Menghadapi perubahan yang dinamis, Muhammadiyah harus cepat melakukan self adjusment. Akhir-akhir ini, terutama pasca-pilpres, bangsa Indonesia menghadapi perubahan sosial budaya, sosial ekonomi dan sosial politik yang sempat mengkhawatirkan akibat polarisasi politik pada dua kubu. Muhammadiyah harus tetap berada di tengah-tengah.
Demikian dikatakan ketua umum PP Muhammadiyah, Prof Dr M Din Syamsuddin, di hadapan dosen dan pimpinan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jumat (7/11). Didampingi rektor, Muhadjir Effendy, Din memberi pengajian dan diakhiri dengan tanya jawab.
Posisi Muhammadiyah, kata Din, harus tetap pada pilihan sebagai gerakan kultural. Tugas suci posisi ini adalah memperkuat landasan budaya dalam masyarakat sehingga tidak mudah digoyah oleh perubahan struktural, perubahan kultural maupun perubahan proses atau manajemen politik. Salah satu peran yang tetap dipertahankan adalah gerakan dakwah melalui pelayanan pendidikan, kesehatan dan kemasyarakatan dan dakwah pencerahan kepada umat.
Bagi Din, sebagai gerakan kultural, Muhammadiyah yakin dapat tetap memberi sumbangan besar bagi Indonesia, sekalipun tidak terlibat dalam lingkaran politik kekuasaan. Muhammadiyah memiliki sumber daya yang amat mumpuni, khususnya dalam bidang pendidikan. Lebih dari itu, Muhammadiyah juga memiliki banyak infrastruktur yang telah berkontribusi langsung bagi pembangunan bangsa ini.
Politik, kata Din, saat ini digerakkan oleh empat kekuatan, yakni massa, modal (uang), ide dan informasi. Dalam politik praktis sering organisasi masyarakat termasuk Muhammadiyah diklaim oleh kekuatan politik tertentu sebagai basis massa, tetapi secara ide belum tentu. Di sisi lain pemilik media yang menguasai informasi dengan mudah mengambil posisi strategis lebih mudah dibanding orang yang telah ikut dalam gerakan kultural dari bawah.
“Pilihan gerakan kultural meniscayakan tersedianya infrastruktur yang kuat, dan ini masih dimiliki Muhammadiyah berupa ideologi dan visi, misalnya, yang dikenal dengan gerakan Al-Ma’un dan gerakan praksis, yakni menyatunya ide dan aksi sosial dalam bentuk amal usaha,” ujar Din yang juga Ketua Umum MUI ini.
Namun tantangan ke depan akan semakin berat sehingga memerlukan penyikapan yang mempertahankan Muhammadiyah pada posisi keseimbangan antara pemurnian (purifikasi) dan pembaharuan (tajdid). “Pemurnian itu dilakukan terhadap akidah, dan pembaharuan selalu dilakukan untuk amaliah. Itulah sebabnya Muhammadiyah itu cenderung ketat dalam pembersihan akidah dari hal-hal yang bersifat kultural, tetapi maju dan modern dalam amal usaha,” lanjut Din. Terkait dengan posisi Muhammadiyah dalam menanggapi pemerintahan baru pimpinan Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo dan M Jusuf Kalla, posisi Muhammadiyah tetap memperkuat identitas moralnya. Warga Muhammadiyah, lanjut Din, tidak mudah dibawa-bawa oleh fatwa politik sehingga pilihannya tetap kembali pada individu, sedangkan secara lembaga tetap netral. Meski demikian, diakui saat ini komunikasi politik dengan pemimpin pemerintahan lebih cair mudah untuk melancarkan dakwah amar ma’ruf nahi munkar.
“Muhammadiyah akan mendukung program pemerintah yang pro-rakyat, tetapi akan mengkritik jika menyimpang,” tegas Din.
Untuk mendukung gerakan kulturalnya, Din menilai penyiapan mengisi posisi struktural juga penting. Kader-kader Muhammadiyah dalam politik perlu didorong untuk lebih berperan aktif membangun bangsa lewat jalur tersebut. Jangan sampai di saat diperlukan untuk mengisi posisi tersebut justru stok Muhammadiyah dan ortomnya tidak memiliki data base.
Untuk itu Din meminta warga Muhammadiyah agar terus meningkatkan kualitas diri tanpa bergantung pada dukungan negara. Ia berharap, ke depan rekrutmen politik tidak harus dari partai politik, sehingga ada peluang bagi kalangan profesional non-politik untuk berkiprah bagi bangsa. (nas/han)
Sumber : www.umm.ac.id