SDM Harus Expert Sesuai Bidangnya

SDM Harus Expert Sesuai Bidangnya

Oleh : M. Arif Susanto
Wakil Ketua 1 STIT Muhanmadiyah Bojonegoro

Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Muhammadiyah (PTKIM) merupakan Lembaga Pendidikan Tinggi dibawah binaan Direktorat Jendral Pendidikan Islam (Dijen Pendis) kementerian Agama Republik Indonesia, serta dibawah naungan Majelis Pendidikan Tinggil Penelitian dan Pengembang Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Sangat penting bagi Sumber Daya Manusia (SDM) dalam sebuah lembaga untuk terus meningkatkan kompetensi, kapasitas diri, loyalitas dan produktivitas kerja sesuai dengan bidang dan tanggungjawab yang melekat kepadanya.

Secara umum bidang-bidang yang terdapat pada PTKIM misalnya : Bidang Kepemimpinan dan Organisasi terdiri dari Ketua, Wakil ketua 1 bidang Akademik, wakil ketua 2 bidang keuangan dan SDM, Wakil ketua 3 bidang Kemahasiswaan Alumni dan AIK, Lembaga Penjaminan Mutu (LPM), Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM), Badan Administrasi Akademik (BAAK), Bagian Administrasi Umum dan Kemahasiswaan (BAU-K), Ketatausahaan, Bendahara, Bagian Perencanaan Program dan Kerjasama, Perpustakaan, Kaprodi serta bidang-bidang lain yang diadakan dan ditetapkan oleh sebuah lembaga.

Bidang-bidang diatas pada umumnya tertuang didalam Dokumen Tugas Pokok dan Fungsi (TUPOKSI) yang telah disusun dan ditetapkan oleh stake holder, sebagai salah satu dokumen acuan kerja yang mendukung tercapainya visi, misi dan tujuan lembaga yang menjadi target keberhasilan pada kurun waktu atau periode kepemimpinan tertentu.

Bidang atau satuan kerja diatas menjadi faktor penting tercapainya visi dan misi PTKIM apabila dapat fokus menjalankan program kerja lembaga.

Dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab, harus diupayakan sesuai dengan tupoksi yang telah disusun dan menjadi kesepakatan bersama, dokumen tupoksi menjadi salah satu pijakan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan bidang yang ada.

Tak dapat dipungkiri bahwa bidang atau satuan kerja yang diangkat, harus mampu melakukan :
1. Optimalisasi kinerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi)
2. Fokus terhadap pencapaian visi misi lembaga
3. Melakukan inovasi (pembaruan) sesuai dengan bidang kerja, sebagai upaya mencari terobosan terbaru menyesuaian dengan perkembangan yang ada.

Namun yang menjadi catatan penting adalah seluruh struktural harus memiliki rasa tanggungjawab bersama, kepentingan bersama, target yang sama yaitu mencapai terwujudnya visi, misi dan tujuan sebuah lembaga.

Bila hal-hal diatas dijalankan dengan baik, InsyaAllah ketercapaian prestasi kerja akan dirai secara signifikan, yang lokus utamanya adalah memajukan lembaga dan memastikan tercapainya kemaslahatan jamaah yang berada didalam sebuah civitas.

Namun sebaliknya, sehebat apapun prestasi kerja seseorang yang tidak berorientasi pada Tugas Pokok dan Fungsi (TUPOKSI), maka sama saja dengan tidak ada perbaikan pada Tugas Pokok yang dipegang, yang seharusnya menjadi konsentrasinya.

Ada hal penting yang harus menjadi fokus pencapaian oleh masing-masing bidang di dalam sebuah lembaga, yaitu terpenuhinya kepuasan user, user sebuah kampus dalam hal ini adalah mahasiswa, serta lembaga pengguna lulusan.

Sejalan dengan konsep Manajemen TQM (Total Quality Manajemen) yaitu manajemen berbasis kepuasan pelanggan, yang didalam sebuah lembaha pendidikan, user (mahasiswa) adalah pelanggan, maka upayakanlah menjalankan suatu pekerjaan sesuai dengan Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi) yang berorientasi pada perbaikan sistem (system oriented) yang ada didalam sebuah lembaga, agar perbaikan-perbaikan dapat terukur serta berdampak secara menyeluruh.

Mengapa system oriented penting?
Bekerja dengan prinsip sistem oriented penting Karena dengan kita membangun sistemnya, maka proses perbaikan sebuah lembaga tidak akan terulang-ulang, meskipun terjadi pergantian kepemimpinan, sebab sistemlah yang akan berjalan, adapun SDM di dalamnya bertanggungjawab sebagai pelaku sistem dan membuat inovasi-inovasi dalam rangka pengembangan dan perubahan ke arah yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Bagaimana bila sistem pada sebuah lembaga belum terbentuk?
Maka menjadi kewajiban stake holder untuk membentuk sistem kerja yang efektif dalam sebuah lembaga, dengan cara melaksanakan rapat kerja bersama dengan seluruh civitas akademik dengan melibatkan Badan Pembina Harian (BPH), pengguna User dan tokoh masyarakat ,agar produk sistem kerja yang disusun memiliki implikasi yang berdampak luas, serta memiliki kekuatan yang bersifat mengikat bagi seluruh lapisan satuan kerja. (rifsusanto).

Kunang-kunang, Satu Jejak Kehidupan yang Hilang

Kemanakah kunang-kunang itu perginya? Kisah kunang-kunang malang yang terabaikan dan tergusur oleh sikap dan perilaku egois manusia, sungguh menyedihkan. Bagi orang seperti saya yang tergolong ‘Yesterday People’. Kunang-kunang sungguh begitu memorable karena mereka pernah menghiasi kemeriahan malam-malam kami di kampung yang dulu gelap gulita dikarenakan belum adanya listrik untuk menyinari. Bersama mereka, kami menjalani malam-malam yang romantis. Meskipun terkadang takut juga karena termakan mitos bahwa kunang-kunang berasal dari kuku orang mati. Pada malam-malam tertentu, kunang-kunang hadir begitu meriah mempertontonkan kerlipan cahaya (sebagai efek kerja bioluminescence) dan tidak kenal lelah terbang ke sana ke mari menjadikan malam begitu indah dan terasa megah.

Jika  Rachel Carson menulis sebuah buku yang legendaris: “Silent Spring”, sebagai ungkapan keterkejutan dan kesedihannya menyaksikan alam sekitar yang berubah secara tiba-tiba. Musim semi yang biasanya meriah dan riuh rendah sebagai “lebaran” para binatang sehabis hibernasi di musim dingin yang mencekam,  tapi di pagi musim semi itu justru sangat sepi. Kemanakah gerangan burung-burung, serangga, dan binatang lain perginya secara tiba-tiba? Jawabannya, menyedihkan. Ternyata mereka semua tidak lagi dapat bersuara karena sedang menderita sakit akut, bahkan mati bergelimpangan karena efek berantai penggunaan pestisida yang tidak terkontrol. Jadilah, pagi itu musim semi yang sunyi, dan tersunyi dari musim-musim semi sebelumnya.

Maka, pada konteks yang sama  kita dapat mengambil angle dan perspektif Carson terhadap fenomena menghilangnya kemeriahan bias sinar kunang-kunang di malam hari, sebagai “Blue Night”. Malam yang sendu dan suram. Malam-malam penuh cahaya alam nan natural dan syahdu kini tergantikan cahaya lampu yang gemerlapan dan masif, yang justru disinyalir sebagai salah satu faktor penyebab kepunahan kunang-kunang. Cahaya buatan yang dimaksud para peneliti mencakup pencahayaan langsung, seperti lampu dan papan iklan, serta skyglow yang merupakan pencahayaan pada malam hari yang menyebar dan biasanya tampak lebih terang daripada bulan purnama.

Menurut  sebuah studi, polusi cahaya di samping menganggu bioritme alami kunang-kunang, juga benar-benar mengacaukan ritual kawin kunang-kunang. Banyak kunang-kunang yang bergantung pada kemampuan diri mereka untuk bercahaya dalam mencari dan menarik perhatian pasangan. Lingkungan yang terlalu terang akibat cahaya buatan manusia bisa mengganggu ritual ini. Polusi cahaya bahkan disebut para ahli sebagai ancaman tingkat global paling serius kedua bagi kunang-kunang.

Namun faktor penyebab utama punahnya kunang-kunang adalah hilangnya habitat “special” kunang-kunang, yaitu sebuah habitat alaminya yang harus bebas dari jenis pupuk ataupun pestisida sintetis. Selain itu kunang-kunang menyukai  tempat yang memiliki kelembapan tinggi, cenderung basah, dan hangat seperti hutan basah, rawa-rawa, sepanjang tepian sungai, lahan perkebunan dan lahan tanaman padi. Berdasarkan karakteristik tersebut, kunang-kunang sering dijadikan bio-indikator lingkungan alami dan bersih. Sebab, kunang-kunang merupakan serangga yang sangat sensitif/rentan terhadap degradasi dan pencemaran lingkungan.

Lalu, bagaimana dengan pendapat bahwa kunang-kunang banyak tinggal di kuburan karena berasal dari kuku orang mati? Itu mitos atau fakta? Dua-duanya, kunang-kunang secara  fakta menyukai tinggal di kuburan karena tanah kuburan beberapa tahun lalu adalah tanah yang relatif steril, yang bebas dari penggunaan pupuk organik dan pestisida (bukan karena berkembang biak dari kuku orang mati). Namun seiring perkembangan zaman dengan mudah dan murahnya  membeli pestisida, maka untuk menyiangi rumput-rumput yang tumbuh di pemakaman tidak lagi menggunakan cangkul  tapi pestisida rumput (herbisida). Telur dan larva kunang-kunang pun mati dan terkubur di kuburan manusia.

Di tempat lain pun begitu, malah lebih parah. Hampir semua sawah dan kebun kita kini penuh dengan pupuk sintetetis dan residu kimia pestisida. Saatnya, kita mengucapkan selamat jalan kepada kunang-kunang dari kampung atau pun kota yang kita tinggali seraya meminta maaf atas apa yang telah kita lakukan kepada mereka. Sambil berharap semoga mereka dapat menemukan tempat baru yang lebih homy dan menjamin keberlangsungan kehidupannya.

Penulis : Dr. Achyani, M.Si. (Dosen S2 Pendidikan Biologi UM Metro)

Belajar Melek Lingkungan dari Kearifan Lokal

Menarik, sekaligus ironis jika dicermati mengapa orang kota yang mengaku modern dan senyatanya memiliki level sekolah lebih tinggi (melek pengetahuan) berbondong-bondong mengunjungi suku-suku asli (pedalaman) di pelbagai tempat. Tujuannya, sekedar mengagumi keasrian alam yang didiami dan dirawat penduduk asli, disertai keheranan mengapa alam di sini bisa begitu utuh, segar, hijau, dan lestari seperti ini? Tentu saja sekalian melampiaskan kepenatan suasana kota yang gersang dan kaku. Pendek kata orang-orang modern yang datang dari kota itu membutuhkan lingkungan yang belum mereka rusak melalui kebijakan yang lebih berpihak pada pemodal, mementingkan ekonomi, dan menganaktirikan ekologi.

Ironi memang ada dan terjadi di mana-mana, bahkan di kalangan orang yang berlevel pendidikan tinggi sering berperilaku lucu dan rancu. Bagaimana tidak, bukankah orang yang sering berkunjung dan mencari kedamaian di lingkungan yang hijau dan damai tersebut adalah mereka yang sering membuat kebijakan yang tidak ramah lingkungan, yaitu mereka para pengambil kebijakan di negeri ini yang tidak mengetahui dan menghargai  pengetahuan indigenous penduduk asli. Lebih parah lagi mereka yang mengabaikan kontribusi penduduk asli dalam menyelamatkan plasma nutfah. Alih-alih dianggap sebagai pahlawan lingkungan, malah mereka sering dianggap sebagai perusak lingkungan dengan cap sebagai pembakar hutan dan peladang berpindah yang menghabiskan hutan.

Dalam konteks demikian kita kehilangan kebermaknaan melek pengetahuan para lulusan bila dikaitkan melek lingkungan (environment literacy). Ada gap yang lebar antara pengetahuan lingkungan (melek ilmu) di satu sisi, dengan kemampuan menghargai lingkungan (melek lingkungan). Sebagian besar para perintis dan pengabdi lingkungan memang terbukti bukan dari kalangan akademisi atau birokrat, tapi justru para petani atau nelayan yang jenjang pendidikannya hanya lulusan sekolah dasar.

Mengapa para penduduk asli lebih melek lingkungan dan dapat melakukan itu semua tanpa latar belakang pendidikan sekolah yang tinggi? Dari sebuah penelitian didapatkan hasil bahwa perilaku peduli lingkungan tidak dipengaruhi secara kuat oleh pengetahuan sesorang, tetapi dipengaruhi secara kuat oleh kerelaan atau ketulusan seseorang dalam berbuat (willingnes to sacrificed). Menumbuhkan jiwa ketulusan, altruis, tidak egois, saling menghargai, ringan tangan tidak cukup dengan asupan pengetahuan lingkungan, tetapi dengan pembiasaan dan pembudayaan yang dirancang dari masa anak-anak. Maka, sekolah di pendidikan dasar, sebagaimana teori dari para ahli psikologi pendidikan, seharusnya diisi dengan ranah afektif dengan porsi yang lebih besar dibandingkan ranah kognitif. Sebaliknya, semakin bertambah usia porsi afektif mengecil dan kognitif yang makin banyak. Apakah itu semua sudah kita lakukan di sekolah? Secara by design belum. Hal ini terlihat dari beban kurikuler yang bersifat kognitif di pendidikan dasar masih sangat padat (crowded), dengan begitu kapan ada waktu bagi guru untuk dapat membangun kultur seperti tadi di atas dengan baik dan terarah.

Sudah sepantasnya kita semua tidak terus menerus mengandalkan penduduk pedalaman untuk menyelamatkan lingkungan hidup sekitar. Kalau mereka bisa mengembangkan kearifan dalam berinteraksi dengan lingkungannya, mengapa kita yang dibekali pendidikan, teknologi, dan ekonomi yang (mungkin) lebih baik dari mereka  tidak bisa mengembangkan gerakan kearifan merawat lingkungan hidup secara  lebih baik. Selain itu, penting juga untuk memahami secara prinsip penyebab utama sulitnya menumbuhkan kesadaran dan perilaku ramah lingkungan pada bangsa Indonesia.

Faktor gaya hidup (life style) manusia harus menjadi agenda utama perubahan karena telah terbukti sebagai penyumbang terbesar terhadap kerusakan lingkungan hidup saat ini. Seperti efisiensi bahan-bahan yang berasal atau diekstraksi dari lingkungan. Kerelaan untuk berkorban (willingness to sacrifice) dengan cara  mengurangi kenikmatan dari bahan atau makanan yang kita konsumsi secara signifikan akan membantu menyelamatkan lingkungan. Sebagai contoh, jika singkong dimakan secara direbus saja sudah nikmat mengapa harus digoreng atau dibikin kue yang menggunakan aneka warna dan pewangi yang  diekstrak dari alam. Bila satu orang yang melakukan itu tentu saja tidak akan ada dampak apa-apa terhadap lingkungan. Tapi, kalau yang berbuat seperti itu ada ribuan, bahkan jutaan orang, tentu akan sangat banyak bahan yang diekstrasi dari lingkungan sekitar.

Begitu juga penggunaan bungkus berbahan organik harus menjadi keinginan dan kemauan kita. Penggunaan kantong plastik di pasar-pasar, toko, supermarket perlu segera diganti dengan daun atau kertas. Berdasarkan survei, kantung plastik adalah bahan pencemar terbesar di sungai dan tanah. Bagi  orang yang berkecukupan dan pejabat harus rela mengurangi penggunaan AC di ruangan dan mobilnya. Bila penggunaannya tidak bisa dihindarkan, gunakan suhu AC yang tidak terlalu rendah karena semakin rendah stelan suhu AC maka akan semakin banyak panas yang dibuang ke lingkungan dan berkontribusi besar tehadap pemanasan global yang saat ini semakin nyata kita rasakan dampaknya. Termasuk aksesori pakaian, mobil, dan rumah yang  berasal dari bahan alam  untuk tujuan eksklusifitas penampilan hendaknya dihindari.

Pentingnya pemahaman dan internalisasi etika lingkungan pada setiap level masyarakat dan profesi. Etika memang diperlukan manusia. Manusia tanpa etika bukanlah manusia. Tetapi dari segi praktis, etika sering kali kurang kuat sebagai driving factor bagi manusia untuk melestarikan lingkungan hidup. Dalam kondisi demikian etika harus disertai pertimbangan yang langsung mengenai kepentingan praktis manusia. Misalnya, kerusakan hutan akan menyebabkan banjir, lubang ozon akan menyebabkan jumlah orang buta bertambah karena katarak dan kanker kulit, pemanasan global dapat menenggelamkan desa dan  kota yang dekat dengan pantai, dan timbal yang berasal dari buangan kendaraan bermotor akan menurunkan IQ dan menyebabkan impotensi. Semuanya itu membuat manusia menderita.

Agenda setting penyelamatan lingkungan hidup perlu diperlebar jangkauannya. Gerakan penyelamatan lingkungan hidup perlu mentransformasikan dirinya menjadi gerakan sosial dan politik  yang melibatkan seluruh komponen masyarakat seperti buruh, petani, nelayan, guru, kaum profesional, pemuda, remaja, anak-anak, kaum perempuan, dan politisi. Sensitivitas para politisi di negeri ini terhadap isu-isu lingkungan pun  perlu ditingkatkan dan sudah saatnya mereka menempatkan  kepentingan lingkungan hidup pada posisi tawar tinggi. Karena, di dalam lingkungan hidup terdapat hak-hak dasar (basic rights) manusia dan prinsip keadilan lingkungan (environmental justice,) serta akses yang setara terhadap sumber-sumber kehidupan. Pada kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo, misalnya, rakyat yang terkena dampak kegiatan proyek seharusnya tidak mengalami nasib yang mengenaskan seperti sekarang bila hak-hak dasar penduduk yang telah tercerabut sedemikian rupa  mendapatkan kompensasi yang sepadan (environmental justice) setelah memperhitungkan kerugian dari segala aspek dan tidak dikalahkan oleh pertimbangan profit perusahaan. Hal yang sama berlaku untuk makhluk hidup lain meskipun berbeda dalam implementasinya.

Kita juga berharap banyak kepada anggota legislatif agar lebih peduli dengan isu-isu lingkungan. Jika bisa, jadilah politisi hijau. Alangkah idealnya jika  semua fraksi dan partai  memiliki visi dan program lingkungan hidup yang kontekstual tentang daerahnya dan  semua anggota pengurus melek  masalah lingkungan hidup sehingga mampu mengangkat politik lingkungan secara khusus dalam forum resmi maupun tidak resmi.

Tidak kalah pentingnya adalah upaya memperkuat lembaga atau LSM yang peduli isu-isu lingkungan di daerah yang berfungsi sebagai local environment watch untuk memantau, mengingatkan secara kritis-korektif dan memberikan masukan sebagai second opinion untuk gubernur, bupati, wali kota, dan legislatif terkait  visi dan agenda lingkungan hidup di daerahnya. Melalui itu semua, semoga terbangun kesadaran kolektif bahwa kita melestarikan lingkungan karena kita yang membutuhkan jasa lingkungan dan bukan sebaliknya. Bila lingkungan hidup luka,  kita juga yang sengsara.

Penulis: Dr. Achyani, M.Si. (Dosen S2 Pendidikan Biologi PPs UM Metro)

Agar Virus Corona Tidak Mempengaruhi Kesehatan Mental

Himpsi (Himpunan Psikologi Indonesia) telah mengeluarkan beberapa panduan terkait wabah Covid-19. Dalam himbauan yang dikeluarkan, dijelaskan hal penting bahwa keadaan mental akan mempengaruhi kondisi fisik. Salah satunya adalah kecemasan yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh/imunitas.

Meskipun terdapat mekanisme psikoneuroimunologi yang kompleks dalam menjelaskan keterkaitan antara kondisi emosi dengan kekebalan tubuh, bagaimana kondisi emosi dapat mempengaruhi kondisi fisik dapat dijelaskan dengan beberapa contoh sederhana. Contoh nyata sederhana ialah, ketika dalam kondisi emosi yang berlebihan, cemas misalnya, nafsu makan akan berkurang sehingga mempengaruhi pola makan normal sehari-hari. Kecemasan yang berlebihan juga akan mengganggu pola tidur sehingga berkemungkinan mengalami kesulitan untuk tidur dengan cukup. Asupan makanan dan pola tidur yang baik, merupakan salah satu hal yang membantu tubuh anda untuk membangun sistem kekebalan tubuh. Ketika asupan makanan dan pola tidur menjadi tidak teratur, kemungkinan sistem kekebalan tubuh anda akan terpengaruh.

Ada banyak hal yang dapat memicu kecemasan di saat wabah Covid-19 seperti ini. Agar kecemasan dalam diri  dapat dimanajemen dengan baik, maka harus bisa mencegah hal-hal yang membuat cemas memasuki pikiran. Wabah Covid-19 memang hal yang serius, layak mendapatkan kewaspadaan dari kita. Namun, perhatian dan kewaspadaan yang berlebihan dapat menjadi over waspada dan mengarah pada kecemasan yang berlebihan.

Informasi mengenai wabah Covid-19 dapat membantu untuk waspada dan merespon wabah Covid-19 dengan benar. Di era keterbukaan informasi saat ini, informasi mengenai Covid 19 bisa didapatkan dari berbagai sumber. Informasi tidak hanya didapat dari berita di tv, koran, atau media masa terkenal, namun informasi bisa juga didapatkan dari berbagai platform media sosial. Sayangnya informasi yang dibagikan pada platform media sosial masih banyak yang mengandung informasi bohong atau berita hoax. Informasi konstan mengenai peringatan wabah Covid-19 yang menjejali pikiran, lama-kelamaan tentunya akan mempengaruhi kesehatan mental. Anda menjadi over waspada dan cenderung akan mengalami kecemasan serta panik berlebihan.

Kabar baiknya, terdapat tips agar dapat meminimalisir terpengaruhnya kesehatan mental dari wabah Covid-19. Tips ini penulis kutip dari Lynn Bufka, salah satu direktur American Psychological Associaton (APA). Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan dalam mengontrol informasi yang masuk:

1.  Cari satu sumber informasi yang dapat dipercaya dan tetap mendapatkan informasi hanya dari sumber tersebut

Saat ini pemerintah Indonesia telah menetapkan gugus tugas yang khusus merespon wabah Covid-19. Beberapa ormas, seperti Muhammadiyah juga telah membuat tim khusus untuk merespon wabah Covid-19. Update informasi bisa didapatkan dari sumber pemerintah atau ormas yang terpercaya.

2. Batasi frekuensi update informasi mengenai wabah Covid-19

Informasi mengenai wabah Covid-19 mungkin dapat berganti secara cepat, tetapi hal tersebut tidak mengharuskan Anda untuk selalu update informasi setiap saat. Sebagai contoh, jika informasi cuaca buruk atau banjir mengenai daerah Anda, Anda harus update informasi mengenai hal tersebut agar Anda dapat mengungsi. Informasi mengenai Covid-19 tidak sama dengan hal tersebut, jika Covid-19 telah menyambangi daerah Anda, yang Anda lakukan pun tetap sama. Anda harus berdiam di rumah dan mempraktikan pola hidup sehat. Seberapa cepat informasi mengenai Covid-19 berubah, respon yang Anda perlukan juga tetap sama. Update mengenai Covid-19 mungkin hanya membuat Anda menjadi lebih cemas.

3. Tahu kapan harus mengabaikan informasi mengenai wabah Covid-19

Cobalah membiasakan diri untuk tidak berusaha tahu hal-hal detail mengenai wabah Covid-19 dan berusaha beradaptasi dengan ketidakpastian. Matikan telepon atau minimal batasi frekuensi membaca share berita di media sosial mengenai wabah Covid-19. Bercengkerama dengan keluarga akan lebih baik bagi mental, dibandingkan harus mengecek kabar berita di media sosial.

4. Praktikan displin memanajemen penggunaan media sosial

Tidak mudah membatasi diri untuk bersinggungan dengan media sosial. Tetapi harus dingat bahwa kemungkinan mendapatkan informasi mengenai Covid-19 di media sosial akan jauh lebih banyak dibandingkan informasi update aktual dari lembaga terpercaya. Mungkin Anda bisa mencoba cara yang paling ekstrem, dengan meng-uninstall media sosial yang dimiliki.

Selain beberapa tips di atas, Anda harus mengenali apa yang Anda takutkan dari wabah Covid-19. Sumber ketakutan utama dari wabah Covid-19 biasanya adalah : Anda merasa akan terkena virus tersebut dan menyebabkan Anda mati, atau Anda takut virus tersebut mengenai orang yang Anda kasihi dan menyebabkan kematian. Ketakutan-ketakutan terhadap apa yang akan terjadi nanti (padahal belum tentu akan terjadi), meningkatkan perasaan keputusasaan. Seseorang yang cemas cenderung secara berlebihan menilai situasi yang terjadi (overestimate) dan cenderung meremehkan kapasitas pribadi (underestimate). Sebenarnya mampu, namun keputusasaan menyebabkan tidak dapat melihat potensi yang dimilikinya dalam menghadapi kondisi lingkungan yang mengancam.

Ketika sudah mengetahui sumber ketakutan yang dimiliki, Anda mulai bisa berfikir lebih rasional untuk menepis ketakutan-ketakutan yang membayangi. Lihatlah data-data dari sumber resmi terkait proporsi penyebaran virus Corona. Berapa persen Anda atau orang yang Anda kasihi berkemungkinan terjangkit virus ini. Ketika Anda telah melakukan anjuran pemerintah mengenai pola hidup sehat dan bersih serta mengatur jarak sosial (social distancing), bahkan berdiam diri di rumah bersama keluarga, Anda telah melakukan upaya maksimal dalam melindungi diri Anda dan orang yang Anda kasihi.

Setelah melakukan upaya maksimal dalam melindungi diri dan orang yang dikasihi, Anda mulai dapat banyak berdoa dan menyerahkan kondisi pada yang kuasa. Pendekatan religious dapat mengimbangi kecemasan – kecemasan yang mungkin menghantui. Anda bisa mulai membuat kesadaran diri, bahwa ada hal-hal abstrak (virus) yang mungkin akan mencelakakan anda, namun ada juga Tuhan yang Maha Kuasa (yang tidak anda lihat) yang melindungi Anda dan orang yang dikasihi. Perbanyaklah ibadah atau mendekatkan diri pada yang kuasa agar dapat merasa lebih tenang dalam menghadapi situasi yang tidak pasti. Anda juga dapat mencari dukungan sosial dari orang di sekitar agar anda lebih tenang. Anda dapat berdiskusi dengan orang-orang yang lebih bijak dalam menyikapi wabah Covid-19. Atau dapat juga menghubungi psikolog, psikiater, dan konselor untuk membantu Anda untuk tidak cemas.

Penulis: Dr. Satrio Budi Wibowo., S.Psi., M.A (Dosen Psikologi UM Metro & Ketua divisi Psikososial MDMC Kota Metro)

Penguatan Intercultural Pragmatics dalam Kurikulum Bahasa Inggris

Terdapat sekitar 1,5 milyar lebih dari penduduk dunia yang berjumlah 7,5 milyar yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan internasional. Sekitar 360 juta di antaranya merupakan penutur asli (native speaker), demikian dikutip dari www. babble.com. Di regional Asia, lebih sedikit penutur asli bahasa Inggris tetapi cukup banyak yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua (second language) atau bahasa asing (foreign language).  Secara spesifik, ada sekitar 160 juta penutur bahasa Inggris di India, Pakistan 94 juta, dan Filipina 90 juta. Di regional Asia Tenggara seperti Vietnam, Kamboja, Thailand, Singapura dan Malaysia, bahasa Inggris terus naik statusnya dari bahasa asing menjadi bahasa kedua setelah bahasa nasional di negaranya. Di Indonesia, status bahasa Inggris masih sebagai bahasa asing dan belum begitu banyak penuturnya. Hal tersebut bergantung kepada kebijakan politik dalam berbahasa (language policy). Perubahan kurikulum yang terjadi selama ini juga terus berubah sesuai dengan pergantian menteri di era kabinet yang baru.

Sebagai sebuah refleksi dan motivasi, dalam hal kecakapan dan kemampuan berbahasa Inggris (proficiency), berdasarkan rilis EF EPI 2019 yang memuat peringkat 100 negara dengan kemampuan atau kefasihan berbahasa Inggris (proficiency), Indonesia berada pada peringkat ke-61 dengan status pada level  low proficiency dengan nilai indeks (50,60). Sementara peringkat nomor satu diraih oleh Belanda (70,27), Swedia (68,74), dan Norwegia (67,93). Adapun sebagai komparasi posisi negara tetangga ASEAN, Singapura berada di peringkat ke-5 (66,82), Filipina peringkat ke-20 (60,14) dan Malaysia ke-26 (58, 56). Rilis tersebut menggambarkan bahwa tingkat penguasaan bahasa Inggris di Indonesia masih di bawah negara-negara tetangga di tingkat ASEAN. Kondisi tersebut tentunya dipengaruhi oleh kebijakan kurikulum yang diterapkan oleh pemerintah masing-masing dalam upaya memajukan mutu pendidikannya.

Urgensi Review Kurikulum Bahasa Inggris  

Pengalaman penulis yang sudah belajar bahasa Inggris sejak SMP,  pengajaran bahasa Inggris di sekolah masih menitikberatkan kepada penguasaan tata bahasa, pemahaman bacaan, membaca intensif yang membosankan, dan penjelasan yang kompleks tentang penggunaan sebuah tenses dalam kehidupan sehari-hari, serta mengenal jenis-jenis teks yang kaku tanpa penekanan kepada bagaimana berbahasa sesuai dengan konteks sosial yang ada. Pengajaran bahasa Inggris di tingkat SMP-SMA masih menekankan kepada unsur grammar, fonologi, dan semantik.  Padahal terdapat rumpun ilmu lingusitik yang lebih memerlukan perhatian lebih karena langsung membahas bagaimana bahasa digunakan sesuai dengan konteksnya, yaitu ilmu pragmatik (pragmatics). Terlebih mata pelajaran bahasa Inggris yang di UN-kan hanya aspek membaca (reading) dan mendengar (listening). Tidaklah aneh siswa lulusan SMA tidak memiliki kemampuan berbicara bahasa Inggris yang mumpuni, dan rata-rata menjadi penutur bahasa Inggris pasif.

Dalam kajian lingustik, pragmatics merupakan ilmu tersendiri yang menempati posisi tertinggi. Pragmatics adalah ilmu bahasa yang mempelajari bagaimana bahasa digunakan sesuai dengan konteks sosial (Taguchi & Roever, 2017). Posisi pragmatics sebagai sub ilmu linguistik yang tertinggi karena bahasa tidak semata-mata belajar tentang kata (leksem) dan tata-bahasa yang benar (prescriptive). Namun yang lebih dinamis adalah bagaimana bahasa digunakan dalam kehidupan nyata sesuai dengan keadaan sosial, budaya, sejarah, dan norma yang ada di sebuah masyarakat atau komunitas. Dalam pengamatan penulis, berkaitan dengan konten kurikulum pembelajaran bahasa Inggris di SMA khususnya, Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) pada Kurikulum 2013 masih berkisar pada communicative competence yang masih absurd. Jenis komunikasi yang harus dikuasai seperti intrapersonal communication, interpersonal communication, transactional communication, dan social functions dengan fokus kepada penguasaan pemahaman wacana (discourse) sudah saatnya direduksi. Lalu fokus dengan pendekataan yang lebih menekankan kepada kemampuan dalam memahami dan menggunakan bahasa Inggris untuk lebih dipersiapkan dalam berinteraksi dengan masyarakat internasional lintas budaya (intercultural pragmatics), dengan menggunakan bahasa Inggris sesuai dengan konteks bagaimana sebuah ujaran digunakan dalam sebuah percakapan atau komunikasi. Terlebih lagi komunikasi yang ada terbatas kepada mitra komunikasi antara guru (teachers) dan teman sebaya (peers). Tidak kepada komunikasi yang lebih luas dengan latar belakang budaya yang berbeda dari Indonesia, secara spesifik bagaimana berinteraksi dengan penutur asli (native speakers) sesuai dengan norma sosial yang mereka miliki dalam interaksi sehari-hari dari negara-negara penutur bahasa Inggris  yang berbeda.

Evaluasi Buku Teks

Model pendekatan kompetensi komunikatif yang dikembangkan oleh Bachman & Palmer (2010) dan Canale & Swain (1980) telah menekankan pentingnya komponen kompetensi pragmatik dalam mempelajari bahasa kedua/asing.  Secara esensi dari pendekataan tersebut bahwa komunikasi tidak hanya menekankan siswa pada pembelajaran tata bahasa (grammar), wacana (discourse), dan kompetensi strategis. Penutur bahasa kedua/asing lebih spesifik siswa harus memiliki pengetahuan pragmalinguistik (pragmalinguistic knowledge) yang berisi tentang pengetahuan linguistik (penggunaan atau pilihan kata) dalam berkomunikasi menggunakan bahasa target yang digunakan (bahasa Inggris). Selain itu penutur juga harus memiliki pengetahuan sosio-pragmatik (sociopragmatic knowledge) tentang bagaimana pengetahuan penggunaan bahasa terkait peraturan budaya dan norma, peran dan ketentuan yang sesuai dengan budaya asli dari penutur bahasa asli (native speaker).

Dalam realitasnya, pengajaran bahasa Inggris di tingkat SMA sederajat sudah saatnya tidak lagi fokus kepada penguasaan diskursus atau wacana dalam beberapa jenis teks (genre), tetapi harus sudah lebih ditekankan pada aspek penguasaan pragmatik lintas budaya (intercultural pragmatics) karena siswa SMA/sederajat berada pada fase penggunaan bahasa yang lebih  komunikatif dan lebih luas. Terlebih lagi dalam kondisi era disrupsi sosial yang semakin borderless dan interaksi lintas budaya global yang tidak dapat dihindari.

Buku teks memegang peranan sangat penting dalam pembelajaran karena merupakan sumber kedua setelah guru untuk siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Terlebih tantangan penggunaan bahasa Inggris di Indonesia yang masih merupakan bahasa asing dan masih sangat terbatas penggunaanya semakin menjadikan sebuah tantangan di tengah-tengah persaingan dunia yang cepat di bidang teknologi, industri dan ilmu pengetahuan di mana bahasa Inggris merupakan bahasa yang digunakan dalam transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada.  Lebih tegasnya, Grundy (2007) menjelaskan bahwa perlunya komponen pengetahuan pragmatik dimuat dalam metodologi pengajaran bahasa Inggris. Grundy (2007) menyebutnya dengan istilah pragmatic accommodation yang berisi empat tahapan: beginner, elementary, intermediate, dan advanced. Singkatnya, pembelajaran bahasa Inggris di tingkat SMA yang setara level adults, siswa harus sudah memiliki kemampuan memahami dan menggunakan bahasa secara konteks pragmatik yang lebih tinggi, bukan lagi memahami makna sebuah kata atau kalimat secara literal. Tentunya dengan latihan-latihan penggunaan bahasa sesuai konteks sosial yang ada di beberapa negara yang berbeda dengan budaya yang berbeda pula. Sebagai contoh, ujaran sapaan atau salam (greetings) dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris tentunya berbeda sesuai dengan waktu, lawan bicara, tingkat keakraban dan kesopanan (politeness). Siswa tidak hanya  bertanya meggunakan “How are you”? Tetapi mengetahui ujaran sapaan lain yang berbeda dan mengetahui konteks penggunaannya.  Sudah saatnya  kurikulum bahasa Inggris menekankan kepada kemampuan atau kompetensi pragmatik yang lebih fokus,  karena bagaimanapun pada akhirnya bahasa harus dipraktikkan sesuai dengan konteks sosial, tidak statis dan kaku sebagaimana penjelasan rumus-rumus atau formula linguistik dan tata bahasa yang dijelaskan secara rigid dalam buku teks. Kita hidup di era yang harus lebih terbuka dan memahami budaya bangsa lain. Bahasa Inggris sebagai lingua franca belum tergantikan hingga saat ini oleh bahasa lain, namun sebaliknya menunjukkan trend peningkatan dalam jumlah penuturnya.

Rudi Haryono, S.S., M.Pd.

Kandidat Doktor Linguistik Terapan Bahasa Inggris Unika Atma Jaya Jakarta

Dosen STKIP Muhammadiyah Bogor

Dari Bawah, PTMA Tumbuh

Tidak bisa dimungkiri, judul di atas menggambarkan realitas lahirnya 173 Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah (PTMA) yang eksis saat ini. Inisiatif lahirnya PTMA memang bisa datang. Dari PWM, PDM, bahkan PCM, ataupun dari anggota Muhammadiyah yang mengusung gagasannya untuk membuat perguruan tinggi melalui berbagai level “birokrasi” Muhammadiyah yang ada.

Betul, kini pengajuannya oleh PWM dan diproses oleh Majelis Diktilitbang. Namun, asal-muasalnya selalu bottom up, dari akar rumput yang kemudian dikerjakan bersama-sama sehingga menjadi PTMA seperti yang ada sekarang. Dalam sedikit kasus, ada juga PTMA yang pengelolaannya dialihkan dari yayasan lain ke Muhammadiyah. Tetapi, jika ditelusuri lebih lanjut, alur gagasannya pun sama. Asal-muasalnya dari masyarakat yang terpanggil untuk ikut mencerdaskan anak bangsa ini, sebagaimana K.H.A. Dahlan yang sejak sebelum melahirkan Muhammadiyah telah membuat sekolah-sekolah, yang kemudian dari ide itu berkembang ribuan sekolah dan perguruan tinggi di bawah panji Muhammadiyah.

Tetapi, sebetulnya munculnya lembaga pendidikan tinggi dari bawah ini bukan milik Muhammadiyah saja. Banyak PT lain yang juga lahir dengan gagasan dari bawah. Namun, belakangan muncul model-model pembuatan PT yang didesain dari atas: dari para pemodal besar. PT digagas dari atas, dan dalam tempo singkat lahir perguruan tinggi yang tibatiba saja muncul dengan sarana dan prasarana modern, serta dosen-dosen dengan latar belakang pendidikan tinggi yang mapan, seperti S-2 dan S-3 serta para tenaga pengajar yang kompeten dan bergaji besar. Pola big push seperti ini memang mampu melahirkan PT baru dengan cepat, dengan manajemen korporasi modern dan profesional. Ini merupakan pesaing bebas bagi PT-PT yang tumbuh bertahap, gradual, yang tumbuh lebih karena semangat pengabdian seperti PTMA-PTMA.

Itulah yang terjadi pada ranah perguruan tinggi Indonesia saat ini. Persaingan bebas antara PT yang didukung pemodal besar dan PT yang lahir dari bawah, yang menurut Forlap Dikti saat tulisan ini dibuat berjumlah 4.560 buah, dan 4.163 di antaranya adalah PTS. Persaingan keras ini membuat banyak PT kecil megap-megap (terengah-engah), dan hidup seadanya dengan kuantitas mahasiswa dan kualitas yang terbatas.

Bagaimana dengan PTM?

PTM yang tumbuh dari bawah ini umumnya memiliki semangat juang tinggi. Ia sudah terbiasa tumbuh dalam suasana perjuangan keras, bekerja dengan ketulusan dan keikhlasan, sehingga tantangan dan godaan seperti apa pun, umumnya bisa dilewati. Maka, tidak mengherankan jika kita melihat peta perguruan tinggi nasional, kuantitas dan kualitas PTM masih unggul dibandingkan dengan PT lainnya.

Dari sisi kuantitas misalnya, tak ada lembaga atau yayasan lain kecuali pemerintah yang memiliki PT dan mahasiswa sebanyak Muhammadiyah. Dari sisi kualitas, dengan merujuk pada jumlah PT yang terakreditasi dan nilai akreditasinya, PTM di atas rata-rata nasional. Misalnya, saat ini ada lima PTM dan ini akan terus bertambah yang terakreditasi institusi “A”. Sudah sekitar 50% PTM terakreditasi institusi, sementara PT nasional yang belum terakreditasi institusi tidak sampai separuhnya.

Itu membuat kita bangga dan yakin PTM akan terus berkembang. Namun, di tengah persaingan yang kian ketat ini, ghirah dan ketulusan saja tidak cukup. Pengelolaan PTM harus dengan manajemen yang profesional. Profesionalisme yang dipadukan dengan ketulusan dan semangat pengabdian yang tinggi akan membuat PTM menjadi besar, seperti yang ditunjukkan oleh beberapa PTM seperti Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA dan lain-lainnya.

Kini, masyarakat menuntut PT yang memiliki sarana dan prasrana memadai. Menuntut dosen ber-kualitas. Menuntut teknologi informasi yang sesuai dengan perkembangan zaman. Ini sudah bisa dipenuhi oleh sebagian PTM kita, sehingga posisinya berada jauh di atas rata-rata PTS lainnya dilainnya di tanah air. Namun, profesionalisme juga menuntut kontraprestasi yang layak bagi dosen dan tenaga kependidikannya. Ini tidak boleh dilupakan oleh para pimpinan PTM. Agar bisa tumbuh, unggul, berdaya saing dan berkemajuan, PTM memerlukan sumber daya manusia yang fokus pada kerja utamanya. Agar mereka bisa fokus, bisa menghidup-hidupkan Muhammadiyah, maka kehidupan mereka perlu dijamin lebih baik. Ini harus menjadi perhatian kita semua. Tentu saja, semua itu harus sesuai dengan daya dukung masing-masing PTM.

Tumbuhnya PTM dari akar rumput jelas menjadi aset berharga bagi Persyarikatan Muhammadiyah. Ini masih belum berhenti, dan kita harapkan berlangsung terus sampai akhir zaman. Tidak hanya berkiprah di tanah air, tetapi ladang dakwah Muhammadiyah bisa di mana pun di atas jagad ini. Dan kini, pendidikan Muhammadiyah sudah mulai merintis era baru dengan masuk ke mancanegara. PTM pun akan menuju ke sana. Tetapi sekali lagi, ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pengelolaan PTM secara profesional merupakan suatu keniscayaan jika kita ingin menuju ke arah itu.

Menjadi perguruan tinggi bereputasi dunia merupakan cita-cita semua PTM. Reputasi itu dibangun bertahap. Karenanya, PTM di daerah, misalnya, bisa memulai membangun reputasi pada tingkat lokal, dan berkembang pada level regional dan nasional, kemudian pada tingkat global. Dengan semangat dari bawah, dari daerah, kita membawa PTM-PTM menuju tingkat internasional. Insya Allah, barokallah.