Hasil Penelitian Kurang Terdiseminasi: Terjadi Pemborosan Besar Hasil Riset
Dosen dan peneliti sering beranggapan bahwa suatu riset sudah selesai dengan selesainya laporan penelitian. Padahal masih ada satu tahap lagi yang harus diselesaikan, yakni diseminasi hasil riset tersebut, sehingga dimanfaatkan dan diterapkan. Indiaktor utama keberhasilan riset adalah aplikasi dan pengembangannya. Faktanya, hasil riset kita justru banyak teronggok di perpustakaan pribadi, perpustakaan kampus, dan tidak terpublikasi secara meluas.
Demikian disampaikan Wakil Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Prof Edy Suandi Hamid, dalam pidato kuncinya pada University Research Colloquium yang berlangsung di Sekolah Tinggi Kesehatan Muhammadiyah Kudus, Sabtu (13/2) Sebanyak 170-an hasil riset karya dosen dari lembaga pendidikan tinggi se-Jawa dibahas dalam forum tersebut.
Colloquium dibuka oleh Sekda Kabupaten Kudus Noor Yasin, dan memberikan kata sambutan Ketua STIKES Muhammadiyah Kudus Rusnoto dan Ketua Pelaksana Cholifah.
Dalam sambutannya Ketua Stikes Muhammadiyah Kudus Rusnoto mengatakan, kegiatan ini yg ketiga kali dilakukan. Urecol pertama diadakan di Surakarta, yang kedua di Semarang, yang dari waktu le waktu diikuti pesera yang semakin banyak. Diharapkan, forum ini akan memacu semangat para dosen untuk meneliri dan mensosialisasikannya.
Prof Edy Suandi Hamid, mengatakan, akibat tidak terpublikasikannya hasil riset, ini bukan saja melahirkan pemborosan yang luar biasa, namun juga membuat hasil penelitian tidak diterapkan dan terjadi pengulangan penelitian pada hal yang sama. Banyak penelitian yang tidak ada kebaruan sama sekali, melakukan pengulangan, dan hanya formalitas, dan pemenuham kumuntuk kenaikan pangkat dosen dan peneliti. Padahal dari suatu penelitian diharapkan muncul suatu temuan baru, inovasi, hingga mampu melahirkan teori baru yang terus dikembangkan.
Oleh karena itu, menurut Mantan Ketua Umum Aptisi tersebut, seyogianya setiap penelitian dari lembaga-lembaga dana pemerintah, atau sponsor tertentu, mewajibkan untuk publikasi ini. Bisa saja ini dalam jurnal yang betul-betul ilmiah, namun bisa juga dalam media sosial, ataupun media massa, tergantung target group yang diharapkan bisa memanfaatkan penelitian tersebut. Jika ini tidak dilakukan, maka penelitian kita lebih banyak muspro, pemborosan, dan exercise untuk sekedar belajar meneliti.
Dikatakan, diseminasi luaran riset merupakan proses menyampaikan secara luas ke semua stakeholders sehingga bisa terjadi interaksi, dialog ilmah, hingga pemanfaatan temuan penelitian untuk berkembangnya lebih lanjut suatu pengetahuan dan pengambilan keputusan atau kebijakan. Bagi masyarakat akademik, diseminasi ini dilakukan melalui forum-forum ilmiah dan jurnal-jurnal ilmiah, baik dalam skala nasional maupun internasional. Tidak dibahas dan tersebarnya suatu hasil penelitian merupakan kerugian besar, dan menyebabkan terjadinya berbagai pemborosan. Akibat kurangnya diseminasi ini, bukan saja hasil penelitian yang bisa jadi sangat dibutuhkan oleh pihak lain atau masyarakat menjadi tidak termanfaatkan, tetapi juga mengakibatkan terjadinya pengulangan penelitian pada hal yang sama. Padahal suatu hasil penelitian bukan saja sekedar memperkaya khasanah keilmuan, namun bisa dimanfaatkan oleh individual, komunitas, korporasi, hingga pengambil kebijakan dalam suatu pemerintahan.
Mengutip Robert Solow, pemenang Nobel ekonomi 1987, ia mengatakan bahwa inovasi, khususnya dalam sains dan teknologi, menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Sains dan teknologi menggerakkan pertumbuhan ekonomi melalui dua cara, yaitu: peningkatan produktivitas sebagai hasil penerapan teknologi baru dan produk industri baru yang diciptakan oleh penerapan teknologi baru. Dengan demikian, hal tersebut memberikan ide kepada banyak negara untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dengan mendorong pertumbuhan inovasi sains dan teknologi dan penyediaan sumber daya manusia terdidik. Inovasi tersebut umumnya diperoleh dari suatu proses riset dan pengembangan (R&D) yang dilakukan secara serius, terstruktur, yang hasilnya juga didialogkkan secara ilmiah sebelum menjadi suatu produk riset yang bisa diterapkan atau “dihilirkan”.
Anggaran riset paling kecil
Masalah lain dalam penelitian kita adalah persoalan anggaran, yang masih sangat terbatas alokasinya, disamping pertanggungjawban anggaran riset dari pemerintah yang sangat birokratik dan menyulitkan peneliti. Dana penelitian yang tersedia juga sangat terbatas, dan sebagian besar dosen atau peneliti hanya bisa mengakses sumber dana penelitian yang sangat kecil. Hanya sebagian kecil peneliti bisa memanfaatkan sumber dana riset yang besar, seperti dari korporasi ataupun lembaga internasional, sehingga bisa melaksanakan penelitian yang lebih serius.
Relatif kecilnya anggaran riset di tanah air ini bisa dilihat dari rasio anggaran riset dan pengembangan (R&D) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Untuk Indonesia rasio anggaran riset terhadap PDB tersebut sejak sepuluh tahun terakhir ini hanya berkisar pada besaran 0,08 persen. Angka ini jauh dari batasan yang ideal, yakni satu persen dari PDB. Data Wikipedia menunjukkan dari 72 negara yang ditampilkan datanya untuk tahun 2010, rasio dana riset terhadap PDB Indonesia merupakan yang terkecil (bersama Aljazair) sebesar hanya 0,07%.
Sekedar perbandingan untuk tahun yang sama India sebesar 0,9%, Jepang 3,67% Singapura 2,2%, Malaysia 0,63%, Thailand 0,25%, Vietnam 0,19%, Tiongkok 2,08%, Sudan 0,23%, Saudi Arabia 0,25%, Azerbaijan 0,17%, Uganda 0,13%, Swedia 3,35, hingga yang tertinggi Korea selatan sebesar 3,3%. Padahal secara umum ada relasi yang erat antara pengeluaran dana riset suatu negara dengan kemajuan suatu bangsa. Hal ini bisa difahami mengingat temuan-temuan riset yang dilakukan secara sungguh-sungguh bisa digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi secara riel oleh Bangsa tersebut. Lebih dari itu, rencana-rencana riset sejak awal sebagian memang sudah diarahkan untuk menjawab policy questions yang dibutuhkan oleh pemerintah maupun dunia usaha atau industrinya.
Kecilnya anggaran penelitian, yang berakibat rendahnya pendapatan peneliti, telah menyebabkan para dosen lebih senang mengajar dari pada meneliti. Penelitian hanya dilakukan sekedar memenhui kewajiban untuk naik pangkat. Untungnya sejak beberapa tahun terakhir terlihat ada usaha cukup serius untuk mengoptimalkan dana penelitian yang terbatas dengan optimalisasi kemanfaatan riset-riset yang dilakukan. Kementerian Ristek-Dikti (d/h Kemendikbud), telah mewajibkan para dosen yang akan mengajukan kenaikan pangkat untuk menghasilkan karya penelitian yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah. Lebih-lebih bagi yang ingin mengajukan kenaikan pangkat ke Guru Besar atau Professor, mereka harus memiliki paling tidak satu karya penelitian yang dipublikasikan pada jurnal internasional bereputasi. Kebijakan ini bukan saja membantu diseminasi temuan-temuan penelitian yang dilakukan sehingga menjadi lebih bermanfaat, namun juga secara tidak langsung meningkatkan kualitas penelitian yang akan dipublikasikan.