Salah seorang dosen di Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) memahami bahwa Indonesia merupakan supermarketnya bencana alam. Pemikirannya berdasarkan dari letak Indonesia yang berada di pertemuan empat lempeng tektonik dunia, yaitu lempeng euro Asia di utara, lempeng Indo-Australia di selatan, lempeng Filipina serta Samudera Pasifik di timur. Sudah sejak lama, Dr. Suwarno, MSi, dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Program Studi Penddikan Geografi UMP menekankan tingginya kerawanan bencana alam di Indonesia.
Ketertarikan terhadap bencana diawali dari hobinya ketika remaja yang senang mendaki gunung. Kedekatannya dengan alam menjadi tidak terbatas. Hal itu semakin menjadi ketika ia memilih latar belakang pendidikan yang juga tidak jauh dari alam, mulai dari jenjang strata 1 hingga gelar doktoralnya. Ia mendedikasikan dirinya sebagai salah satu staf pengajar di UMP yang sudah lebih dari 20 tahun. Suwarno menilai gunung api, gempa bumi, banjir, tsunami, tanah longsor dan lainnya adalah gambaran nyata dari bencana alam yang menjadi agenda tahunan Indonesia. Satu diantaranya menjadi perhatian Suwarno, tanah longsor. Suwarno memiliki ketertarikan besar pada bencana ini. Tidak sedikit juga jurnal, tulisan dan penelitiannya yang mengupas tentang tanah longsor. Suwarno memfokuskan diri pada pengelolaan lahan rawan longsor. Menekankan perlunya pemahaman masyarakat mengenai karakteristik lahan rawan bencana dan tidak rawan bencana.
Alumni pascasarjana Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada ini memahami dorongan memenuhi kebutuhan hidup dari perilaku masyarakat seringkali melupakan kelestarian lingkungan. “Padahal ketidaktepatan perilaku masyarakat dalam mengelola lahan bisa memicu kejadian longsor lahan,” katanya. Menurutnya masyarakat perlu memahami kelas kerawanan longsor lahan, karakateristik dan model konseptual pengelolaan lahan yang tepat.
Suwarno meyakinkan agar tidak ada pemukiman di daerah yang rawan longsor. “Meskipun semua tempat sebenarnya rawan, paling tidak tingkat kerawanannya perlu dikaji. Jika tingkatnya masih rendah tidak bermasalah, “ tuturnya. Landasan pemikiran Suwarno ini bukan sebatas acap jempol, semuanya merupakan hasil penelitian Suwarno dari beberapa daerah di Kabupaten Banyumas, mulai dari Pekuncen, Gumelar, Somagede hingga Ajibarang. Tidak sedikit hasil penelitiannya yang menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah Kabupaten Banyumas. Bahkan, belum lama ini Suwarno menyerahkan “peta resiko” bencana ke dinas pemerintah, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Suwarno pun aktif turun ke masyarakat untuk melakukan sosialisasi. Ia memastikan, dari 27 Kecamatan di Kabupaten Banyumas, ada 14 kecamatan yang rawan longsor lahan. “Masyarakat Banyumas memerlukan pendidikan mitigasi bencana yang sifatnya continue. Masuk pada kurikulum sekolah.“ Menurutnya, dengan adanya pendidikan mitigasi bencana sejak dini maka informasi bencana akan bersifat terus menerus, bisa merubah perilaku masyarakat. “Jika hanya diberi pelatihan, tidak dapat merubah perilaku, perlu yang lebih sistemasis dan berkesinambungan,“ imbuhnya. Masih menurutnya, pendidikan mitigasi bencana sejak dini sangat diperlukan bagi negara yang memiliki letak geografis rawan dari bencana. Kewaspadaan masyarakat di daerah rawan bencana harus lebih tinggi, insan akademik harus ambil peran aktif. Di sela-sela mengajar, Suwarno aktif ikut berbagai kegiatan mitigasi bencana. Nampaknya, kecintaannya pada bencana tidak nanggung. Ia bahkan menargetkan ingin menjadi guru besar di bidang Geografi. “Ini menjadi semangat hidup saya. Jangan pernah berhenti mencari ilmu,“ pesannya. (Pra)
Sumber : www.ump.ac.id