Pemerintah dinilai tidak membuat pemetaan yang jelas mengenai jumlah dosen. Hal ini diduga menjadi salah satu penyebab Indonesia mengalami krisis dosen.
Setiap tahun pemerintah hanya memperhatikan penambahan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi (jumlah anak kuliah) tanpa melihat jumlah dosen yang ada. Sekretaris Jenderal Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Suyatno mengatakan, setiap tahunnya perhatian pemerintah hanya terfokus pada peningkatan APK pendidikan tinggi saja. Diketahui APK pendidikan tinggi saat ini 30%.
Sejumlah program peningkatan akses pun dibuat seperti beasiswa, penambahan PTN baru, serta renovasi kampus negeri agar mampu meningkatkan kapasitas ruang kelas. Namun sampai saat ini tidak ada inovasi penambahan jumlah dosen. Padahal jumlah mahasiswa semakin bertambah. Bahkan jumlahnya kini sudah tidak sebanding lagi dengan ketersediaan dosen.
“Semestinya pemetaan dosen disertakan ketika ingin menambah APK pendidikan tinggi. Sebab jika APK bertambah, siapa yang akan mengajari mahasiswa jika jumlahnya tak sebanding?” tandas Suyatno ketika dihubungi KORAN SINDO kemarin. Suyatno mengatakan, pemerintah juga harus berupaya menjaring calon dosen dari tahap awal perkuliahan.
Sebab tidak banyak mahasiswa berprestasi yang mau menjadi dosen dan lebih memilih pekerjaan lain yang lebih simpel, tetapi bergaji tinggi. Dia juga meminta pemerintah mempermudah birokrasi menjadi dosen, sebab generasi muda pun mundur menjadi dosen karena rumitnya persyaratan saat menjadi CPNS atau dosen tetap di kampus negeri.
Sosialisasi menjadi dosen yang mudah dengan tawaran gaji yang menggiurkan, menurut dia, akan mempermudah pengaderan dosen di tahap awal. Pemerintah juga perlu memperbanyak program pascasarjana yang sedikit jumlahnya di Indonesia. “Kita menghadapi masalah antara kebutuhan meningkatkan kualitas dosen dan keterbatasan kemampuan, kesempatan, dan fasilitas untuk itu. Sebab tidak mungkin mahasiswa yang merupakan calon sarjana diajar oleh dosen dengan gelar strata 1 saja,” paparnya.
Karena itu, lanjutnya, peningkatan pendidikan dosen menjadi S-2 dan S-3 harus menjadi program pemerintah selanjutnya. Berikan beasiswa tidak hanya di kampus negeri, tetapi juga swasta. Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Edy Suandi Hamid menilai krisis dosen yang terjadi di Indonesia memang disebabkan pemetaan yang tidak dibuat dengan benar oleh pemerintah.
Semestinya harus ada pemetaan secara berkala untuk melihat posisi dosen sehingga sebelum ada dosen yang pensiun ada pula rencana pengisian dosen baru. Dia mengingatkan, pola menunggu dosen yang pensiun baru ada rekrutmen harus dihilangkan, sebab akan ada kekosongan dalam jenjang jabatan akademik. Mantan Rektor UII ini mengatakan, pengaderan dosen memang perlu dilakukan sejak awal. Rekrutmennya juga harus dilakukan secara rutin.
Sebab, jika ada dosen yang pensiun dengan gelar profesor, dosen penggantinya juga harus bergelar yang sama. “Jadi, jauh sebelum ada yang pensiun, level di bawahnya sudah disiapkan untuk mengisi jumlah dan jenjang kepangkatan yang kurang lebih sama. Jadi tidak terjadi krisis dosen dengan jenjang pangkat akademik tertentu,” ungkapnya. Berdasarkan data dari 160.000 dosen yang ada saat ini, 30%-nya merupakan lulusan S- 1.
Kemudian lulusan S-2 hanya separuhnya dan lulusan S-3 hanya 11% saja. Diberitakan sebelumnya, Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan Ditjen Dikti Kemenristek Dikti Supriadi Rustad mengatakan, tidak ada kesinambungan dalam mencukupi jumlah dosen. Kondisi ini, menurutnya, sudah sangat mengkhawatirkan. Terungkap data bahwa dalam kurun waktu 2005-2015, perguruan tinggi di Tanah Air tidak banyak melakukan rekrutmen dosen baru.
Sumber : www.koran-sindo.com