Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M Nuh, mengatakan pemerintah terus berusaha untuk menerapkan program pendidikan sedini mungkin dan setinggi mungkin. Pelajar tidak boleh hanya sampai lulus SD lalu tidak melanjutkan pendidikan, makanya sudah menjadi tugas pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan di mana pun berada.
Continue reading “Kalah dari Malaysia, RI Naikkan Lamanya Pendidikan”
Pemerintahan Baru Harus Kaji Ulang Penerapan Kurikulum 2013
Sekjen Komnas Pendidikan Andreas Tambah mengatakan, siapapun pemerintahnya pada 2014 harus mengkaji ulang penerapan Kurikulum 2013. Kurikulum ini harus dikaji selama setahun untuk mengetahui penarapannya sudah bagus atau tidak.
“Kalau Kurikulum 2013 diganti, pasti biayanya sangat mahal. Makanya hal terpenting yang perlu dilakukan adalah melakukan evaluasi terhadap kurikulum tersebut dengan melibatkan LSM, organisasi kependidikan, praktisi, dan pengamat,” kata Andreas.
Evaluasi terhadap Kurikulum 2013, ujar Andreas, harus melibatkan pihak luar agar evaluasi benar-benar mewakili hasil riil di lapangan. Kalau evaluasi hanya dilakukan pemerintah, mereka hanya mengevaluasi sekolah-sekolah unggulan saja seperti sekolah mantan RSBI yang pasti tidak mewakili kondisi riil di lapangan.
Sebenarnya, ujar Andreas, tujuan akhir Kurikulum 2013 adalah NKRI dan pembangunan karakter. Makanya dibutuhkan guru-guru yang memiliki jiwa nasionalisme tinggi, tidak fanatik pada agama tertentu, dan berkebangsaan tinggi.
Dalam penerapan Kurikulum 2013 ini, lanjut Andreas, sebenarnya masih banyak guru yang merasa kesulitan dalam memberikan penilaian kepada hasil pendidikan muridnya. Penerapan konsep Kurikulum 2013 juga belum sampai 50 persen.
Sumber: republika.co.id
Mendikbud: Rezim Ganti Kurikulum 2013 Harus Jalan Terus
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan, meskipun pada tahun 2014 akan ada pergantian rezim pemerintahan, ia yakin pemerintah yang akan datang tetap menggunakan Kurikulum 2013. Menurutnya Kurikulum 2013 tidak perlu diganti, Kamis, (2/1).
Continue reading “Mendikbud: Rezim Ganti Kurikulum 2013 Harus Jalan Terus”
20 Muslim di Inggris Raih Penghargaan dari Ratu Elizabeth II
Dewan Muslim Inggris merilis nama dua puluh tokoh Muslim di negara itu yang menerima Queen’s New Year’s Honors dari Ratu Elizabeth. Penghargaan yang digelar setiap Tahun Baru itu diberikan kepada mereka yang dinilai berjasa di bidang kesehatan, ilmu pengetahuan, dan pelayanan masyarakat di Inggris.
Continue reading “20 Muslim di Inggris Raih Penghargaan dari Ratu Elizabeth II”
Guru “Killer”? Sabar Saja…
Seorang murid biasanya merasa guru terlalu memberikan banyak tekanan. Seperti memberikan tugas yang banyak sampai mengadakan ulangan mendadak.
Continue reading “Guru “Killer”? Sabar Saja…”
Jebakan Sukses Pendidikan
Sukses itu tidak menarik. Lho, kok tidak menarik? Tak ada pil ajaib dan metode tercanggih yang bisa menghadirkan kesuksesan dalam sekejap. Sukses tanpa kerja keras, omong kosong. Pengorbanan dan konsistensi terus-menerus mengerahkan usaha setiap hari, hal fundamental untuk meraih sukses.
Siapa kuat bertahan menjalani hari-hari penuh perjuangan? Bagi para penikmat sukses, mungkin tak jadi masalah. Bagi pemalas, itulah masalah terbesar dalam hidup mereka. Jika ada yang instan, mengapa harus lama berjibaku dalam perjuangan melelahkan, begitu pikir para pemalas. Tiada hari tanpa berkhayal, not action dream only.
Kesungguhan dalam berproses kemungkinan besar bisa mengantar kita ke gerbang kesuksesan. Begitulah hukum alamnya. Ketika target tercapai, saya selalu mawas diri, benarkah saya sudah sukses? Bertanya pada diri sendiri itu sangat penting. Karena ‘merasa sukses’ tak pernah sama dengan sukses yang sebenarnya. Jika saya anggap ‘merasa sukses’ sebagai kesuksesan, maka sukses berhasil menjebak saya. Saya terjebak, saya kehilangan makna sukses yang sesungguhnya.
Nah, saya tertarik untuk bertanya, apakah penyelenggaraan pendidikan di negeri ini sudah sukses? Jika saya gagal menjelaskan status kesuksesan hidup saya, itu persoalan kecil, hanya urusan satu orang saja. Tapi bingung menentukan pencapaian sukses pendidikan anak negeri, wualah ini sudah masuk kategori persoalan besar. Karena terkait urusan kebijakan sistemik, dampaknya bisa berbahaya.
Mari cermati data-data menarik berikut. Pertama, laporan Mendikbud Mohammad Nuh dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR RI tanggal 21 Maret 2011, 88,8 persen sekolah di Indonesia—SD hingga SMA/SMK—belum melewati mutu standar pelayanan minimal.
Berdasarkan data yang ada, 40,31 persen dari 201.557 sekolah di Indonesia berada di bawah standar pelayanan minimal, 48,89 persen ada di posisi standar pelayanan minimal, dan 10,15 persen sudah memenuhi standar nasional pendidikan. 0,65 persen lainnya termasuk kategori sekolah yang dinilai mampu bersaing dengan mutu pendidikan negara lain, dulu dikenal dengan istilah rintisan sekolah bertaraf internasional.
Tafsir rasional yang bisa dikemukakan, hak-hak belajar anak Indonesia tak mendapatkan pelayanan prima. Hanya anak-anak yang mengenyam pendidikan di sekolah yang sudah memenuhi standar nasional pendidikan saja yang patut bersyukur. Selebihnya, semua berjalan alakadarnya karena infrastruktur sistem sekolah tak memberikan jaminan kualitas. Sukseskah pemerintah mencerdaskan kehidupan anak bangsa?
Kedua, di tahun 2012 tercatat ada 3.600 perguruan tinggi swasta dan hanya ada 92 perguruan tinggi negeri. Dari jumlah itu terdapat 6.000 program studi yang belum terakreditasi (KOMPAS, 18/5/2012). Yang mengerikan, hanya 6 – 7 persen dari semua program studi yang terakreditasi A. Mungkinkah kita berharap lahir kualitas lulusan yang mumpuni jika sedikit sekali program studi di perguruan tinggi kita yang terakreditasi A? Padahal di Indonesia, setiap hari menjamur perguruan tinggi hendak membuka program studi baru. Janjinya menggiurkan, tapi kapasitas manajemen organisasinya abu-abu.
Simak apa yang terjadi di Cina, dengan jumlah penduduk mendekati angka 1,4 miliar, hanya ada 2.263 perguruan tinggi. Yang lebih menarik, China menerapkan kebijakan penggabungan perguruan tinggi yang kecil-kecil menjadi perguruan tinggi besar dengan tata kelola kelembagaan yang lebih profesional (Fact about China Education, 2011). Kualitas itu harus nomor satu.
Cukup menelaah dua data soal kualitas sekolah dan perguruan tinggi, kegelisahan saya tumpah ruah. Padahal, saya masih punya seabrek data beragam terkait potret kualitas guru, hasil studi internasional semacam TIMSS dan PIRLS, dan data lain yang menggambarkan wajah pendidikan Indonesia. Terakhir, saya membayangkan kengerian yang tengah terjadi setelah mendaras kajian dari World Bank tentang survei kualitas tata kelola pendidikan pada 50 pemerintah daerah di Indonesia. Di salah satu bagian laporan dijelaskan, daerah yang punya sistem perencanaan dan penganggaran yang lebih efektif dengan tingkat persepsi korupsi yang lebih rendah mencatat hasil pendidikan yang lebih baik. Persoalannya, saban hari para kepala daerah banyak yang diciduk karena dugaan korupsi, apa yang bisa diharap?
Di mata pemerintah Malaysia, pendidikan dan pembangunan sumber daya manusia merupakan persoalan hidup matinya Malaysia. Maka, kesungguhan dan kerja nyata untuk terus membenahi sektor pendidikan adalah wajib hukumnya. Karena pendidikan adalah investasi untuk masa depan bangsa. Naasnya, di Indonesia, pendidikan tak lebih penting dari soal pencitraan para pemegang kebijakan.
Soal hasil? Selalu indah di atas kertas. Tapi jauh dari realitas yang sebenarnya. Tak pernah selesai diskusi dari satu rapat ke rapat lainnya. Karena seringnya debat kusir, sehingga lupa apa tujuan yang hendak diraih. Amanat penderitaan rakyat terlupakan. Amanat ‘pihak berkepentingan’ diutamakan, itulah sebab mengapa pendidikan kita kehilangan orientasi.
Jujur, saya tak pernah risau dengan beragam data yang menunjukkan buramnya potret pendidikan Indonesia. Yang jadi soal, tergerakkah kita untuk segera berbenah? Saya paham tugas pemerintah sangat tak mudah. Tapi, maukah pemerintah membuka diri dan mengajak semua elemen bangsa bersinergi? Kritik itu tak mengenakkan. Tapi demi perbaikan pendidikan bangsa, mengapa para pengkritik tak pernah dirangkul agar menjadi bagian dari proses perbaikan pendidikan yang diikhtiarkan pemerintah.
Sukses itu perlu kritik. Dengan kritik, kita jadi paham titik terlemah untuk dibenahi. Kalau kritik tak dihiraukan, bisa jadi kita terjebak penyakit lupa diri. Citra dan popularitas jadi yang utama, tugas mulia mengawal proses perbaikan pendidikan terbengkalai. Sekali lagi, saya tak khawatir kualitas pendidikan belum menggembirakan. Jangan malu menerima kenyataan di hari ini. Tapi yang menggelisahkan, saat pemerintah tutup mata dan tutup telinga atas kritik dari elemen masyarakat untuk urun rembug memperbaiki pendidikan bangsa. Kapan pendidikan kita akan berubah jadi lebih baik?
Kata orang, senyum-senyum sendiri itu tak boleh. Tapi apa boleh buat, saya sering lakukan hal itu. Kapan itu terjadi? Saat pemerintah bilang ujian nasional adalah metode evaluasi terbaik, kurikulum 2013 metode terbaik membentuk karakter siswa, ujian nasional hendak dijadikan indikator kompetensi sekolah, sertifikasi guru jadi jalan meningkatkan kompetensi guru, hehehe. Saat saya berkesempatan bergerilya ke pelosok negeri, berjumpa guru dan kepala sekolah, melihat sekolah dari dekat, ternyata apa yang tersurat di atas kertas tak seindah kenyataan di tataran praktis.
“Saya sudah berpengalaman mengajar 25 tahun. Karena pendidikan terakhir saya SPG, saya harus kuliah S1. Itu khan kebijakan pemerintah. Saya setuju. Tapi, siapa yang biayai kuliah saya? Setidaknya saya harus pergi kuliah ke Makasar atau Papua. Kalau saya kuliah, bagaimana dengan siswa saya. Apa mesti saya tinggal?” komentar salah satu guru di Biak Papua soal kebijakan peningkatan standar kualifikasi pendidikan guru.
Semoga pemerintah segera sadar, asyik dengan diri sendiri itu berbahaya. Apa sebab? Persoalan bisa jadi lebih rumit. Situasi kondisi bisa makin buruk jika kita fokus pada pencitraan. Lupakan soal citra diri. Bekerjalah untuk hal yang benar. Menyiapkan generasi masa depan bangsa yang bisa hidup survive di zamannya, nyatalah kerja pemerintah di hari ini.
Tak penting berapa banyak kebijakan yang sudah dihasilkan pada saat menjabat. Yang esensial, perubahan apa yang akan terjadi akibat dari kebijakan yang sudah diambil? Baik atau buruknya, itulah yang akan dimintai pertanggungjawaban di hari akhir kelak. Apakah kebenaran dan kemaslahatan dijadikan pegangan dalam memutuskan kebijakan pendidikan bagi anak negeri? Ataukah sikap egois menjadi panglima dalam pengambilan keputusan?
Ganti menteri ganti kebijakan, itukah makna sukses di hari ini? Jika hal itu benar adanya, maka sukses itu sangat tidak menarik. Kelak, puluhan tahun kemudian, hanya anak-anak Indonesia yang bisa menilai sukses tidaknya kinerja pemerintah di bidang pendidikan. Sejarah mungkin bisa dimanipulasi. Gagal dikatakan sukses atau sebaliknya. Tapi, kenyataan kita jadi bangsa kuli atau bangsa pemimpin di masa depan, itulah gambaran nyata rancangan konsep pendidikan seperti apa yang ada di benak para pemegang kebijakan kita hari ini. Dan rasa risauku belum mau beranjak pergi.
Oleh Asep Sapa’at (Praktisi Pendidikan, Direktur Sekolah Guru Indonesia – Dompet Dhuafa)
Sumber : republika.co.id
Majukan Dunia Pendidikan Melalui Peningkatan Kualitas Guru
Program peningkatan kualitas guru dalam mengajar para siswa, yang digagas Pertamina yakni Teacher Quality Improvement Program (TEQIP) kini telah berjalan selama empat tahun. Program yang memberikan pelatihan bagi guru SD dan SMP dari Sabang sampai Merauke tersebut merupakan kegiatan hasil kerjasama antara Pertamina dengan Universitas Negeri Malang. TEQIP adalah sistem pembelajaran yang diberikan kepada para guru dikemas terintegrasi dengan lesson study.
Continue reading “Majukan Dunia Pendidikan Melalui Peningkatan Kualitas Guru”
Relevansi Pengaderan dan Idealisme Mahasiswa
ADALAH Suku Thonga, yang merupakan suku tertua di Afrika Selatan sering mengadakan suatu event “bergengsi” tiap empat atau lima tahun sekali. Event tersebut semacam circumcision school yang diperuntukkan bagi setiap anak laki-laki berusia antara 10 hingga 16 tahun untuk mendapat pengakuan sebagai seorang laki-laki dewasa. Ritual inisiasi ini dimulai dengan berlarinya setiap bocah dalam suatu jalur yang panjang. Sepanjang jalur itu, telah berbaris para laki-laki dewasa yang akan memukuli mereka dengan tongkat kayu. Di akhir perjalanan, baju sang bocah akan dilucuti dan rambutnya dicukur habis. Setiap peserta harus menjalani tiga bulan masa inisiasi untuk menjalani beberapa ujian yang berat bahkan terancam tewas selama menjalani ritual. Sungguh mengerikan, tapi ini adalah sebuah kenyataan.
Continue reading “Relevansi Pengaderan dan Idealisme Mahasiswa”
Masih Rendah Minat Kalangan Dosen Menulis Buku
Animo dosen di perguruan tinggi untuk menulis buku masih rendah. Padahal, idealnya seorang dosen harus terbiasa menulis buku sebagai bentuk karya ilimiah akademik.
”Dari pengamatan, semangat menulis buku di kalangan dosen masih rendah,” ujar pengamat pendidikan dan dosen Universitas Paramadina, Jakarta, M Abduh Zen, kepada Republika, Rabu (25/12). Hal ini disebabkan sejumlah kendala..
Di antaranya, terbatasnya kemampuan dan keahlian dosen dalam menulis buku serta konten pengetahuan. Kedua, belum berkembangnya tradisi dan budaya akademik atau ilmiah di perguruan tinggi. Hal ini khususnya terlihat pada dosen-dosen yang semangat untuk menulis buku atau karya ilmiah juga rendah.
Penyebab lainnya, kata Zen, yakni masih rendahnya penghasilan dosen sehingga mereka terpaksa mengajar begitu banyak jam di beberapa universitas. Upaya untuk mencari penghasilan lain di luar itu berdampak pada ketiadaan waktu berpikir dan menulis buku.
Di sisi lain, ujar Zen, insentif menulis buku maupun tulisan lainnya hampir tidak ada. Terlebih, kebiasaan membajak buku di kalangan penerbit sangat marak. Dampaknya, royalti yang diperoleh penulis buku juga sangat sedikit. Kondisi tersebut tidak seimbang dengan kesulitan para dosen untuk menulis.
Zen mengungkapkan, kebanyakan dosen juga tidak mempunyai ruangan mandiri yang nyaman di kampus. Ruangan ini diperlukan karena memungkinkan para dosen untuk rajin membaca dan menulis. Sementara di rumahnya juga, mayoritas masih memprihatinkan dan lebih fokus pada urusan keluarga.
” Penyebab lainnya terkait belum ada upaya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk membangkitkan semangat menulis,” ungkap Zen. Ke depan, Kemendikbud dapat lebih berperan dalam meningkatkan kapasitas dan kualitas dosen khususnya dalam budaya menulis buku.
Zen menambahkan, saat ini kemauan dosen untuk menulis lebih dikarenakan faktor semu. Pasalnya, pembuatan tulisan karena hanya untuk memenuhi ketentuan angka kredit sebagai persyaratan kenaikan pangkat. Ia khawatir hasil dari tulisan tersebut dilakukan secara asal-asalan dan meniru hasil tulisan orang lain atau plagiat.
Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk), Kemendikbud, Ramon Mohandas mengatakan, ia belum mempunyai data dosen yang razin menulis buku atau sebaliknya. Kemendikbud selalu mendorong agar para dosen agar menulis buku.
Direktur Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PTK), Dikti, Kemendikbud, Supriadi Rustad sebelumnya mengatakan, Kemendikbud berupaya meningkatkan kualitas dan kapasitas dosen. Termasuk, didalamnya mendorong peningkatan budaya akademik untuk menulis dan melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Selain itu berupaya menambah jumlah dosen. Saat ini jumlah dosen di Indonesia mencapai sekitar 160 ribu orang. Menurut dia, jumlah ini masih kurang dibandingkan dengan rasio jumlah mahasiswa. Jumlah mahasiswa mencapai sekitar 5,5 juta orang.
Sumber : republika.co.id
Bagaimana Nasib Guru Swasta?
Kondisi kesejahteraan guru swasta di Indonesia masih perlu diperhatikan, karena terkadang tingkat kesejahterannya sangat memprihatinkan, sehingga usaha-usaha untuk peningkatan kesejahteraan masih terus didorong.” Guru negeri sudah membaik, bagaimana dengan nasib guru swasta. Ini perlu penekanan perjuangan untuk peningkatan kesejahteraan guru swasta,” kata Anggota Komisi X bidang Pendidikan dan Pariwisata, Abdul Kadir Karding, Senin (25/11/2013).
Continue reading “Bagaimana Nasib Guru Swasta?”