SEKRETARIS Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Bank Ki Moon menyebut penggunaan senjata kimia di Suriah merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (KR, 22/8/2013). Padahal jelas, Hukum Humaniter internasional sangatlah melarang penggunaan senjata-senjata mematikan dan yang dapat mengakibatkan korban sipil, merusak lingkungan dan penderitaan yang panjang seperti berbahan nuklir, bom tandan dan bom kimia. Seperti halnya penggunaan gas sarin yang merusak syaraf manusia, terhadap ribuan rakyat sipil tak berdosa di beberapa penjuru Suriah, yang telah dituduhkan kepada pemerintah Assad.
Prinsip utama dalam penggunaaan senjata saat keadaan perang, seperti yang telah diatur oleh Hukum Humaniter Internasional adalah bahwa semua nilai-nilai kemanusiaan wajib dijunjung tinggi dan dihormati. Hal ini bertujuan untuk mencegah penderitaan dan kerusakan yang berlebihan. Disamping itu, Hukum Humaniter Internasional memang dibuat untuk membatasi penggunaan kekuatan bersenjata dalam peperangan atas dasar prinsip proporsionalitas dan diskriminasi. Dua prinsip ini penggunaan senjata ini harus menjadi bagian terpenting dalam larangan penggunaan senjata yang dapat menyebabkan kerusakan dan atau penderitaan yang tidak ada kaitannya dengan tujuan-tujuan perang. Serta membedakan sasaran militer (combatant) dan rakyat sipil (non combatant).
Prinsip proporsionalitas memang ditujukan agar perang atau penggunaan senjata tidak menimbulkan korban, kerusakan dan penderitaan yang berlebihan yang tidak berkaitan dengan tujuan-tujuan militer (the unnecessary suffering principles). Seperti yang tercantum dalam Pasal 35 ayat (2), Protokol Tambahan I yang berbunyi: it is prohibited to employ the weapons, projectiles and material and methods of werfare of a nature to cause superflous injury or unnecessary suffering.
Pasal ini dengan jelas telah menegaskan bagaimana harusnya serangan militer dengan menggunakan senjata tertentu haruslah proporsional, terhadap tujuan untuk memperoleh keunggulan militer. Proporsional disini dimaknai bahwa walaupun kemenangan memang menjadi keinginan para pihak yang bersengketa, tapi tidaklah boleh mengorbankan nyawa rakyat sipil. Apalagi dilakukan secara masal dan menimbulkan efek penderitaan serius dan berkepanjangan. Contoh efek serius dan berkepanjangan adalah penggunaan senjata kimia yang menyebabkan kanker atau bom tandan yang membuat kehilangan fungsi indera secara permanen.
Sedangkan prinsip diskriminasi mengandung tiga hal utama yaitu: larangan terhadap penduduk sipil dan objek-objek sipil yang lain, bahkan jika target serangan adalah sasaran militer, serangan terhadap objek terhadap objek tersebut tetap dilarang jikalau “may be expected to cause incidental loss of civilian life, injury the civilians, damage to civilians objects or a combination thereof, which would be excessive in relation to the concrete and direct military advantage anticipated”. Serta jika terdapat pilihan dalam melakukan serangan, minimalisasi korban dan kerusakan atas objek-objek sipil harus menjadi prioritas. Selain itu, semua senjata yang ketika digunakan tidak bisa membedakan sasaran militer dan sipil harus dilarang.
Pada prinsip diskriminasi ini ditegaskan bahwa semua objek sipil sedikitpun tidak boleh untuk dijadikan sebagai target serangan. Namun, beberapa ahli menyimpulkan secara relatif bahwa jikalau keunggulan atau keuntungan secara militer bisa dicapai dan dengan menggunakan senjata tertentu yang bisa meminimalisir korban sipil dibandingkan dengan senjata yang lain, maka hal tersebut boleh dilakukan. Walaupun secara umum, hal tersebut terbantahkan oleh argumen yang termaktub dalam Protokol Tambahan dari Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 yang menyebut bahwa dalam setiap konflik bersenjata, adalah hak para pihak yang bersengketa untuk memilih cara dan alat berperang adalah tidak tak terbatas.
Dalam kasus Suriah ini, jikalau memang utusan Dewan Keamanan PBB mampu membuktikan kebenaran penggunaan bom kimia kepada penduduk sipil, maka sudah selayaknya PBB membuat Resolusi khusus untuk menghentikan kebenaran pelanggaran kemanusiaan ini. Serta memberikan hukuman kepada pemimpin Suriah yang memang harus bertanggungjawab. Karena prinsip proporsionalitas dan diskriminasi sebenarnya telah menjadi dasar bagi pola pertanggungjawaban komando: Bahwa seorang pemimpin atau komandan mempunyai tanggungjawab untuk menegakkan hukum konflik bersenjata, sesuai dengan Pasal 1 Konvensi Denhaag, Pasal 86 dan 87 Protokol tambahan Konvensi Jenewa 1997. Serta pasal 28 Statuta Roma 1998.
(Penulis adalah Dosen Hukum Internasional dan Direktur IPOLS FH Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)
Sumber : www.krjogja.com 26 Agustus 2013