Komunitas akademika kini banyak yang risau terkait tidak adanya tradisi riset yang dimililiki para doktor baru di Indonesia. Selesai menempuh program S-3 dan bergelar doktor, langsung tutup buku. Mereka tidak melanjutkan tradisi riset maupun menulis lagi.
“Kerisauan ini juga kita rasakan di UMS. Sekarang kita ingin membongkar kemandegan itu. Selanjutnya muncul tradisi baru di kalangan doktor baru untuk terus melanjutkan riset maupun menulis,” kata Prof Dr Khudzaifah Dimyati, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Kamis (23/01/2014).
Sedikitnya ilmuwan Indonesia dalam memberikan kontribusi dalam pembangunan disinyalir buntut dari kemandegan itu. Yang terlihat produktivitas riset kita kalah dengan negara tetangga. “Bahkan dengan Nigeria juga kalah. Padahal gelar doktor sesungguhnya representasi dari riset. Jadi inilah yang harus kita hidupkan,” katanya.
Bersama Ketua Prodi S-3 Ilmu Hukum Prof Dr Absori, ia telah menyiapkan program untuk membangun tradisi kelanjutan riset kepada lulusan doktor UMS. Mereka tidak ingin setelah lulus menyelesaikan doktor berhenti melakukan riset, seperti pohon pisang.
Menurut Prof Dimyati, kemandegan terjadi akibat selama ini belum jalannya tradisi riset. Yang berkembang tradiai tutur, bukan tradisi tulis. Rupanya jajaran di direktorat pendidikan tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga mengalami kerisauan. Ini bisa terbaca dengan dikembangkan berbagai skim penelitian untuk dosen.
“Tersedianya skim penelitian itu dapat menghindari terjadinya kemacetan tradisi riset di kalangan doktor yang berprofesi sebagai dosen. Realitas belum berjalannya tradisi riset di Indonesia, maka teoriwan banyak datang dari barat. Padahal mereka tidak sedikit yang melakukan riset di tanah air.” (Qom)
Sumber : krjogja.com