Menarik, sekaligus ironis jika dicermati mengapa orang kota yang mengaku modern dan senyatanya memiliki level sekolah lebih tinggi (melek pengetahuan) berbondong-bondong mengunjungi suku-suku asli (pedalaman) di pelbagai tempat. Tujuannya, sekedar mengagumi keasrian alam yang didiami dan dirawat penduduk asli, disertai keheranan mengapa alam di sini bisa begitu utuh, segar, hijau, dan lestari seperti ini? Tentu saja sekalian melampiaskan kepenatan suasana kota yang gersang dan kaku. Pendek kata orang-orang modern yang datang dari kota itu membutuhkan lingkungan yang belum mereka rusak melalui kebijakan yang lebih berpihak pada pemodal, mementingkan ekonomi, dan menganaktirikan ekologi.
Ironi memang ada dan terjadi di mana-mana, bahkan di kalangan orang yang berlevel pendidikan tinggi sering berperilaku lucu dan rancu. Bagaimana tidak, bukankah orang yang sering berkunjung dan mencari kedamaian di lingkungan yang hijau dan damai tersebut adalah mereka yang sering membuat kebijakan yang tidak ramah lingkungan, yaitu mereka para pengambil kebijakan di negeri ini yang tidak mengetahui dan menghargai pengetahuan indigenous penduduk asli. Lebih parah lagi mereka yang mengabaikan kontribusi penduduk asli dalam menyelamatkan plasma nutfah. Alih-alih dianggap sebagai pahlawan lingkungan, malah mereka sering dianggap sebagai perusak lingkungan dengan cap sebagai pembakar hutan dan peladang berpindah yang menghabiskan hutan.
Dalam konteks demikian kita kehilangan kebermaknaan melek pengetahuan para lulusan bila dikaitkan melek lingkungan (environment literacy). Ada gap yang lebar antara pengetahuan lingkungan (melek ilmu) di satu sisi, dengan kemampuan menghargai lingkungan (melek lingkungan). Sebagian besar para perintis dan pengabdi lingkungan memang terbukti bukan dari kalangan akademisi atau birokrat, tapi justru para petani atau nelayan yang jenjang pendidikannya hanya lulusan sekolah dasar.
Mengapa para penduduk asli lebih melek lingkungan dan dapat melakukan itu semua tanpa latar belakang pendidikan sekolah yang tinggi? Dari sebuah penelitian didapatkan hasil bahwa perilaku peduli lingkungan tidak dipengaruhi secara kuat oleh pengetahuan sesorang, tetapi dipengaruhi secara kuat oleh kerelaan atau ketulusan seseorang dalam berbuat (willingnes to sacrificed). Menumbuhkan jiwa ketulusan, altruis, tidak egois, saling menghargai, ringan tangan tidak cukup dengan asupan pengetahuan lingkungan, tetapi dengan pembiasaan dan pembudayaan yang dirancang dari masa anak-anak. Maka, sekolah di pendidikan dasar, sebagaimana teori dari para ahli psikologi pendidikan, seharusnya diisi dengan ranah afektif dengan porsi yang lebih besar dibandingkan ranah kognitif. Sebaliknya, semakin bertambah usia porsi afektif mengecil dan kognitif yang makin banyak. Apakah itu semua sudah kita lakukan di sekolah? Secara by design belum. Hal ini terlihat dari beban kurikuler yang bersifat kognitif di pendidikan dasar masih sangat padat (crowded), dengan begitu kapan ada waktu bagi guru untuk dapat membangun kultur seperti tadi di atas dengan baik dan terarah.
Sudah sepantasnya kita semua tidak terus menerus mengandalkan penduduk pedalaman untuk menyelamatkan lingkungan hidup sekitar. Kalau mereka bisa mengembangkan kearifan dalam berinteraksi dengan lingkungannya, mengapa kita yang dibekali pendidikan, teknologi, dan ekonomi yang (mungkin) lebih baik dari mereka tidak bisa mengembangkan gerakan kearifan merawat lingkungan hidup secara lebih baik. Selain itu, penting juga untuk memahami secara prinsip penyebab utama sulitnya menumbuhkan kesadaran dan perilaku ramah lingkungan pada bangsa Indonesia.
Faktor gaya hidup (life style) manusia harus menjadi agenda utama perubahan karena telah terbukti sebagai penyumbang terbesar terhadap kerusakan lingkungan hidup saat ini. Seperti efisiensi bahan-bahan yang berasal atau diekstraksi dari lingkungan. Kerelaan untuk berkorban (willingness to sacrifice) dengan cara mengurangi kenikmatan dari bahan atau makanan yang kita konsumsi secara signifikan akan membantu menyelamatkan lingkungan. Sebagai contoh, jika singkong dimakan secara direbus saja sudah nikmat mengapa harus digoreng atau dibikin kue yang menggunakan aneka warna dan pewangi yang diekstrak dari alam. Bila satu orang yang melakukan itu tentu saja tidak akan ada dampak apa-apa terhadap lingkungan. Tapi, kalau yang berbuat seperti itu ada ribuan, bahkan jutaan orang, tentu akan sangat banyak bahan yang diekstrasi dari lingkungan sekitar.
Begitu juga penggunaan bungkus berbahan organik harus menjadi keinginan dan kemauan kita. Penggunaan kantong plastik di pasar-pasar, toko, supermarket perlu segera diganti dengan daun atau kertas. Berdasarkan survei, kantung plastik adalah bahan pencemar terbesar di sungai dan tanah. Bagi orang yang berkecukupan dan pejabat harus rela mengurangi penggunaan AC di ruangan dan mobilnya. Bila penggunaannya tidak bisa dihindarkan, gunakan suhu AC yang tidak terlalu rendah karena semakin rendah stelan suhu AC maka akan semakin banyak panas yang dibuang ke lingkungan dan berkontribusi besar tehadap pemanasan global yang saat ini semakin nyata kita rasakan dampaknya. Termasuk aksesori pakaian, mobil, dan rumah yang berasal dari bahan alam untuk tujuan eksklusifitas penampilan hendaknya dihindari.
Pentingnya pemahaman dan internalisasi etika lingkungan pada setiap level masyarakat dan profesi. Etika memang diperlukan manusia. Manusia tanpa etika bukanlah manusia. Tetapi dari segi praktis, etika sering kali kurang kuat sebagai driving factor bagi manusia untuk melestarikan lingkungan hidup. Dalam kondisi demikian etika harus disertai pertimbangan yang langsung mengenai kepentingan praktis manusia. Misalnya, kerusakan hutan akan menyebabkan banjir, lubang ozon akan menyebabkan jumlah orang buta bertambah karena katarak dan kanker kulit, pemanasan global dapat menenggelamkan desa dan kota yang dekat dengan pantai, dan timbal yang berasal dari buangan kendaraan bermotor akan menurunkan IQ dan menyebabkan impotensi. Semuanya itu membuat manusia menderita.
Agenda setting penyelamatan lingkungan hidup perlu diperlebar jangkauannya. Gerakan penyelamatan lingkungan hidup perlu mentransformasikan dirinya menjadi gerakan sosial dan politik yang melibatkan seluruh komponen masyarakat seperti buruh, petani, nelayan, guru, kaum profesional, pemuda, remaja, anak-anak, kaum perempuan, dan politisi. Sensitivitas para politisi di negeri ini terhadap isu-isu lingkungan pun perlu ditingkatkan dan sudah saatnya mereka menempatkan kepentingan lingkungan hidup pada posisi tawar tinggi. Karena, di dalam lingkungan hidup terdapat hak-hak dasar (basic rights) manusia dan prinsip keadilan lingkungan (environmental justice,) serta akses yang setara terhadap sumber-sumber kehidupan. Pada kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo, misalnya, rakyat yang terkena dampak kegiatan proyek seharusnya tidak mengalami nasib yang mengenaskan seperti sekarang bila hak-hak dasar penduduk yang telah tercerabut sedemikian rupa mendapatkan kompensasi yang sepadan (environmental justice) setelah memperhitungkan kerugian dari segala aspek dan tidak dikalahkan oleh pertimbangan profit perusahaan. Hal yang sama berlaku untuk makhluk hidup lain meskipun berbeda dalam implementasinya.
Kita juga berharap banyak kepada anggota legislatif agar lebih peduli dengan isu-isu lingkungan. Jika bisa, jadilah politisi hijau. Alangkah idealnya jika semua fraksi dan partai memiliki visi dan program lingkungan hidup yang kontekstual tentang daerahnya dan semua anggota pengurus melek masalah lingkungan hidup sehingga mampu mengangkat politik lingkungan secara khusus dalam forum resmi maupun tidak resmi.
Tidak kalah pentingnya adalah upaya memperkuat lembaga atau LSM yang peduli isu-isu lingkungan di daerah yang berfungsi sebagai local environment watch untuk memantau, mengingatkan secara kritis-korektif dan memberikan masukan sebagai second opinion untuk gubernur, bupati, wali kota, dan legislatif terkait visi dan agenda lingkungan hidup di daerahnya. Melalui itu semua, semoga terbangun kesadaran kolektif bahwa kita melestarikan lingkungan karena kita yang membutuhkan jasa lingkungan dan bukan sebaliknya. Bila lingkungan hidup luka, kita juga yang sengsara.
Penulis: Dr. Achyani, M.Si. (Dosen S2 Pendidikan Biologi PPs UM Metro)