Fidusia atau pengalihan hak kepemilikan suatu benda dengan ketentuan benda yang dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda, merupakan istilah yang umum dalam dunia usaha yang melibatkan jaminan atau agunan sebagai syarat transaksi. Fidusia berbeda dengan gadai. Pada sistem gadai, jaminan gadai dalam penguasaan kreditur, adapun pada fidusia jaminan tetap dalam penguasaan debitur atas dasar kepercayaan. Obyek fidusia dapat berupa benda bergerak maupun tidak bergerak sebagai jaminan pelunasan hutang debitur kepada kreditur.
Untuk membahas pentingnya akta jaminan fidusia sebagai jaminan kredit pada lembaga pembiayaan konsumen, Fakultas Hukum UM Magelang bekerjasama dengan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah mengadakan Forum Group Discussion (FGD) hari Senin, 8/6 di Rumah Makan Bu Tatik.
Acara yang diikuti oleh 35 peserta berasal dari dosen FH, mahasiswa FH, serta lembaga pembiayaan dan bank itu dibuka oleh Dekan FH Basri M. Hum. Adapun tiga pemateri yang dihadirkan yakni Setyowati M. Hum (Kanwil Kemenhum-HAM Jawa Tengah), Bambang Tjatur Iswanto MH (pengacara, dosen FH UM Magelang) serta Mukti Probowati SH,Sp. Not (notaris).
Dalam makalahnya berjudul Pendaftaran Jaminan Fidusia, Setyowati menjelaskan bahwa dalam fidusia, kebendaan tetap mengikuti debitur. “Hak cipta juga termasuk dalam fidusia dan telah diatur dalam undang-undang sehingga dapat dijadikan jaminan,” jelas Setyowati. Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa jaminan fidusia wajib diadaftarkan oleh pihak kreditur untuk menjamin kepastian hukum.
Adapun permohonan diajukan maksimal 30 hari terhitung sejak tanggal pembuatan akta jaminan fidusia. “Saat ini pendaftaran dapat dilakukan dengan sistem on line dengan biaya pendaftaran yang telah ditetapkan berdasarkan PP no.45 tahun 2014. Sebagai gambaran, pendaftaran jaminan fidusia untuk nilai jaminan maksimal 50 juta senilai Rp. 50.000 per akta. Adapun jaminan di atas 500 milyar sebesar 6,4 juta per akta,” tandasnya.
Adapun Bambang Tjatur yang mengangkat tema tentang Penyimpangan Akta Jaminan Fidusia sebagai jaminan Kredit dan Akibatnya menjelaskan bahwa pelanggaran fidusia terjadi ketika lembaga pembiayaan melakukan kontrak perjanjian dengan konsumen tidak di hadapan notaris sehingga hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai perjanjian di bawah tangan.
Lebih lanjut pengacara kondang itu juga menegaskan tentang pelanggaran lainnya yang dilakukan oleh kreditur adalah dengan adanya klausul baku dimana aturan yang telah disiapkan terlebih dahulu secara sepihak yang menyatakan bahwa konsumen memberikan kuasa kepada finance (kreditur) untuk melakukan segala tindakan terkait obyek jaminan fidusia tersebut tanpa turut serta menghadap notaris.
“Padahal dalam pasal 18 ayat 1 no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen antara lain disebutkan pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen atau perjanjian,” tegas Bambang. Fakta di lapangan pihak kreditur justru melakukan eksekusi secara sepihak tanpa melalui instansi pemerintah dengan menggunakan debt collector yang perbuatannya justru dapat dikategorikan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dan konsumen dapat melakukan gugatan ganti.
Mukti Probowati dalam paparan makalahnya menegaskan pentingnya akta jaminan fidusia sebagai jaminan kredit pada lembaga pembiayaan dan perbankan. “Perjanjian yang memberikan jaminan fidusia di bawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi karena harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke pengadilan negeri,” ucapnya. Alumni FH UM Magelang tahun 1998 itu menegaskan pentingnya akta jaminan fidusia karena barang jaminan ada dalam penguasaan debitur sehingga perlua dibuatkan akta untuk melindungi kreditur jika debitur wanprestasi. “Dengan dibuatkannya akta jaminan sidusia, lembaga pembiayaan dan perbankan tidak perlu melakukan upaya hukum bila debitur melakukan wanprestasi,” tandasnya.(YUDIA-HUMAS)
Sumber : Universitas Muhammadiyah Magelang