RS UMM Siap Buka Klinik Bebas Nyeri

Nyeri berkepanjangan akibat suatu penyakit kelak tak akan menjadi siksaan lagi. Hal ini dipastikan setelah metode penanganan nyeri (pain) dikembangkan secara lebih massif dan dipelajari oleh dokter dari berbagai spesialis. Tak hanya itu, Di Malang, Rumah Sakit Umum Universitas Muhammadiyah Malang (RSUMM) merupakan salah satu RS yang akan segera membuka klinik bebas nyeri ini dengan dilengkapi peralatan paling modern.

Direktur RS UMM, Prof. Dr. dr. Djoni Djunaedi, SpPD., KPTI, mengatakan paling lama satu bulan ke depan Klinik Bebas Nyeri akan dibuka di RS UMM. Hal ini dipastikan setelah dokter ahli dan peralatan sudah tersedia. Saat ini, RS UMM telah memiliki alat Ultrasonografi (USG) dan x-ray bernama C-Arm yang paling mutahir. Alat yang masing-masing seharga sekitar Rp 1,5 Miliar ini dapat mengetahui lokasi nyeri yang diderita secara tepat sebelum dilakukan proses pengobatan.

“Insya Allah klinik ini juga bisa melayani pasien BPJS sebagaimana klinik-klinik lainnya di RS UMM,” kata Djoni.

Sebagai RS yang juga memiliki misi dakwah pencerahan, RS UMM menjadi pelopor penyelenggara workshop pain management. Pelatihan yang berlangsung tiga hari, Jumat hingga Minggu (17-19/4) diikuti oleh 40 dokter spesialis dari seluruh Indonesia. Mereka terdiri dari spesialis syaraf, tulang, anastesi, dan penyakit dalam. Dilihat dari asal daerahnya, peserta berasal dari berbagai daerah, antara lain Jakarta, Balikpapan, Sorong dan kota-kota di Jawa Timur.

Menurut ketua pelaksana workshop, dr Abi Noerwahjono, Sp.An, ilmu ini tergolong baru di Indonesia meski sebenarnya sudah lama ada. Selama ini rasa nyeri akibat berbagai penyakit ditangani dengan mengonsumsi obat-obatan, bahkan ada yang melakukannya seumur hidup demi mengurangi rasa nyeri itu. Misalnya, pada penderita kanker yang divonis hanya bisa bertahan enam bulan, maka sepanjang waktu itu harus menahan nyeri yang hebat atau meminum obat-obatan untuk mengurangi rasa sakit.

“Namun dengan metode ini, dengan sangat cepat rasa nyeri dapat dihilangkan sehingga pasien masih bisa beraktivitas seperti biasa,” terang Abi yang juga akan menjadi salah satu dokter spesialis di klinik anti nyeri RS UMM ini.

Ditambahkannya, di luar negeri, jika orang mengalami nyeri, asuransi mereka tidak akan mau membayar obat atau operasi. Kalau obat itu nanti dikonsumsi seumur hidup, jika dioperasi itu sama saja nyerinya jadi dua kali.

Secara teknis, dokter spesialis anastesi ini melanjutkan, proses pengobatannya dilakukan dengan membakar permukaan syaraf yang berhubungan dengan rasa nyeri. “Dengan menggunakan laser yang dosisnya rendah, syaraf itu kemudian ditembak dan dibakar sehingga rasa nyeri bisa hilang,” katanya.

Sebelumnya, RS UMM sudah pernah mengadakan seminar yang sama pada 8 Oktober 2014 lalu.

Rencananya, seminar ini akan dibuat tiga kali selama setahun secara berjenjang. “Untuk saat ini levelnya masih basic, empat bulan berikutnya levelnya naik menjadi intermediate, dan empat bulan berikutnya lagi masuk ke level advance,” ujarnya.

Abi berharap dengan menghilangkan rasa nyeri pada pasien, terutama yang terkena penyakit parah, bisa membantu pasien-pasien untuk khusyuk beribadah tanpa terpikir rasa nyeri sakit yang dideritanya. “Beberapa penyakit kanker yang sudah sangat parah kan menimbulkan rasa sakit yang luar biasa. Meskipun setelah dihilangkan rasa nyerinya penyakitnya masih ada, setidaknya kami bisa mengurangi penderitaan yang diderita oleh pasien,” harapnya. (zul/nas)

Sumber : UMM.AC.ID

MMR UMY Selenggarakan Pelatihan Aktivasi Code Blue

Peristiwa meninggalnya Yani Libels di Bandara Soekarno Hatta beberapa hari yang lalu, akan menjadi pelajaran bagi banyak orang, terlebih lagi tenaga medis. Pasalnya kasus yang dialami Yani Libels tersebut juga sering ditemui pada pasien-pasien di rumah sakit, dikarenakan pasien yang tiba-tiba mengalami serangan jantung hingga akhirnya nyawanya pun tak tertolong. Namun hingga saat ini, tim medis khusus yang bisa menangani kondisi mendesak seperti tersebut masih sangat jarang, belum lagi keterampilannya yang juga belum baik.

Karena itulah, berlatar belakang permasalahan tersebut, Magister Manajemen Rumah Sakit, Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menyelenggarakan Pelatihan Aktivasi Code Blue. Pelatihan yang diselenggarakan selama dua hari sejak Sabtu (28/3) hingga Minggu (29/3) di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping, Yogyakarta ini diikuti oleh semua mahasiswa MMR UMY, Manajer Klinik yang juga merupakan dokter atau perawat dari Rumah Sakit mitra UMY serta beberapa rumah sakit umum dan daerah di Indonesia.

Menurut Ketua Prodi MMR Pascasarjana UMY, dr. Erwin Santosa, Sp.A., M.Kes, Code Blue tersebut merupakan suatu tim yang dibentuk oleh setiap rumah sakit untuk menangani pasien yang tiba-tiba mengalami serangan jantung. Mereka pun harus berusaha menyelematkan pasien yang mengalami serangan jantung secara tiba-tiba tersebut dalam waktu kurang dari enam menit. “Dalam tim Code Blue ini ada Tim Primer dan Tim Sekunder. Tim Primer dari mulai satpam, tukang sapu, perawat, hingga dokter harus juga bisa memiliki pengetahuan bagaimana menghadapi dan menyelematkan pasien yang mengalami serangan jantung tiba-tiba, atau yang kami sebut sebagai Bantuan Hidup Dasar (BHD). Barulah kemudian Tim Sekunder yang tak lain merupakan tim khusus dari dokter dan perawat yang lebih profesional dan ahli melakukan penanganan lanjutan, atau Bantuan Hidup Lanjutan (BHL),” jelasnya.

Bantuan Hidup Dasar (BHD) yang bisa diberikan tersebut seperti, kompresi dada. Sementara untuk BHL yang dilakukan oleh personel atau tim yang lebih terlatih, dilakukan dengan cara menggunakan alat bantu peralatan, alat bantu napas tingkat lanjut dan obat-obatan yang bersifat mendukung atau memicu jantung agar bisa berdenyut lagi.

dr. Erwin juga mengatakan bahwa pihaknya menyelenggarakan pelatihan tersebut, di samping untuk memberikan pelajaran secara nyata kepada mahasiswanya, juga untuk memberikan masukan bagi rumah sakit-rumah sakit lain yang belum paham mengenai Code Blue. “Jadi kita tidak hanya tahu teorinya, tapi juga bisa belajar untuk mempraktekkannya. Jadi diharapkan nantinya, tidak akan ada lagi rumah sakit yang belum memiliki tim Code Blue, dan tidak bisa menangani pasien yang mengalami serangan jantung,” ujarnya.

Sementara itu, dr. Nahar Taufiq, KSM Jantung RSUD dr. Sardjito, Yogyakarta saat memaparkan materinya mengenai Strategi Pencegahan Henti Jantung dan Aktivasi Code Blue mengatakan, idealnya Code Blue memang memiliki tim khusus yang bertugas sebagai tim Bantuan Hidup Lanjut (BHL). Tim ini pun bisa dimasukkan dalam shift-shif jaga tenaga medis, agar ketika sewakt-waktu ada pasien yang mengalami serangan jantung mendadak dapat segera ditangani dengan cepat dan baik. “Kalau pun ingin memanggil tim khusus code blue tersebut, rumah sakit juga harus menyepakati mau seperti apa kodenya. Apakah 119, 118, atau 117. Selain itu, bahasa yang digunakan oleh pelapor mengenai kondisi pasien yang mendadak mendapat serangan jantung itu juga harus lugas, agar bisa cepat ditangani,” paparnya.

untuk membeikan pemahaman yang lebih menyeluruh pada peserta, dr. Nahar juga telah membawa Tim Code Blue dari RSUD dr. Sardjito. Tim inilah yang kemudian mengajarkan pada peserta bagaimana cara menangani pasien yang mengalami serangan jantung dengan baik agar bisa terselamatkan dalam waktu kurang dari enam menit. (sakinah)

Sumber : UMY.AC.ID