EMPAT PILAR KEKUATAN PTM
Lesson Learned dari Rakornas Kendari
Oleh Prof. Dr. Tobroni *)
Pada 11-13 Oktober yang lalu Majelis Pendidikan Tinggi Pimpinan Pusat Muhammadiyah bekerjasama dengan Universitas Muhammadiyah Kendari menyelenggarakan Seminar Nasional dan Rapat Koordinasi Pimpinan Perguruan Tinggi Muhammadiyah se Indonesia. Seminar Nasional dan Rakornas berthemakan: “Reformasi Birokrasi dalam Mewujudkan Birokrasi yang Bersih, Kompeten dan Melayani”. Acara yang dihadiri Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar dan sejumlah Narasumber yang kompeten ini tergolong sukses karena dihadiri oleh 142 pimpinan PTM dari 172 PTM dan PT Aisiyah yang ada. Tulisan ini tidak bermaksud merangkum hasil seminar dan rakornas tersebut, melainkan sekedar sebuah catatan dan sekaligus lesson learned yang dapat penulis kemukakan selama mengikuti acara tersebut.
Dalam satu dekade terakhir, Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) terus mengalami perkembangan baik kelembagaannya, jumlah program studinya maupun jumlah mahasiswanya. Perkembangan dari aspek kuantitas ini secara relatif juga mencerminkan adanya peningkatan kualitasnya. Fenomena ini cukup menarik karena pada saat yang sama banyak perguruan tinggi swasta (PTS) yang mengalami kemerosotan setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan yang dinilai kurang memihak pada eksistensi PTS yang antara lain berupa peningkatan daya tampung Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan pendirian perguruan tinggi baru. Pertanyaannya adalah apa yang menjadi kekuatan PTM sehingga dalam kondisi sulit masih dapat berkembang dan bahkan melakukan ekspansi? Jawaban dari pertanyaan ini sekaligus sebagai pembeda dan sekaligus keunggulan PTM dibanding dengan PTS lainnya dan juga PTN.
dalam amal usaha Muhammadiyah khususnya PTM ada empat pilar kekuatan yaitu Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Persyarikatan Muhammadiyah, Majelis dikti PP Muhammadiyah dan pengelola/pimpinan PTM.
Al-Islam dan Kemuhammadiyahan.
Al-Islam dan Kemuhammadiyahan adalah sangkan paraning dumadi bagi keberadaan PTM. Maksudnya adalah bahwa motivasi utama mendirikan PTM karena disemangati dan dijiwai oleh al-Islam dan Kemuhammadiyahan dan bertujuan untuk mendakwahkan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan dalam pengertian yang seluas-luasnya. Adanya PTM dengan demikian bukan merupakan tujuan melainkan sebagai alat dakwah untuk civitas akademikanya sendiri (termasuk pimpinan dan dosennya) maupun untuk masyarakat dan bangsa Indonesia. Keberadaan PTM sekali lagi adalah alat dan bertujuan untuk dakwah, bukan sebagai alat atau tujuan yang lain seperti untuk mendapatkan kekayaan, kekuasaan atau kedudukan. Komitmen menjadikan PTM sebagai alat dan bertujuan dakwah ini sangat fundamental dan strategis bagi perkembangan PTM: pertama, membangun sebuah perguruan tinggi pada hakekatnya adalah membangun peradaban umat dan bangsa, dan hal ini harus didasari oleh niat yang suci dan mulia serta membutuhkan kekuatan moral dan spiritual yang kokoh. Dengan menjadikan al-Islam dan Kemuhammadiyahan sebagai landasan dan sekaligus tujuan PTM telah memberikan kekuatan spiritualitas dan moralitas serta daya juang yang luar biasa bagi pengelola PTM untuk melakukan yang terbaik bagi PTM sekaligus menjadi penangkal bagi kekuatan destruktif baik dari dalam maupun dari luar.
Kedua, al-Islam dan kemuhammadiyahan menjadi daya tarik masyarakat untuk memilih PTM. Hal yang paling dikhawatirkan orangtua bagi anaknya adalah apabila anaknya tidak shaleh apalagi kalau sampai durhaka terhadap orangtua atau berkelakuan tidak baik. Orangtua percaya bahwa di PTM ada pendidikan al-Islam dan Kemuhammadiyahan yang memiliki visi-misi yang jelas yaitu menjadikan muslim yang modern (berkemajuan) dan mengedepankan akhlak budi pekerti yang luhur, bukan hanya sekedar Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagaimana di PTN atau PTS lainnya yang hanya 2 sks.
Ketiga, Al-Islam dan Kemuhammadiyahan menjadi sumber nilai dan ruh penggerak budaya dan sistem manajemen PTM, sekaligus sebagai identitas dan batas (boundary) tentang apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan. Melalui al-Islam dan Kemuhammadiyahan PTM menjadi perguruan tinggi Islam yang berkarakter.
Persyarikatan Muhammadiyah
Keberadaan PTM juga tidak dapat dilepaskan dari persyarikatan Muhammadiyah dimana PTM itu berada mulai dari tingkat cabang (PCM), daerah (PDM) maupun wilayah (PWM). Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa Muhammadiyah mendirikan amal usahanya tanpa modal karena didirikan oleh warga setempat dan dirintis dari kecil. Warga setempat itu antara lain terdiri dari aktivis persyarikatan Muhammadiyah setempat, tokoh pendidikan yang juga warga Muhammadiyah dan tokoh pendidikan, tokoh pemerintahan, tokoh masyarakat dan pengusaha yang mengerti dan menjadi simpatisan Muhammadiyah. Persyarikatan Muhammadiyah sekaligus juga berperan sebagai basis sosial PTM.
Dalam perkembangan selanjutnya sesuai dengan Qaidah dan Pedoman yang berlaku, PTM memiliki kemandirian di dalam mengelola organisasinya karena secara struktural berada di bawah koordinasi Majelis Dikti PP Muhammadiyah. Dalam kondisi seperti ini pola hubungan PTM-Persyarikatan menjadi unik dan memerlukan kecerdasan serta kearifan tersendiri yang tidak hanya berpedoman kepada peraturan formal semata tetapi juga relasi kemanusiaan dan keadaban. Semangat inilah yang hendak dibangun melalui Pedoman PTM yang baru dimana PWM adalah pelaksana kebijakan Majelis di daerah dan pimpinan PWM berhak memberikan pertimbangan aspek Al-Islam dan Kemuhammadiyahan terhadap calon pimpinan PTM.
Sebagaimana ketentuan yang berlaku di Muhammadiyah, PWM mengkoordinasikan sekolah menengah tingkat atas di wilayahnya, sedangkan PDM mengkoordinasikan sekolah dasar dan menengah di daerahnya, sedangkan Majelis Dikti PP Muhammadiyah mengkoordinasikan PTM di seluruh Indonesia. Walaupun PWM dan PDM secara organisatoris tidak memiliki hubungan struktural dengan PTM, namun hubungan dan kerjasama yang baik sangat diperlukan dan bahkan sebuah keniscayaan. Hal ini bukan semata karena faktor sejarah sebagaimana disebutkan di muka, tetapi persyarikatan dimana PTM berada merupakan basis sosial, sumber legitimasi dan “penyelamat” apabila PTM mengalami krisis. Sebaliknya PTM juga dapat memasok SDM yang berkualitas dan sumber financial bagi persyarikatan. Bahkan eksistensi sebuah persyarikatan sangat ditentukan oleh eksistensi PTM-nya.
Majelis Dikti PP Muhammadiyah.
Perguruan Tinggi Muhammadiyah adalah amal usaha Muhammadiyah dan milik persyarikatan Muhammadiyah atau lebih tepatnya PP Muhammadiyah, dan Majelis Dikti adalah Majelis yang diberi amanah untuk mengkoordinasikan PTM. Sebagai pemilik, PP Muhammadiyah mengengkat dan memberhentikan pimpinan PTM dan BPH (Badan Pembina Harian) PTM berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Walaupun PP Muhammadiyah Majelis Dikti adalah yang memiliki PTM, tetapi secara defacto tidak menguasanya, yang menguasai tetap pimpinan PTM dan persyarikatan Muhammadiyah setempat. PP Muhammadiyah Majelis Dikti dapat diibaratkan sebagai wasit sebuah perlombaan atau pertandingan yang kepentingannya adalah agar PTM dikelola dengan benar (on the right track) sehingga tercipta good university governance. Contoh lain, PP Muhammadiyah Majelis Dikti terhadap PTM ibarat orangtua terhadap anaknya yang hanya menghendaki PTM tumbuh dan berkembang mencapai kematangan dan mampu beraktualisasi diri, dan akan meluruskan manakala terjadi permasalahan semisal konflik atau mis-manajemen. Kalau PTM sukses dan berkemajuan, maka civitas akademika-lah yang memiliki dan menikmati kesuksesan itu. PP Muhammadiyah Majelis Dikti akan ikut bangga dan bersyukur.
Salah satu ancaman yang paling berbahaya bagi eksistensi PTS adalah rawan terhadap konflik. Konflik biasanya terjadi antara pimpinan PT dengan pimpinan yayasan, antar anggota pimpinan atau antar pengurus yayasan dan bahkan melibatkan mahasiswa. Sudah banyak terjadi sebuah PT yang besar mengalami kemerosotan dan bahkan kejatuhan karena tersandra konflik berkepanjangan. Ancaman konflik di PTM pada dasarnya sama dengan PTS lain. Konflik di PTM biasanya terjadi antara pimpinan PTM dengan pimpinan PDM/PWM atau antar intern pimpinan PTM. Dalam situasi seperti ini, PP Muhammadiyah Majelis Dikti sebagai pemilik PTM dan sebagai pihak yang tidak memiliki konflik kepentingan dapat menyelesaikan permasalahan secara win-win solution sehingga PTM dapat diselamatkan.
Pimpinan PTM
Pilar keempat kekuatan PTM adalah sumber daya manusia (SDM) pimpinan PTM itu sendiri. Di pundak merekalah eksistensi PTM dipertaruhkan mulai dari mencari mahasiswa, rekruitmen dosen dan karyawan, membangun sarana dan prasarana, penggajian, proses pembelajaran, mendirikan prodi dan fakultas baru dan semua persoalan pengelolaan PT dari A-Z.
Sebagai aktivis Muhammadiyah, pimpinan PTM dituntut memiliki jiwa pejuang, berjiwa besar dan philantrophis sekaligus. Sebagaimana dimaklumi PTM lahir dan berkembang dari bawah dan tentu saja tidak mendapatkan modal dari PP Muhammadiyah. Melalui perjuangan pimpinanlah PTM dapat tumbuh dan berkembang, dari kecil menjadi besar, dari akademi menjadi sekolah tinggi dan selanjutnya menjadi universitas. Pimpinan PTM juga harus berjiwa philantrophis (mengihlaskan amalnya) karena PTM yang telah diperjuangkan dan dibesarkan tidak secara otomatis menjadi miliknya bahkan ia harus segera mengihlaskan apabila ketentuan organisasi mengharuskan untuk meninggalkannya. Muhammadiyah juga tidak memberikan toleransi terhadap kadernya yang berbuat tercela meskipun yang bersangkutan telah banyak berjasa di Muhammadiyah. Berjuang di Muhammadiyah harus sepenuh hati dan perfeksionistik dan mengihlaskan apa yang telah dilakukan itu karena Allah. Hal ini relevan dengan pesan K.H.A. Dahlan: “Hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah”.
PTM sekarang ini dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok berdasarkan jumlah mahasiswanya: 1) PTM kecil dengan jumlah mahasiswa kurang dari 5 ribu, 2) PTM sedang dengan jumlah mahasiswa 5-10 ribu, 3) PTM menengah dengan jumlah mahasiswa 10-15 ribu dan 4) PTM besar dengan jumlah mahasiswa lebih dari 15 ribu. Keragaman besaran PTM mencerminkan adanya keragaman kemampuan, kesungguhan, perjuangan dan kiat pimpinan PTM yang bersangkutan dalam mengelola PTM. Artinya keberadaan PTM sangat tergantung kepada pempinannya. Dalam sejarah perkembangan PTM, ada nama-nama yang sangat berjasa dan menjadi tonggak pengambangan PTM pada masa berikutnya, misalnya di UM Solo pernah ada Alm. Drs. Djasman Al-Kindi, di UM Malang pernah ada Prof. H.A Malik Fadjar, di UM Palembang pernah ada Prof. Dja’far Murod, di UM Jakarta pernah ada Ir. Umar Tusin, dan di UNISMUH Makasar pernah ada K.H. Djamaluddin. Penyebutan beberapa nama ini sekedar sampel saja karena di PTM-PTM lain pasti juga terdapat tokoh pendiri/perintis/ pengembang dan pembaharu PTM yang juga sangat berjasa bagi eksistensi PTM yang bersangkutan. Ini menggambarkan bahwa SDM yang ada di PTM adalah pilat kekuatan PTM dan sekaligus aset persyarikatan yang paling berharga.
Keberadaan PTM merupakan salah satu pilar utama tegaknya persyarikatan Muhammadiyah dan sekaligus amal usaha andalan dan menjadi kebanggaan. Sebaliknya keberadaan dan kelangsungan PTM akan sangat ditentukan oleh eksistensi persyarikatan Muhammadiyah. Kesamaan visi, kebersamaan, kerjasama dan saling tolong-menolong yang dilandasi semangat al-Islam dan Kemuhammadiyahan antara keempat pilar kekuatan PTM itu adalah niscaya dan menjadi kunci kejayaan PTM dan persyarikatan.
*) Anggota Majelis Dikti PP Muhammadiyah