Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Dr Din Syamsuddin MA mengatakan, pemberlakuan syariat Islam di Aceh harus disambut dengan pemahaman Islam secara kafah. Pemberlakuan syariat di provinsi ini akan menjadi model bagi daerah-daerah lain, sepanjang penerapan syariat Islam di Aceh berada dalam konteks peradaban yang maju. Tapi bila salah penerapan, maka syariat Islam akan menjadi momok yang menakutkan.
Hal itu dikatakan Din di sela-sela peresmian gedung baru Universitas Muhammadiyah (Unmuha) Banda Aceh bantuan Pemerintah New Zealand, Kamis (3/9) di Kampus Unmuha, Luengbata, Banda Aceh.
Menurut Din, syariat Islam jangan hanya menjadi legalitas formal, tapi haruslah dijalankan dengan sungguh-sungguh oleh masyarakat Aceh.
Aceh katanya, punya ciri khas, memiliki keistimewaan karena keislamannya kuat. Di sisi lain, pemerintah pusat telah memberikan kebebasan bagi masyarakat Aceh untuk menerapkan syariat Islam. Namun, katanya, ada tantangan bagi pemimpin dan masyarakat Aceh yang kalau tidak hati-hati, maka program syariat Islam ini menjadi kontraproduktif. Tapi sebaliknya, bila berhasil akan menjadi nilai positif dan menjadi model bagi daerah lain. Dengan keberhasilan itu, katanya, daerah lain akan mengikuti syariat Islam yang diberlakukan di Aceh.
Menurut Din, prinsip syariat Islam itu mendorong kemajuan, progresif, sesuai dengan watak agama Islam sebagai agama kemajuan. Namun, ketika syariat Islam itu hanya dipahami secara sempit dan konservatif, maka jatuhnya pada hal-hal yang bersifat formalistik (formalitas belaka), berorientasi legalitas formal, dan sangat bersifat fiqiyah.
Ia contohkan pemberlakuan syariat di Aceh seperti larangan bagi perempuan untuk duduk mengangkang di atas sepeda motor di Kota Lhokseumawe, wajib perempuan memakai rok di Aceh Barat, dan hukum cambuk bagi warga yang berjudi, minuman keras, dan mesum (khalwat) adalah pernik-pernik kecil dalam pemberlakuan hukum Islam yang sangat relatif dan harus diterapkan sesuai konteks.
Namun, katanya, yang paling hakiki bahwa kehidupan Islam adalah kehidupan berbudaya maju dan modern. “Harus dipahami bahwa agama Islam adalah agama kemajuan dan peradaban,” ujarnya.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat ini ini menambahkan, agar pemahaman syariat tidak salah kaprah, maka tokoh-tokoh ulama di Aceh harus syariah. Syariah bermakna jalan (cara) atau metodologi penerapan Islam di Aceh, sehingga harus kreatif dan inovatif. Penerapan hukuman bagi pelanggar syariat Islam di Aceh juga harus kontekstual. “Dan yang lebih penting, mampukah syariat Islam dijadikan paradigama etik (perilaku sehari-hari) yang memberikan kemajuan bagi Aceh? Islam itu harus lebih maju dan modern,” imbuh Din.
Din juga memperingatkan masyarakat Aceh yang mayoritas Islam mewaspadai gerakan Islam State Iraq and Suriah (ISIS). Menurutnya, ISIS adalah nama baru dalam kelompok Islam garis keras (militan). Pengaruh ISIS itu berbahaya karena mereka memperjuangkan negara (state), sehingga menjadi ancaman bagi negara-negara Islam di dunia.
Dalam dunia Islam, katanya, gerakan Islam radikal sudah ada sejak Zaman Khawarij. Yang berbeda dengan Islam radikal lainnya, seperti Al Qaeda, adalah mereka menjadikan orang-orang Barat yang nonmuslim sebagai target perlawanan, sedangkan kelompok ISIS melawan dan membunuh umat Islam sendiri. “Karena menyangkut institusi negara, maka pemerintah harus melawan masuknya gerakan ISIS di Aceh dan Indonesia,” ujar Prof Din.
Cara-cara yang ditempuh ISIS, menurutnya, tidak sesuai dengan ajaran Islam yang penuh kasih sayang. Oleh karena itu, MUI Pusat agar masyarakat Islam tidak terpengaruh pada ajakan ISIS. “Cara-cara yang ditempuh ISIS untuk mendirikan khilafah tidak sesuai dengan ajaran Islam,” demikian Din Syamsuddin.
Sementara itu, Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, kemarin siang meresmikan gedung Universitas Muhammadiyah (Unmuha) Banda Aceh yang merupakan bantuan Pemerintah New Zealand.
Peresmian ruang kuliah, lab, dan ruang perpustakaan Unmuha itu ikut dihadiri Duta Besar New Zealand untuk Indonesia, David Taylor. Rektor Unmuha Banda Aceh, Drs H Muharrir Asy’ari Lc MAg mengatakan, Pemerintah New Zealand membantu pembangunan ruang kuliah, lab, dan ruang Perpustakaan Unmuha sebesar Rp 20 miliar. Pemerintah Zew Zealand juga membantu alat-alat lab teknik sipil, biologi, psikologi, lab fisioterapi, dan buku-buku perpustakaan.
Muharrir Asy’ary mengatakan, bantuan yang diberikan Pemerintah New Zealand itu berhubungan erat dengan tragedi gempa bumi dan tunami yang menerjang Aceh 24 Desember 2004 lalu.
Bantuan yang diberikan itu berupa 20 ruang kuliah, empat ruang lab, dan satu unit ruang pustaka. “Pada usia 27 tahun, Unmuha Banda Aceh sudah memiliki enam fakultas, dua akademi, dengan 13 program studi dan jumlah mahasiswa tahun akademik 2013-2014 mendekati 5000 orang,” ujar Muharrir Asy’ary.
Gubernur Aceh, Zaini Abdullah mengakui bantuan Pemerintah New Zealand terhadap Aceh sangat besar. Di antaranya pembangunan 20 ruang kuliah dan ruang lab serta perpustakaan untuk Unmuha. Dengan bantuan tersebut, diharapkan mampu mendongkrak mutu lulusan Unmuha pada masa mendatang. “Saya berharap Unmuha akan menjadi universitas terbaik di Sumatera,” ujar Zaini Abdullah.
Usai menandatangani prasasti peresmian gedung baru bantuan New Zealand itu, Gubernur Zaini didampingi Dubes David Taylor, Rektor Unmuha Muharrir Asy’ari, Ketua DPRA Hasbi Abdullah, serta Ketua DPP Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin meninjau ruang kuliah, lab, dan ruang perpustakaan PTS tersebut. (min)/serambi indonesia