Penguatan Intercultural Pragmatics dalam Kurikulum Bahasa Inggris

Terdapat sekitar 1,5 milyar lebih dari penduduk dunia yang berjumlah 7,5 milyar yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan internasional. Sekitar 360 juta di antaranya merupakan penutur asli (native speaker), demikian dikutip dari www. babble.com. Di regional Asia, lebih sedikit penutur asli bahasa Inggris tetapi cukup banyak yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua (second language) atau bahasa asing (foreign language).  Secara spesifik, ada sekitar 160 juta penutur bahasa Inggris di India, Pakistan 94 juta, dan Filipina 90 juta. Di regional Asia Tenggara seperti Vietnam, Kamboja, Thailand, Singapura dan Malaysia, bahasa Inggris terus naik statusnya dari bahasa asing menjadi bahasa kedua setelah bahasa nasional di negaranya. Di Indonesia, status bahasa Inggris masih sebagai bahasa asing dan belum begitu banyak penuturnya. Hal tersebut bergantung kepada kebijakan politik dalam berbahasa (language policy). Perubahan kurikulum yang terjadi selama ini juga terus berubah sesuai dengan pergantian menteri di era kabinet yang baru.

Sebagai sebuah refleksi dan motivasi, dalam hal kecakapan dan kemampuan berbahasa Inggris (proficiency), berdasarkan rilis EF EPI 2019 yang memuat peringkat 100 negara dengan kemampuan atau kefasihan berbahasa Inggris (proficiency), Indonesia berada pada peringkat ke-61 dengan status pada level  low proficiency dengan nilai indeks (50,60). Sementara peringkat nomor satu diraih oleh Belanda (70,27), Swedia (68,74), dan Norwegia (67,93). Adapun sebagai komparasi posisi negara tetangga ASEAN, Singapura berada di peringkat ke-5 (66,82), Filipina peringkat ke-20 (60,14) dan Malaysia ke-26 (58, 56). Rilis tersebut menggambarkan bahwa tingkat penguasaan bahasa Inggris di Indonesia masih di bawah negara-negara tetangga di tingkat ASEAN. Kondisi tersebut tentunya dipengaruhi oleh kebijakan kurikulum yang diterapkan oleh pemerintah masing-masing dalam upaya memajukan mutu pendidikannya.

Urgensi Review Kurikulum Bahasa Inggris  

Pengalaman penulis yang sudah belajar bahasa Inggris sejak SMP,  pengajaran bahasa Inggris di sekolah masih menitikberatkan kepada penguasaan tata bahasa, pemahaman bacaan, membaca intensif yang membosankan, dan penjelasan yang kompleks tentang penggunaan sebuah tenses dalam kehidupan sehari-hari, serta mengenal jenis-jenis teks yang kaku tanpa penekanan kepada bagaimana berbahasa sesuai dengan konteks sosial yang ada. Pengajaran bahasa Inggris di tingkat SMP-SMA masih menekankan kepada unsur grammar, fonologi, dan semantik.  Padahal terdapat rumpun ilmu lingusitik yang lebih memerlukan perhatian lebih karena langsung membahas bagaimana bahasa digunakan sesuai dengan konteksnya, yaitu ilmu pragmatik (pragmatics). Terlebih mata pelajaran bahasa Inggris yang di UN-kan hanya aspek membaca (reading) dan mendengar (listening). Tidaklah aneh siswa lulusan SMA tidak memiliki kemampuan berbicara bahasa Inggris yang mumpuni, dan rata-rata menjadi penutur bahasa Inggris pasif.

Dalam kajian lingustik, pragmatics merupakan ilmu tersendiri yang menempati posisi tertinggi. Pragmatics adalah ilmu bahasa yang mempelajari bagaimana bahasa digunakan sesuai dengan konteks sosial (Taguchi & Roever, 2017). Posisi pragmatics sebagai sub ilmu linguistik yang tertinggi karena bahasa tidak semata-mata belajar tentang kata (leksem) dan tata-bahasa yang benar (prescriptive). Namun yang lebih dinamis adalah bagaimana bahasa digunakan dalam kehidupan nyata sesuai dengan keadaan sosial, budaya, sejarah, dan norma yang ada di sebuah masyarakat atau komunitas. Dalam pengamatan penulis, berkaitan dengan konten kurikulum pembelajaran bahasa Inggris di SMA khususnya, Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) pada Kurikulum 2013 masih berkisar pada communicative competence yang masih absurd. Jenis komunikasi yang harus dikuasai seperti intrapersonal communication, interpersonal communication, transactional communication, dan social functions dengan fokus kepada penguasaan pemahaman wacana (discourse) sudah saatnya direduksi. Lalu fokus dengan pendekataan yang lebih menekankan kepada kemampuan dalam memahami dan menggunakan bahasa Inggris untuk lebih dipersiapkan dalam berinteraksi dengan masyarakat internasional lintas budaya (intercultural pragmatics), dengan menggunakan bahasa Inggris sesuai dengan konteks bagaimana sebuah ujaran digunakan dalam sebuah percakapan atau komunikasi. Terlebih lagi komunikasi yang ada terbatas kepada mitra komunikasi antara guru (teachers) dan teman sebaya (peers). Tidak kepada komunikasi yang lebih luas dengan latar belakang budaya yang berbeda dari Indonesia, secara spesifik bagaimana berinteraksi dengan penutur asli (native speakers) sesuai dengan norma sosial yang mereka miliki dalam interaksi sehari-hari dari negara-negara penutur bahasa Inggris  yang berbeda.

Evaluasi Buku Teks

Model pendekatan kompetensi komunikatif yang dikembangkan oleh Bachman & Palmer (2010) dan Canale & Swain (1980) telah menekankan pentingnya komponen kompetensi pragmatik dalam mempelajari bahasa kedua/asing.  Secara esensi dari pendekataan tersebut bahwa komunikasi tidak hanya menekankan siswa pada pembelajaran tata bahasa (grammar), wacana (discourse), dan kompetensi strategis. Penutur bahasa kedua/asing lebih spesifik siswa harus memiliki pengetahuan pragmalinguistik (pragmalinguistic knowledge) yang berisi tentang pengetahuan linguistik (penggunaan atau pilihan kata) dalam berkomunikasi menggunakan bahasa target yang digunakan (bahasa Inggris). Selain itu penutur juga harus memiliki pengetahuan sosio-pragmatik (sociopragmatic knowledge) tentang bagaimana pengetahuan penggunaan bahasa terkait peraturan budaya dan norma, peran dan ketentuan yang sesuai dengan budaya asli dari penutur bahasa asli (native speaker).

Dalam realitasnya, pengajaran bahasa Inggris di tingkat SMA sederajat sudah saatnya tidak lagi fokus kepada penguasaan diskursus atau wacana dalam beberapa jenis teks (genre), tetapi harus sudah lebih ditekankan pada aspek penguasaan pragmatik lintas budaya (intercultural pragmatics) karena siswa SMA/sederajat berada pada fase penggunaan bahasa yang lebih  komunikatif dan lebih luas. Terlebih lagi dalam kondisi era disrupsi sosial yang semakin borderless dan interaksi lintas budaya global yang tidak dapat dihindari.

Buku teks memegang peranan sangat penting dalam pembelajaran karena merupakan sumber kedua setelah guru untuk siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Terlebih tantangan penggunaan bahasa Inggris di Indonesia yang masih merupakan bahasa asing dan masih sangat terbatas penggunaanya semakin menjadikan sebuah tantangan di tengah-tengah persaingan dunia yang cepat di bidang teknologi, industri dan ilmu pengetahuan di mana bahasa Inggris merupakan bahasa yang digunakan dalam transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada.  Lebih tegasnya, Grundy (2007) menjelaskan bahwa perlunya komponen pengetahuan pragmatik dimuat dalam metodologi pengajaran bahasa Inggris. Grundy (2007) menyebutnya dengan istilah pragmatic accommodation yang berisi empat tahapan: beginner, elementary, intermediate, dan advanced. Singkatnya, pembelajaran bahasa Inggris di tingkat SMA yang setara level adults, siswa harus sudah memiliki kemampuan memahami dan menggunakan bahasa secara konteks pragmatik yang lebih tinggi, bukan lagi memahami makna sebuah kata atau kalimat secara literal. Tentunya dengan latihan-latihan penggunaan bahasa sesuai konteks sosial yang ada di beberapa negara yang berbeda dengan budaya yang berbeda pula. Sebagai contoh, ujaran sapaan atau salam (greetings) dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris tentunya berbeda sesuai dengan waktu, lawan bicara, tingkat keakraban dan kesopanan (politeness). Siswa tidak hanya  bertanya meggunakan “How are you”? Tetapi mengetahui ujaran sapaan lain yang berbeda dan mengetahui konteks penggunaannya.  Sudah saatnya  kurikulum bahasa Inggris menekankan kepada kemampuan atau kompetensi pragmatik yang lebih fokus,  karena bagaimanapun pada akhirnya bahasa harus dipraktikkan sesuai dengan konteks sosial, tidak statis dan kaku sebagaimana penjelasan rumus-rumus atau formula linguistik dan tata bahasa yang dijelaskan secara rigid dalam buku teks. Kita hidup di era yang harus lebih terbuka dan memahami budaya bangsa lain. Bahasa Inggris sebagai lingua franca belum tergantikan hingga saat ini oleh bahasa lain, namun sebaliknya menunjukkan trend peningkatan dalam jumlah penuturnya.

Rudi Haryono, S.S., M.Pd.

Kandidat Doktor Linguistik Terapan Bahasa Inggris Unika Atma Jaya Jakarta

Dosen STKIP Muhammadiyah Bogor