Tanah Papua menjadi perbincangan yang penting karena Papua memiliki nilai yang sangat unik jika dilihat dari budaya dan karakter yang dimiliki. Dengan begitu dibutuhkan pendekatan yang lebih spesifik dan khusus untuk pembangunan di tanah Papua. Begitu papar Rektor UM Sorong Dr. H. Muhammad Ali pada Webinar Majelis Diktiltibang PPM bertemakan “Masa Depan Papua: Perspektif Orang Papua”, Sabtu (18/09). Prof Chairil Anwar selaku Wakil Ketua Majelis Diktilitbang PPM juga menyebutkan adanya webinar ini bertujuan untuk melihat bagaimana fenomena perkembangan tanah Papua yang nantinya hasil diskusi dapat disumbangkan pada Pemerintah Daerah. “Muhammadiyah sudah banyak diterima dengan baik oleh masyarakat Papua. Dengan begitu kegiatan ini menjadi salah satu kontribusi dari Muhammadiyah untuk Tanah Papua,” begitu pungkasnya.
Memandang dari perspektif perempuan Papua, Prof Dr. Yohana Susana Yembisa, M.Sc selaku narasumber pertama menekankan bahwa hakikat dari pembangunan adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kualitas baik pada laki-laki dan perempuan. “Dengan begitu, ini menjadi tantangan bagi perempuan Papua untuk berani bangkit, berbicara, dan meningkatkan kualitas diri,” paparnya.
Jika melihat dari Indeks Development Gender (IDG), Papua menempati posisi paling terakhir, disusul oleh Papua Barat yang menempati kedua paling akhir. Untuk menjawab tantangan ini, dibutuhkan adanya sistem kerja untuk menggandeng tokoh adat, agama, dan pemerintah. Perlu ada kerja keras dari ketiga pihak karena adat mempengaruhi perempuan dan sering menjadikan perempuan sebagai korban. “Salah satunya solusi yaitu perempuan harus membangun mitra kerja dengan laki-laki, perempuan juga harus dijaga kualitasnya karena perempuan Papua yang akan melahirkan generasi selanjutnya di tanah Papua,” ungkap Menteri PPPA Republik Indonesia th 2014-2019 tersebut.
Arie Ruhyanto, Ph.D selaku Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada memaparkan saat ini rencana pemekaran Papua juga menjadi isu hangat di beberapa kalangan dan kelompok elit lokal. Menanggapi isu ini, Arie mengajak pemerintah untuk dapat menyikapi dengan cermat dan hati-hati rencana pemekaran tersebut. “Hal ini karena pemekaran tidak hanya melahirkan gedung pemerintahan baru namun juga harus memastikan ada substansi penyelenggaraan pemerintah yang berjalan, terbentuknya pelayanan publik yang baik, dan adanya kesiapan dari SDM untuk mewujudkan tata pemerintahan yang mumpuni,” pungkasnya.
Ia juga menegaskan agar pemerintah tidak sekedar membangun legitimasi namun juga melakukan pemberdayaan masyarakat. Selain itu, dalam membangun legitimasi institusional juga perlu mempertimbangkan aspek aksesbilitas geografis, daya dukung infrastuktur, ketersediaan SDM, dan potensi basis pengembangan kawasan. “Ini menjadi 4 elemen kunci agar institusi pemerintah yang dibentuk bisa bekerja dengan optimal,” paparnya.
Berangkat dari fakta sosial ruang politik baru yang terus diproduksi sampai saat ini, Dr. Ade Yamin menyebutkan adanya perdebatan yang alot mengenai isu rasial di Papua. Adanya stereotype yang dilekatkan pada masyarakat Papua juga melahirkan stigma atau penilaian bahwa orang Papua adalah aktor kekeliruan. “Dengan begitu langkah penting yang harus dilakukan yaitu semua kebijakan pemerintah harus berpihak domokratis dengan memahami sejarah dan karakter masyarakat Papua,” paparnya selaku Dosen IAIN Fatthul Muluk Jayapura, Papua.
Sebuah perubahan asusmsi dan nilai perlu dilakukan untuk dapat memberi ruang yang lebih luas pada keterlibatan orang Papua. Jalan kedua yang dapat dilakukan terutama pada pendidikan tinggi yaitu menjalankan program Akomodasi, Integrasi, dan Apresiasi. “Ketiga hal ini harus dilakukan demi terciptanya suasana dan perasaan warga Papua menjadi orang Indonesia,” pungkasnya.