AHMAD NAJIB BURHANI
Peneliti LIPI dan Maarif Institute
Mengapa seolah-olah pemerintahan Jokowi-JK mengabaikan Muhammadiyah dalam menyusun Kabinet Kerja 2014- 2015?
Apakah tidak ada profesional dari organisasi yang berdiri sejak 1912 ini yang layak untuk masuk dalam kabinet, termasuk di bidang kesehatan, pendidikan, dan pelayanan sosial, bidang-bidang yang telah ditekuni oleh organisasi ini selama lebih dari satu abad? Apakah pengabaian ini terjadi sebagai akibat sampingan dari survei PPIM tahun 2011 lalu, yang merilis bahwa jumlah warga Muhammadiyah di Indonesia jauh lebih kecil dari klaimnya selama ini?
Ataukah ini terjadi karena pilihan sebagian anggota organisasi ini dan partai yang berbasiskan organisasi ini pada masa kampanye presiden? Banyak pertanyaan yang berkaitan dengan absennya kader inti Muhammadiyah dalam Kabinet Kerja Jokowi- JK.
Pertanyaan-pertanyaan itu semakin deras setelah melihat ada enam kader NU (Nahdlatul Ulama) yang masuk dalam kabinet, yaitu M Hanif Dhakiri (Menteri Ketenagakerjaan), Marwan Jafar (Menteri PDT dan Transmigrasi), Imam Nahrawi (Menteri Pemuda dan Olahraga), Khofifah Indar Parawansa (Menteri Sosial), M Nasir (Menteri Ristek dan Dikti), dan Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama).
Memang ada beberapa menteri yang memiliki latar belakang Muhammadiyah seperti Siti Nurbaja (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan) atau konon direkomendasikan oleh Muhammadiyah seperti Nila F Moeloek (Menteri Kesehatan). Namun, tidak ada kader inti Muhammadiyah yang menjadi menteri.
Maksud dari kader inti di sini adalah mereka mendapat pengaderan di Muhammadiyah dan aktif dalam organisasi ini dalam masa yang cukup panjang. Sering dikatakan, beberapa menteri dari NU itu diangkat bukan karena latar belakang ke-NU-annya, melainkan karena mereka berangkat atau diusulkan oleh PKB atau PPP. Satusatunya yang tidak berangkat dari partai atau profesional adalah Khofifah Indar Parawansa yang dalam masa kampanye presiden merupakan anggota tim inti dan juru bicara Jokowi-JK.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah tidak ada orang Muhammadiyah dalam tim inti pemenangan Jokowi-JK? Ada beberapa nama dari Muhammadiyah yang masuk tim inti Jokowi-JK, seperti Rizal Sukma, Abdul Munir Mulkhan, dan Malik Fadjar. Bahkan berbeda dari Said Aqil Siradj, ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), yang secara tegas memberikan dukungan kepada Prabowo-Hatta, Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin berusaha bersikap netral selama kampanye.
Konon Rizal Sukma yang merupakan direktur eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan ketua bidang hubungan luar negeri pimpinan pusat Muhammadiyah sudah masuk sebagai calon menteri luar negeri, namun namanya dicoret pada keputusan akhir.
Apakah ini karena dia dari CSIS yang dulu dikenal sebagai think tank Orde Baru, dekat dengan kalangan Kristen, dan dekat dengan konglomerat? Jawabannya tentu ada di Jokowi dan orangorang yang terlibat dalam keputusan akhir. Dugaan lain tentang absennya Muhammadiyah di kabinet Jokowi adalah karena Partai Amanat Nasional (PAN) yang dulu kelahirannya dibidani oleh Muhammadiyah memilih berkoalisi dengan Gerindra untuk mengusung Prabowo-Hatta sebagai calon presiden dan wakil presiden.
Dan dalam beberapa survei, warga Muhammadiyah lebih banyak yang mendukung Prabowo-Hatta dari pada Jokowi-JK. Ini barangkali dugaan terkuat mengapa tidak ada orang Muhammadiyah yang menjadi menteri. Pilihan politik PAN berdampak pada Muhammadiyah. Namun demikian, mengidentikkan Muhammadiyah dengan PAN tentu tak sepenuhnya tepat mengingat hubungan keduanya tak seperti dulu lagi.
Di samping itu, kini banyak pimpinan PAN yang bukan berasal dari Muhammadiyah termasuk ketua umumnya, Hatta Rajasa. Ada lagi yang menduga, meski kemungkinannya sangat kecil, bahwa tiadanya kader inti Muhammadiyah yang menjadi menteri adalah akibat sampingan dari survei yang dikembangkan oleh The Asia Foundation (TAF), Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2010.
Dari survei yang di antaranya diterbitkan oleh Robin Bush (2014) dalam artikelnya yang berjudul “A snapshot of Muhammadiyah social change and shifting markers of identity and values “ itu, disebutkan bahwa jumlah responden yang menyatakan diri berafiliasi dengan NU berjumlah 49%, sementara yang berafiliasi dengan Muhammadiyah hanya 7,9%.
Angka ini kemudian sering dipakai untuk menarik kesimpulan bahwa warga Indonesia yang berafiliasi ke NU hampir mencapai 50%, sementara warga Indonesia yang Muhammadiyah tidak ada 10%. Kesimpulan ini kemudian dipakai sebagai alat untuk merevisi pandangan sebelumnya, yang didasarkan klaim masingmasing organisasi, bahwa beda antara jumlah warga Muhammadiyah dan NU itu hanya 10 juta orang.
Jika NU memiliki 40 juta anggota, Muhammadiyah memiliki 30 juta warga. Atau, jika 40% dari umat Islam Indonesia secara tradisi adalah warga NU, 30% orang Indonesia adalah Muhammadiyah. Sisanya adalah mengikuti organisasi lain.
Apa konsekuensi dari penelitian PPIM, TAF, dan LSI itu? Ternyata jumlah warga Muhammadiyah tidak sesignifikan yang selama ini dibayangkan. Karena itu, Muhammadiyah bisa diabaikan dalam pembentukan kabinet. Tidak ada keharusan mengangkat menteri dari organisasi yang jumlah warganya kurang dari 10% warga Indonesia ini.
Asumsi di atas, yang didasarkan pada jumlah kepala, tentu tak sejalan dengan kontribusi yang diberikan oleh Muhammadiyah kepada bangsa ini. Di Jawa Timur, misalnya, meski warga Muhammadiyah jauh lebih kecil dari NU, organisasi ini telah menyumbangkepada bangsadalam bentuk pendirian sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, pusat pelayanan sosial hampir di setiap kota dari propinsi itu.
Belum lagi jumlah sekolah, rumah sakit pusat pelayanan sosial yang diberikan oleh Muhammadiyah di provinsi- provinsi lain di Indonesia. Persoalan lain yang berkaitan dengansurvei itu adalah berkaitan dengan metode, kebenaran data, dan kesimpulan. Jika diasumsikan semuanya benar, kemudian pertanyaannya adalah berkaitan dengan perbedaan karakter warga dan organisasi.
NU lebih merupakan budaya, sementara Muhammadiyah adalah organisasi. Orang yang melaksanakan tradisi NU seperti selamatan dan tahlilan akan dengan mudah mengasosiasikan dirinya dengan NU. Sementara di Muhammadiyah, orang yang tidak menjadi pengurus organisasi atau pernah sekolah di Muhammadiyah kadang enggan mengidentifikasi diri sebagai bagian dari Muhammadiyah.
Jadi, meski orang terus menduga-duga tentang absennya Muhammadiyah di kabinet, satu hal yang saya yakin adalah bahwa Muhammadiyah akan terus mengabdi kepada negeri ini meski tak ada anggotanya yang menjadi menteri. Sementara dari pihak Jokowi-JK, keputusan tak memasukkan orang Muhammadiyah adalah sikap kurang mengapresiasi kontribusi organisasi ini untuk bangsa.
Sumber tulisan KLIK DISINI
I just want to mention I am just very new to weblog and truly savored you’re web page. Almost certainly I’m planning to bookmark your site . You definitely have wonderful writings. Thank you for revealing your web site.
PENUTUPAN PTS ANCAMAN ATAU PELUANG
Simak kutipan berita berikut:
JPNN.com SURABAYA – Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) dan Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah VII Jawa Timur mengambil langkah tegas atas perguruan tinggi swasta (PTS) yang bermasalah.Selain 12 PTS [Lihat: 12 Perguruan Tinggi di Jawa Timur Dibekukan Sementara] dibekukan, ada 11 PTS yang ditutup.Kepala Seksi Kelembagaan dan Kerja Sama Kopertis Wilayah VII Jatim Budi Hasan mengimbau masyarakat yang ingin menempuh pendidikan tinggi mengecek daftar perguruan tinggi ke kopertis sebelum melakukan pendaftaran.Sebab, di Jatim sudah ada sebelas PTS yang statusnya tidak aktif, tutup, bahkan dibubarkan oleh Kemenristek Dikti. .jpnn.com Sabtu, 13 Juni 2015 , 05:27:00
Dan pendapat :
Anggota DPR Ini Menentang Penutupan dan Penonaktifan PTS Bermasalah Jumat, 12 Juni 2015 21:59 WIB
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA – Maraknya kejadian ijazah palsu yang sedang terjadi saat ini, membuat beberapa Perguruan Tinggi (PT) yang mendapatkan masalah harus ditutup. Anggota DPR / MPR RI Wakil Ketua Komisi X, Ridwan Hisjam, mengatakan, perguruan tinggi swasta (PTS) seharusnya tidak dibubarkan.“Sekarang banyak yang membutuhkan preguruan tinggi. Karena perguruan tinggi negeri (PTN) itu sedikit dibandingkan PTS kan,” ungkapnya ketika ditemui di Kopertis VII, Surabaya, Jumat (12/6/2015).Selain itu, ia juga menyayangkan jumlah Kopertis (Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta) yang sangat sedikit jumlahnya. Sekitar 40 ribu PTS hanya dibawahi oleh 12 Kopertis.“Kalau bisa ya ditambah kopertisnya. Jadi wilayah per kabupaten atau kota ada yang menangani,” tambahnya.
Prof Raihan : Pembekuan 243 PTS Harus Ditinjau Ulang suratkabarindonesiahebat.com/ 10 Oktober 2015 | 06:17:55 WIB
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) beberapa waktu lalu telang membekukan 243 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di seluruh Indonesia, serta melarang PTS tersebut menerima mahasiswa baru, namun menurut Sekjen APTISI Wilayah III DKI Jakarta, Prof. Dr Raihan M.Si, keputusan tersebut harus ditinjau ulang. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana pandangan APTISI Wilayah III Jakarta dengan penutupan sejumlah PTS, khususnya yang ada diwilayah Jakarta ?
Prof Raihan : selaku praktisi yang juga terlibat dalam Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Wilayah III Jakarta, prihatin dengan keputusan tersebut, karena teman-teman penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta sementara dinonaktifkan, sebetulnya APTISI Wilayah III telah menyampaikan kepada seluruh PTS di Jakarta, bahwa kita menentang segala bentuk pelanggaran prosedur penyelenggaraan akademik. Dan kita menentang keras jika ada PTS di Jakarta yang memperjual belikan ijasah palsu, maupun jika ada yang mencederai nilai-nilai luhur pedidikan.
Namun demikian seharusnya DIKTI juga harus sadar, bahwa segelintir perguruan tinggi yang melakukan pelanggaran tersebut, adalah dari ekses kurangnya pembinaan, kurangnya kepedulian, dan kurangnya kepekaan terhadap permasalahan di perguruan tinggi swasta, dan DIKTI hadir sebagai sebuah kekuatan besar membuat regulasi sekaligus operator dan merangkap pengawas dunia pendidikan tinggi Indonesia, jadi mestinya DIKTI juga harus melihat kepekaan terhadap perguruan tinggi, karena banyak keluhan, salahsatunya masalah ijin yang hingga dua tahun tidak ada jawaban, sementara didalamnya ada mahasiswa maupun karyawan, jadi adanya penutupan sejumlah PTS tersebut harus di tinjau ulang dan mengevaluasi kembali penonaktifan 243 PTS, dan tentunya harus lebih mengedepankan aspek pembinaan, yang berkaitan memanggil seluruh perguruan tinggi yang terkena regulasi atau aturan dari DIKTI tersebut.
Apa APTISI yakin bahwa yang ditutup tersebut masih ada yang baik dan masih bisa dipertimbangkan ?
Prof Raihan : ya… kita melihat yang terkena penutupan tersebut tidak semuanya tidak etis, bagi sebuah proses pendidikan tinggi, karena dari laporan anggota APTISI, banyak prosedur-prosedur yang hingga kini belum ada jawaban dari DIKTI, sehingga ijin yang diajukan tidak keluar dan sebagainya, tetapi pada intinya kita menentang keras oknum perguruan tinggi yang melanggar etis sampai pemalsuan atau jual beli ijasah palsu.
Sampai sejauh mana APTISI Wilayah III melakukan pembinaan pada beberapa PTS yang saat ini terkena pembekuan ?
Prof Raihan : sebenarnya DIKTI yang dahulu sebelum dipisah dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, telah bekerja baik, dengan melakukan pemanggilan pada pengelolan PTS yang dinilai kurang baik, dan APTISI juga tidak ingin ada pelanggaran di wilayah Jakarta, karena Wilayah III DKI Jakarta menjadi cerminan APTISI daerah lain, APTISI Wilayah III DKI Jakarta telah memperoleh laporan, bahwa ada 38 PTS di Jakarta yang terkena pembekuan, dan sebenarnya ada juga PTS yang disebutkan sebenarnya sudah ditutup pada tahun lalu, namun baru tahun ini di umumkan, karena PTS tersebut telah melakukan kelas jauh tidak sesuai ijin, ada juga yang tidak memberikan laporan Akademik, rasio dosen/mahasiswa, sengketa/konflik internal serta masalah lain.
Apa masih memungkinkan PTS tersebut beroperasi kembali, karena disitu banyak mahasiswa, dosen maupun karyawan ?
Prof Raihan : saya rasa masih memungkinkan, karena Kementrian Ristek dan Dikti belum menutup dan bentuknya penonaktifan, dan memberikan kesempatan pada pengelola perguruan tinggi tersebut agar melakukan perbaikan dan pembenahan, namun kalau tidak bisa melakukan perbaikan maka ijin akan dicabut, dan pencabutan ini tersebut merupakan tahapan kedua yang akan melalui proses, tetapi sekali lagi, karena ini sudah menyangkut pelayanan masyarakat, maka tentunya aspek pembinaan, kepekaan terhadap permasalahan-permasalahan yang ada di dunia perguruan tinggi swasta, maka Dikti melihatnya kepekaan secara konferhenship.
Bagaimana dengan Mahasiswa, Dosen maupun Karyawan di PTS yang dibekukan saat ini?
Prof Raihan : menurut saya karyawan di PTS tersebut agar tetap bekerja, dan APTISI secepatnya akan melakukan dialog dengan Kemenristek dan Dikti, karena dahulu jika memang PTS tersebut ditutup, maka akan ada solusi seperti pengalihan bagi mahasiswa yang sesuai dengan program studinya, atau kerjasama dengan perguruan tinggi lain, saya yakin masyarakat tidak akan dirugikan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Kemenristek dan Dikti.
Dari beberapa pendapat tersebut, apa yang bisa kita maknai, bagi Peguruan Tinggi Swasta (PTS) apakah merupakan ancaman atau peluang untuk mengebangkan diri.
Sejarah Awalnya rintisan perguruan tinggi perintisan ini hanya di bidang kesehatan saja. Pada tahun 1902 di Batavia didirikan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen atau dikenal sebagai Sekolah Dokter Bumi Putera) kemudian NIAS (Nerderlandsch Indische Artsen School) tahun 1913 di Surabaya . Ketika STOVIA tidak menerima murid lagi, didirikanlah sekolah tabib tinggi GHS (Geneeskundige Hooge School) pada tahun 1927. Perguruan inilah yang sebenarnya merupakan embrio kedokteran Universitas Indonesia. Di Bandung tahun 1920 didirikan Technische Hooge School (THS) yang pada tahun itu juga dijadikan perguruan tinggi negeri.[catatan 1] THS ini adalah embrio Institut Teknologi Bandung. Pada tahun 1922 didirikan Textil Inrichting Bandoeng (TIB) ini lah embrio Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Bandung.
Pada tahun 1922 kemudian berdiri sekolah hukum (Rechts School) yang kemudian ditingkatkan menjadi sekolah tinggi hukum (Recht hooge School) pada tahun 1924. Sekolah tinggi inilah embrio Fakultas Hukum di Indonesia. Di Jakarta tahun 1940 didirikan Faculteit de Letterenen Wijsbegeste[2] yang kemudian menjadi Fakultas Sastra dan Filsafat di Indonesia.
Di Bogor didirikan sekolah tinggi pertanian (Landsbouwkundige Faculteit) pada tahun 1941[2] yang sekarang disebut Institut Pertanian Bogor (IPB). Pada zaman Jepang sampai awal kemerdekaan, GHS ditutup dan atas inisiatif pemerintahan militer, GHS dan NIAS dijadikan satu dan diberikan nama Ika Dai Gakko (Sekolah Tinggi Kedokteran). Dua hari setelah proklamasi, tanggal 19 Agustus 1945, pemerintah Indonesia mendirikan Balai Pergoeroean Tinggi RI yang memiliki Pergoeroean Tinggi Kedokteran. Sekolah tinggi ini dibuka secara resmi pada tanggal 1 Oktober 1945.
Pada masa perjuangan revolusi fisik melawan Belanda (1946-1949) Pergoeroean Tinggi Kedokteran mengungsi ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, (Klaten dan Malang). Sementara itu pemerintah RI di Yogyakarta bekerja sama dengan Yayasan Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada pada tanggal 19 Desember 1949 mendirikan Universitas Gadjah Mada.[2] Pada awalnya hanya ada 2 Fakultas, yaitu Hukum dan Kesusasteraan yang bertempat di pagelaran dan baru kemudian berangsur-angsur pindah ke kampus Bulak Sumur.
Pada zaman pendudukan, di Batavia pihak Belanda mengusahakan dibukanya kembali GHS. Maka bukan hal yang aneh ketika penyerahan kedaulatan, tahun 1949 timbul gagasan untuk menjunjung tinggi ilmu pengetahuan tanpa membedakan warna kulit dan asal keturunan. Kedua lembaga pendidikan bekas Belanda dan bekas Republik dijadikan satu menjadi Universiteit Indonesia, Fakulteit Kedokteran, tanggal 2 Februari 1950, yang saat ini dikenal dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang berdiri tanggal 8 Juli 1945 merupakan perguruan tinggi swasta pertama dan tertua di Indonesia.[
Kilasan Sejarah Perguruan Tinggi Muhammadiyah
Kiprah Muhammadiyah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, ditandai dengan berdirinya berbagai amal usaha pendidikan termasuk ratusan perguruan tinggi yang saat ini tersebar di seluruh tanah air. Aset, alumni, jejaring, dan prestasi yang diraih saat ini bermula dari sebuah rintisan bersejarah di tengah pergolakan Republik yang saat itu masih sangat muda. Gagasan pendirian pendidikan tinggi, diprakarsai dalam usia ke 43 tahun persyarikatan, tepatnya pada 18 Nopember 1955. Di saat itulah, didirikan Fakultas Falsafah dan Hukum di Padangpanjang yang kelak menjadi cikal bakal berdirinya Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat.
Pergolakan politik, membuat rintisan awal ini mengalami kendala sangat berarti dan membuat fakultas tersebut terhenti 3 tahun kemudian. Langkah antisipatif pun dijalankan. Konferensi Majelis Pengajaran di Jakarta tahun 1956, memutuskan Fakultas Hukum dan Falsafat di Padangpanjang ini dipindah ke Jakarta, dengan nama baru Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG), diresmikan pada 18 Nopember 1957. Pada 1958, PTPG Muhammadiyah diubah menjadi Fakultas Keguruan dalam Ilmu Pendidikan (FKIP), berada di bawah lingkungan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).
Kelak di kemudian hari, baik Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat maupun UMJ terus berkembang dan menjadi cikal bakal berdirinya perguruan tinggi Muhammadiyah di berbagai daerah, misalnya, UMSU, UHAMKA, UMS. Dan UAD. Pada tahun 1957 Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara dirintis atas prakarsa beberapa tokoh dan ulama Muhammadiyah. Cikal bakal UMSU bermula dari Fakultas Falsafah dan Hukum Islam Muhammadiyah (FAFHIM) yang kemudian berkembang menjadi Perguruan Tinggi Muhammadiyah Sumatera Utara pada 1968, dengan tiga Fakultas: Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), Fakultas Ilmu Agama Jurusan Dakwah (FIAD), dan Fakultas Syariah. Pada awalnya FIP UMSU merupakan cabang/kelas jauh dari FIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), memisahkan diri dan berdiri sendiri pada 1974. FIAD merupakan cabang dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, kemudian berdiri sendiri menjadi Fakultas Ushuluddin.
UHAMKA adalah pengembangan dari IKIP Muhammadiyah Jakarta. awalnya adalah Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG), yang diresmikan pada 18 November 1957. Pada awal berdirinya PTPG memiliki satu Jurusan yaitu Jurusan Ilmu Mendidik, dengan mahasiswa 17 orang. Pada 1958 PTPG berubah menjadi FKIP yang menginduk kepada UM Jakarta. Pada tahun itu juga, FKIP dipercaya oleh Jawatan Pendidikan Agama, Kementerian Agama untuk mendidik pegawainya agar menjadi guru PGA yang bermutu. Pada 1965, FKIP UMJ berdiri sendiri dengan nama IKIP Muhammadiyah Jakarta. IKIP-MJ perlu dikembangkan, maka upaya yang ditempuh adalah mengkonversi IKIP-MJ menjadi Universitas.
Universitas Muhammadiyah Surakarta merupakan pengembangan IKIP Muhammadiyah Jakarta Cabang Surakarta yang berdiri pada 18 September 1958, mengelola 3 Jurusan: Pendidikan Umum, Ekonomi Umum dan PAI. Tahun 1965, memisahkan diri menjadi IKIP Muhammadiyah Surakarta. Pada 24 Oktober 1981 atas prakarsa Drs. HM Djazman Alkindi, IKIP Muhammadiyah Surakarta berubah menjadi Universitas Muhammadiyah Surakarta (ijin Mendikbud RI No. 0330/0/1981) dengan fakultas: FKIP, Ekonomi, Hukum, Teknik dan FAI.
IKIP Muhammadiyah Yogyakarta yang merupakan pengembangan FKIP Muhammadiyah Cabang Jakarta, didirikan pada 18 November 1960. IKIP Muhammadiyah merupakan kelanjutan Kursus B1 dengan Jurusan Ilmu Mendidik, Civic Hukum dan Ekonomi. Pada 19 Desember 1994 terbit SK Mendikbud RI, No. 102/O/1994 yang menetapkan IKIP Muhammadiyah Yogyakarta menjadi Universitas Ahmad Dahlan (UAD).
Pada 1963 didirikan Fakultas Hukum dan Filsafat Muhammadiyah yang merupakan embrio Universitas Muhammadiyah Palembang. Perkuliahan dilakukan di Masjid Muhammadiyah Bukit Kecil Palembang. Pada 1965 FHFM berubah nama menjadi Fakultas Hukum dan Ilmu Kemasyarakatan (FHIK) Muhammadiyah Cabang UM Jakarta. Pada 28 Januari 1967 FHIK berubah nama menjadi STIH Muhammadiyah. Pada 1979 ide mendirikan Universitas Muhammadiyah di kota Palembang muncul kembali. Berdasarkan SK Yayasan PTM Sumatera Selatan No. 010/YPTM/79 tanggal 15 Juni 1979/20 Rajab 1399, Universitas Muhammadiyah Palembang resmi dibuka dengan 3 Fakultas: Teknik, Pertanian dan FKIP. Pada 1980 dikeluarkan Piagam Pendirian oleh PP Muhammadiyah (SK No. 032/ III-SMS.79/80).
Unismuh Makassar didirikan oleh PWM Sulawesi Selatan dan Tenggara sebagai hasil karya Panitia Pendiri yang dibentuk pada Musyawarah Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan dan Tenggara ke-24 di Kabupaten Watan Soppeng pada tanggal 5 September 1962, dengan satu fakultas yaitu Fakultas Ilmu Pendidikan. Pada 1966-1967, Unismuh Makassar memindahkan pusatnya ke Makassar menempati gedung Sekolah China yang ditutup oleh Pemerintah pada tahun 1966.
Disusul oleh, Universitas Muhammadiyah Magelang yang berdiri pada 31 Agustus 1964. Sementara itu FKIP Universitas Muhammadiyah Cabang Jakarta di Purworejo lahir pada 24 September 1964. Kelak fakultas ini berdiri sendiri menjadi IKIP Muhammadiyah Purworejo dan akhirnya menjadi Universitas Muhammadiyah Purworejo. Pada tahun yang sama, Universitas Muhammadiyah Malang berdiri pada 1964, atas prakarsa tokoh-tokoh dan PDM Malang. Pada awalnya UMM merupakan cabang dari UM Jakarta. Pada 1 Juli 1968 UMM resmi menjadi Universitas yang berdiri sendiri, diselenggarakan oleh Yayasan Perguruan Tinggi Muhammadiyah Malang. Sementara itu, Universitas Muhammadiyah Purwokerto terbentuk dari embrio IKIP Muhammadiyah Purwokerto, yang merupakan perkembangan lanjut dari IKIP Muhammadiyah Surakarta Cabang Purwokerto didirikan pada 5 April 1965.
Dari Padangpanjang, Sumatera barat, satu demi satu perguruan tinggi Muhammadiyah berdiri. Jakarta, Medan, Surakarta, Yogyakarta, Makassar, Magelang, Purworejo, Malang, Purwokerto, dan disusul daerah-daerah lainnya. Jejaring yang dikembangkan persyarikatan terbukti efektif dalam membangun kerjasama perintisan perguruan tinggi di berbagai daerah. Pergolakan tak menghentikan semangat dan kerjasama pimpinan dan warga persyarikatan untuk mewujudkan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pada tahun 1970 berdiri Universitas Muhammadiyah Bengkulu yang awalnya Fakultas Keguruan Ilmu Sosial (FKIS) IKIP Muhammadiyah Jakarta Cabang Bengkulu. 1 Juni 1973 menjadi STKIP Bengkulu, dan pada 31 Agustus 1991, diresmikan menjadi Universitas Bengkulu. Hingga saat ini tidak kurang dari 7 fakultas dan 21 program studi diselenggarakan di UMB.
Pada dekade delapanpuluhan didirikan Universitas Muhammadiyah Gresik, Unmuh Mataram, UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta), Unmuh Jember, Universitas Muhammadiyah Al Amin Sorong, Unmuh Palu, Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan, Universitas Muhammadiyah Surabaya, Universitas Muhammadiyah Ponorogo, Universitas Muhammadiyah Aceh, Universitas Muhammadiyah Kupang, Universitas Muhammadiyah Lampung, Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, dan Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
Pada dekade 1990 Universitas Muhammadiyah Pontianak, Universitas Muhammadiyah Metro, Universitas Muhammadiyah Pare-pare, Universitas Muhammadiyah Semarang. Memasuki tahun 2000 didirikan Universitas Muhammadiyah Sukabumi, Universitas Muhammadiyah Luwuk, Universitas Muhammadiyah Cirebon, Universitas Muhammadiyah Kendari, Universitas Muhammadiyah Buton, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, dan Universitas Muhammadiyah Gorontalo (2008). Terlihat pada dua dekade ini berdirinya beberapa universitas di kawasan Timur Indonesia yang cukup menonjol secara kuantitatif.
Para perintis dan penggerak persyarikatan yang telah mengabdikan dirinya dalam mendirikan dan mengembangkan perguruan tinggi Muhammadiyah sangatlah penting perannya. Pengantar ini tidak dapat menyebutkannya satu per-satu. Prestasi amal usaha PTM yang akan menjadi monument abadi bagi dedikasi dan kerja keras mereka. Pasang surut dan konflik terjadi di tubuh PTM, namun bahtera besar pendidikan ini terus berdiri di garda depan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Data Jumlah PTM sampai tahun 2015 sebanyak 163 Perguruan Tinggi Muhammadiyah (41 Univ, 94 ST, 2 institut, 22 Akademi, 4 poltek), ditambah dengan 11 Perguruan Tinggi Aisyiyah (PTA) dan memiliki kurang lebih 5% dari jumlah mahasiswa yang ada di seluruh Indonesia. Jumlah mahasiswa bagi perguruan tinggi swasta kususnya Perguruan Tinggi Muhammadiyah masih merupakan asset penting bagi kelangsungan PTM. Pasang surut jumlah mahasiswa di suatu PTM sangat berpengaruh pada kelangsungan perguruan tinggi tersebut.Tentu hal itu tidak dapat dibiarkan dan berjalan terlalu lama. (sumber: http://majelisdiktimuhammadiyah.org)
Jika Saja Jumlah PTM sebanyak 163, dan masing-masing mempunyai mahasiswa 10.000 bisa dibayangkan jumlah mahasiswa PTM terbesar dan tersebar diseluruh Indonesia yaitu 1.630.000 mahasiswa aktif, Jika berdirinya masing-masing 10 tahun rata-rata lulus 1500 mahasiswa pertahun maka PTM sudah meluluskan 244.500 alumni.
Pertanyaannya apakah andil sebesar ini tidak pernah diperhitungkan oleh Negara? Atau Negara tidak mengetahui andi tersebut?….atau karena memang memang harus ihklas..cukup hanya menikmati saja….semoga!!!