ADALAH Suku Thonga, yang merupakan suku tertua di Afrika Selatan sering mengadakan suatu event “bergengsi” tiap empat atau lima tahun sekali. Event tersebut semacam circumcision school yang diperuntukkan bagi setiap anak laki-laki berusia antara 10 hingga 16 tahun untuk mendapat pengakuan sebagai seorang laki-laki dewasa. Ritual inisiasi ini dimulai dengan berlarinya setiap bocah dalam suatu jalur yang panjang. Sepanjang jalur itu, telah berbaris para laki-laki dewasa yang akan memukuli mereka dengan tongkat kayu. Di akhir perjalanan, baju sang bocah akan dilucuti dan rambutnya dicukur habis. Setiap peserta harus menjalani tiga bulan masa inisiasi untuk menjalani beberapa ujian yang berat bahkan terancam tewas selama menjalani ritual. Sungguh mengerikan, tapi ini adalah sebuah kenyataan.
Penggalan cerita tersebut mengingatkan kita pada ritual tahunan yang “hampir mirip” secara simbolik dengan ucapan “selamat datang” kepada mahasiswa baru (maba) yang biasa digelar di beberapa kampus akhir-akhir ini. Orientasi studi dan pengenalan kampus yang dikemas dengan beragam istilah pengaderan itu pada umumnya identik juga dengan kekerasan, sehingga banyak menuai kritik dari berbagai kalangan. Betapa tidak, wajah pengaderan mahasiswa Indonesia dari tahun ke tahun masih memprihatinkan. Hal ini bisa dilihat dari sistem pengaderan yang yang dianut hingga hari ini parasnya masih sangat “sederhana” dan “bersahaja” untuk konteks dunia yang semakin mengglobal. Bentakan, gertakan dan sesekali tamparan tampaknya masih saja menghiasi ‘tradisi kuno’ yang digelar para mahasiswa modern itu. Apa yang salah dari pengaderan mahasiswa? Jika kita telusuri lebih dalam, ternyata semua itu berada pada wilayah paradigma (cara pandang).
Sesuai dengan namanya, tujuan awal dari pengaderan maba adalah untuk membantu mahasiswa baru mengenal program studi dan kampusnya. Tapi konsep pengaderan yang dijalankan saat ini telah di-setting, didesain dan dimodifikasi sedemikian rupa dari model pengaderan yang sebenarnya. Selama ini para senior masih saja menggunakan gaya lama dan terus melestarikan peninggalan mahasiswa terdahulu. Belum ada perubahan signifikan pada wajah pengaderan mahasiswa baru, karena para pengader itu masih menganggap warisan senior-seniornya bagaikan benda bertuah yang tidak boleh tidak, harus dilestarikan. Dengan demikian hampir dipastikan bahwa pengaderan dengan “gaya kuno” itu tidak mengedepankan sikap teladan para pengadernya. Senior yang merupakan masterplan bagi maba dalam menjajaki kehidupan baru di kampus justru berubah menjadi eksekutor-eksekutor handal yang kerap kali mempermainkan maba sesuka hatinya. Mungkin karena sebuah “dendam” yang tak tersalurkan di masa lalu, sehingga ketika masa yang dinantikan itu tiba, saat label senior telah melekat pada dirinya, maka junior menjadi sasaran empuk untuk “menyalurkan hajat”. Tak heran jika sesekali tendangan dianggap sesuatu yang wajar sebagai bagian dari ritual maba untuk mendapatkan pengakuan sebagai mahasiswa yang sesungguhnya.
Suatu masalah yang cukup krusial dalam pandangan masyarakat umum saat ini, ketika mahasiswa dengan lantang memproklamasikan antipenindasan, banyak kejadian penting yang menorehkan garis horizon di atas nama mahasiswa itu sendiri. Bahkan mahasiswa menempati posisi strategis di mata masyarakat yang dipandang sebagai sosok idealis dan akademis. Namun eksistensi mahasiswa perlu disoroti ketika mereka menjadi penggerak skenario atau bahkan jadi “sutradara” dalam pentas kekerasan ini, seakan mengungkap keadaan mahasiswa terpatok dalam sistem yang terkungkung erat, tidak kreatif dan cenderung pragmatis.
Pengaderan selama ini memang jarang yang lebih mengarahkan ke fungsi dan peran mahasiswa ideal sebagai social control, agent of change dan moral force. Penekanan lebih ke arah bagaimana mereka menghadapi tantangan dan masalah serta mencari solusi atas semua masalah itu. Satu hal yang menarik kita renungkan, bukankah ketika kita menyambut kawan-kawan maba yang masih “lugu” dengan warna kekerasan, diakui atau tidak, sebenarnya merupakan bentuk perlawanan terhadap nurani? Siapa pun, sepanjang masih mengedepankan rasionalitas dalam berpikir, akan merasakan suatu pertentangan secara diametral dengan hati kecil mereka. Karena pada dasarnya mahasiswa menolak kekerasan, namun yang terjadi hanyalah bentuk-bentuk represif persuasif yang terejawantahkan dalam kontinuitas keseharian mahasiswa.
Memang inilah ironisnya konsep pengaderan yang dianut saat ini. Di satu sisi, mahasiswa menganggap bahwa ide “cerdas”-nya layak untuk disajikan kepada mahasiswa baru. Akan tetapi dalam perjalanannya ada saja ketimpangan di dalamnya. Seperti yang sudah sering terjadi di waktu-waktu sebelumnya, ospek telah mengakibatkan maba cedera, cacat seumur hidup bahkan terenggut jiwanya secara “terpaksa”. Ketika semua itu terjadi, siapa yang bertanggung jawab?
Oleh karena itu, untuk menciptakan sebuah warna pengaderan yang baik, setidaknya perlu mengkritik atau bahkan merevisi format yang ada. Bukan hanya dengan mendadani maba dengan kostum dan pita warna-warni, tapi juga harus menekankan pada konsep keilmuan, skill, akhlak dan karakter sehingga dapat menunjukkan sebuah relevansi pengaderan dengan lahirnya idealisme mahasiswa.
Konsep pengaderan seharusnya ditekankan pada keteladanan. Para senior harus memberi contoh yang baik sekaligus membimbing juniornya dalam mengarungi aktivitas dan kehidupan kampus. Sebagaimana konsep pengaderan yang diterapkan oleh Nabi Muhammad Sallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya, yaitu mendidik dan mengader dengan keteladanan. Tidak hanya bicara tetapi juga turut bekerja, tidak hanya berdakwah tetapi juga memberi contoh. Sehingga Beliau mampu mengukir sejarah indah dan menjadi sosok yang paling berpengaruh sepanjang sejarah peradaban dunia. Untuk itu, mengader dengan keteladanan merupakan faktor penentu dalam kaderisasi, bukan dengan kekerasan atau kezaliman. Rasulullah pernah berpesan kepada umat manusia: ”Takutlah kalian pada kezaliman, karena kezaliman itu merupakan kegelapan pada hari kiamat”(HR. Muslim)
Perlu dipahami oleh para mahasiswa dan stakeholder kampus pada umumnya bahwa mahasiswa kini dihadapkan pada fenomena pragmatisme akut. Orientasi mereka semakin pendek. Akibatnya cara pandang mereka atas objek tertentu lebih sering bersifat teknikal. Karenanya tantangan kontemporer mahasiswa kini dan esok bagaimana membudayakan cara pikir kritis dan paradigmatik, agar mereka tidak tunduk pada pragmatisme dan sebaliknya. Bagi mahasiswa baru, adalah penting untuk mempertanyakan kapan jadwal Ospek, seperti apabina akrab, berapa harus bayar dan seterusnya. Namun yang lebih urgen dari itu adalah pertanyaan soal siapa mahasiswa, mengapa harus jadi mahasiswa, apa yang harus dilakukan oleh mahasiswa untuk berkontribusi bagi masyarakat dan sejenisnya. Jika mahasiswa baru gagal mengontemplasikan dan merespons soal-soal paradigmatik tersebut maka sulit baginya untuk diharapkan berperan besar ke depan bagi perubahan masyarakat. Oleh karena itu, pengaderan yang ideal memegang peran strategis terkait pengembangan sumber daya mahasiswa secara utuh dan komprehensif untuk mencetak dan mendidik kader agar tidak hanya sebatas berpikir secara teknikal tetapi berpikir ke arah esensial dan paradigmatik.
Terlepas dari semua itu, faktor terpenting dalam pengaderan adalah pemahaman agama, Jika konsep pengaderan maba didasari oleh pemahaman agama yang baik (baca: Islam), maka akan terbentuk mahasiswa-mahasiwa yang cerdas dan berakhlak, akan muncul sosok mahasiswa yang kritis, akademis dan idealis. Untuk itu, pemahaman agama yang benar harus menjadi sebuah nilai yang wajib dimiliki oleh setiap mahasiswa, terlebih jika melihat maraknya perang ideologi yang destruktif justru menjadikan mahasiswa sebagai sasarannya.
Tentunya semua itu bisa terlaksana jika dilandasi dengan jiwa keikhlasan dalam dada. Jangan ada dendam kesumat dengan sebuah kezaliman dan tindak kekerasan karena Allah telah menjelaskan kepada hamba-Nya: ”Dan bagi orang-orang yang zalim (pelaku kekerasan) itu tidak ada seorang pun pelindung dan tidak ada pula penolong baginya” (QS. Al Hajj: 71). Jika dulu pernah disakiti, maka lebih mulia membalas itu dengan cinta. Cinta yang tulus dari dasar jiwa akan membawa manusia pada kesadaran bahwa hidup haruslah berarti. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan, dan Allah akan membalasnya. Wallahu A’lam bish Shawab.
Achmad Firdaus
Pengurus International Student Society
National University of Singapore
(//rfa)
Sumber : https://kampus.okezone.com