektif sejarah nasional, tidak perlu dipersoalkan jika Sriwijaya yang bangkit pada pertengahan abad 7 M dan berkembang dengan pesat sampai abad 11M dan kemudian menurun sampai kejatuhannya kurang lebih pada abad 13M dinilai sebagai sebuah kemaharajaan perniagaan.  Namun jika diletakkan dalam konteks perdagangan dunia, sesungguhnya proses lahir, ekspansi, dan penurunan Sriwijaya hampir sepenuhnya bergantung pada naik turunnya perdagangan yang berlangsung dalam kendali Imperium China.  Sriwijaya sejak semula bukanlah aktor sejarah aktif dan independen, melainkan sekedar memberikan tanggapan aktif-positip pada munculnya peluang dan ancaman ekonomi yang berkembang di wilayah inti: China, yang selalu terkait dengan tingkat intensitas perdagangan yang dilakukan oleh India dan Imperium Islam (Hall, 1981: 70-3).  Proses surutnya bersinggungan dengan ketegangan politik baik dengan China maupun kerajaan-kerajaan di Jawa.
Oleh karena itu tidak heran, ketika ada akademisi yang menjadikan globalisasi (imperium dunia/world system) sebagai unit analisisnya maka posisi Sriwijaya hanya diletakkan sebagai semi pinggiran, misalnya yang dilakukan oleh Abhu-Lughod (1989: 291-315).  Posisi ekonomi politiknya kalah penting dibanding tiga aktor yang lain: China, India, dan Islam, yang ketiganya dinilai berada pada posisi “Mideast Heartland.”  Secara politik juga digambarkan bahwa Sriwijaya sesungguhnya lebih merupakan “a federation of trading ports on the fringe of large areas of forest, ….. not a state with territotial boundaries, but a aseries of interlocked human relationships among harbor principalities…..”  Setidaknya itulah yang dirumuskan oleh Hall (1985: 79).
Akibatnya, dalam bahasa Wolters (1967: 15-30;  229-54) kelahiran dan kejatuhan Sriwijaya itu terkesan spontan – mendadak, karena nasib baik buruknya tidak sepenuhnya berada dalam genggaman tangannya sendiri, sekalipun dalam skala yang lebih kecil perdagangan tradisional antar pulau dan antar negara telah mereka kenal sejak abad 5M (lihat Simkin, 1968: 11-26).  Termasuk didalamnya perdagangan Sriwijaya dengan wilayah pedalaman (Hall, 1985:  78-102).

Daftar Pustaka

Abu-Lughod, Janet L. 1989. Before European Hegemony: the World System A.D. 1250-1350. New York: Oxford University Press.

Acemoglu, Daron dan James A. Robinson. 2012. Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty. New York: Crown Publishers.

Bremmer, Ian. 2013. Kurva J: Strategi untuk Memahami Mengapa Bangsa-bangsa Berjaya dan Jatuh. Jakarta: Kompas Gramedia.

Bremmer, Ian. 2012. Every Nation for Itself: Winners and Losers in a G-ZeroWorld. New York: Penguin Potfolio.

Bremmer, Ian. 2010. The End of the Free Market: Who Wins the War Between States and Corporations?  New York: Portfolio.

Chin, Menzie D. dan Jeffry A. Friedden. 2011. Lost Decades: the Making of America’s Debt Crisis and the Long Recovery. New York: W.W. Norton & Company.

De Silva, Indunil dan Sudarno Sumarto. 2014. Does Economic Growth Really Benefit the Poor? Income Distribution Dynamics and Pro-Poor Growth in Indonesia dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies (BIES), Vol. 50 No. 2, hal.: 227-42.

Diamond, Jared. 2005a. Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed. New York: Penguin Books.

Diamond, Jared. 2005b. Guns, Germs and Steel: A Short History of Everybody for the Last 1300 Years. London: Vintage Books.

Ferguson, Niall. 2012. The Great Degeneration: How Institutions Decay and Economies Die. New York: Penguin Books.

Ferguson, Niall. 2011. Civilization: the West and the Rest. New York: Penguins Book.

Fukuyama, Francis. 2011. The Origins of Political Order: From Prehuman Times to the French Revolution. London: Profile Books.

Hall, D.G.E. 1981. A History of South-East Asia. New York: St. Martine’s Press.

Hall, Kenneth R. 1985. Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia. Honolulu: University of Hawaii Press.

Howes, Stephen dan Robin Davies. 2014. Survey of Recent Development dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies (BIES), Vol. 50, No.2, Hal.: 157-84.

Kennedy, Paul. 1989. The Rise and Fall of the Great Powers. London: Vintage Books.

Kaletsky, Anatole. 2010. Capitalism 4.0: the Birth of a New Economy in the Aftermath of Crisis. New York: PublicAffairs.

Mahbubani, Kishore. 2013. The Great Convergence: Asia, the West, and the Logic of One World. New York: Public Affairs.

Mahbubani, Kihore. 2011. Asia, Hemisfer Baru Dunia: Pergeseran Kekuatan Global ke Timur yang Tak Terelakkan. Jakarta:  Kompas.

Malloch-Brown, Mark. 2011. The Unfinish Gl-b-l R-v-lution: the Pursuit of a New International Politics. New York: the Penguin Press.

Miranti, Ryana, Alan Duncan, dan Rebbeca Cassells. 2014. Revisiting the Impact of Consumption Growth and Inequality on Poverty in Indonesia during Decentralisation dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies (BIES), Vol. 50 No. 3, hal: 461-82.

Morris, Ian. 2010. Why the West Rules-for Now: the Patterns of History, and What They Reveal About the Future. New York: Farrar, Straus and Giroux.

Moyo, Dambisa. 2011. How The West Was Lost: Fifty Years of Economic Folly and the Strak Choices Ahead. New York: Farrar, Straus and Giroux.

Muhammad, Suwarsono. 2015. Ekonomi Politik Peradaban Islam Klasik. Yogyakarta: Ombak.

Nye, Jr., Joseph S. 2011. The Future of Power. New York: PublicAffairs.

Olson, Mancur. 1982. The Rise and Decline of Nations. New Haven: Yale University Press.

Overtveldt, Johan Van. 2015.   A Giant Reborn: Why the US Will Dominate the 21st Century. Chicago: An Agate Inprnt.

Roubini, Nouriel dan Stephen Mihm. 2010. Crisis Economics: A Crash Course in the Future of Finance. New York: the Penguin Press.

Simkin, C.G.F. 1968. The Traditional Trade of Asia. New York: Oxford University Press.

Spence, Michael. 2011. The Next Convergence: the Future of Economic Growth in Multispeed World. New York: Farrar, Straus and Giroux.

Wolters, O.W. 1967. Early Indonesian Commerce: A Study of the Origins of Srivijaya. New York: Cornell University Press.