Pembangunan Papua dapat dilihat dari potret tantangan dan perjalanan Papua beberapa waktu ke belakang. Hal ini sejalan melihat Papua dalam konteks kebijakan baru yang dikeluarkan oleh negara dalam penanganan konflik. Salah satu kritikan yang muncul dari saudara di Papua adalah disatu sisi mereka merasa otsus sudah optimal dan di sisi lain sebagian besar menyatakan otsus ini gagal dan tidak efektif untuk menyelesaikan problem di Papua. Begitu papar Dr Velix Bernando Wanggai, S.IP., MPA dalam webinar bertemakan Masa Depan Papua: Perspektif Orang Papua Seri II, Sabtu (30/10).
Dr Velix melanjutkan untuk melihat masa depan Papua tentu dihadapkan dengan beberapa situasi dan tren ke depan seperti adanya lonjakan demografi generasi muda, new life style baru masyarakat, suku dan etik yang semakin beragam, urbanisasi, dan kota-kota menengah kecil baru yang muncul. “Kita juga dapat melihat bagaimana pertumbuhan kompetensi masyarakat Papua yang dapat diambil alih oleh peran perguruan tinggi,” begitu pungkasnya.
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Pembangunan ini melanjutkan isu-isu lain yang perlu diperhatikan yaitu adanya kemunculan provinsi baru, ekonomi daerah dan kemandirian fiskal, potensi SDA di Papua, tren teknologi global, hutan Papua sebagai “heart of Indonesia”, dampak ekonomi berkelanjutan dan perubahan geopolitik serta perbatasan negara. “Hal yang menjadi penting yaitu bagaimana kita bersama melukis wajah tanah papua 20 tahun ke depan. Kita letakkan lukisan itu dalam rencana induk percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat,” paparnya. Ia mengingatkan agar pembangunan Papua perlu dibarengi dengan indikator yang mendukung sehingga dapat membentuk kepribadian Papua yang bangkit, adil, damai dan sejahtera pada tahun 2022-2042.
Dalam kesempatan yang sama Dian Wasaraka selaku narasumber kedua beranggapan ketika berbicara masa depan Papua itu tidak jauh dari peran pemuda. Data statistik Papua tahun 2020 menyebutkan bahwa Papua saat ini didominasi oleh generasi Y, Z, dan alpa. “Hasil penelitian kami menyebutkan generasi X dan Y memegang peranan aktif di sosial media karena mereka memiliki sumber daya, perangkat, dan uang. Sedangkan generasi Z lebih menjadi follower yang aktif dalam membagikan konten bahkan membagikan tanpa berpikir. Lalu generasi alpha menjadi generasi konsumen aktif,” paparnya. Hal yang perlu diperhatikan yaitu bagaimana generasi muda Papua dapat menyikapi penyebaran konten tidak mendukung serta konten hoax yang jika dibiarkan justeru akan merusak jati diri pemuda Papua.
Akan menjadi hal yang memprihatinkan ketika 20 tahun yang akan datang isu mengenai keterbelakangan, kekerasan struktural dan gender, dan SDM Papua perlu diperhatikan terus menjadi isu yang diperbincangkan. Dian menyarankan perlunya literasi digital yang digencarkan serta adanya lingkungan hidup dan ruang tumbuh untuk anak. Ia menggaris bawahi perlu adanya adaptasi dan kompetisi yang menjadi isu krusial dan harus terus digencarkan. Adaptasi berupa adanya dukungan dalam memfasilitasi pengetahuan dalam literasi digital. Sedangkan kompetisi guna meningkatkan keunggulan dan harga diri Papua. “Ketika kami hanya diberikan kasihan terus menerus kami hanya akan menjadi jago kandang. Namun ketika kami diberikan adaptasi, dikenal, dan dibiarkan untuk berkompetisi maka kemampuan terbaik kami pasti akan kami tunjukkan,” pesannya. [] UM Papua/ Diktilitbang