Format Baru Relasi Islam dan Pancasila

Sejak menjadi negara baru Indonesia telah menentukan asas bernegara yang digagas oleh para founding fathers. Asas itu tidak lain adalah Pancasila. Meski rumusan Pancasila telah dianggap final tetapi ia masih menyimpan riak-riak perdebatan. Dalam beberapa perdebatan dan dialog Pancasila dihadapkan dengan Islam.

“Sebagian masyarakat belum mampu mendudukkan antara Pancasila dan Islam dengan baik,” jelas Ma’mun Murod Al-Barbasy, Ketua Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP), pada Seminar Nasional bertema Mencari Format Baru Relasi Islam dan Pancasila yang diselenggarakan FISIP UMJ bekerjasama dengan PSIP dan Pusat Pengkajian MPR RI di Aula Pascasarjana UMJ lantai 3, Jumat (12/12) lalu.

Masih menurut Ma’mun bahwa salah satu masalahnya adalah Islam dan Pancasila tidak mampu dihadirkan dalam konteks bernegara saat ini. Padahal, sambungnya, Pancasila sebagai ideologi tidak ada persoalan.
Selain Ma’mun para narasumber yang hadir pada seminar tersebut antara lain KH. Salahuddin Wahid – biasa dipanggil Gus Solah, Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, Wakil Ketua MPR RI era SBY, dan Andar Nurbowo, Pengamat Politik Indostrategi. Acara tersebut dibuka oleh Rektor UMJ Prof. Masyitoh.

Dalam sambutannya Masyitoh meyakini bahwa antara Islam dan Pancasila tidak berseberangan. Menurutnya, ke-lima sila dalam Pancasila sesuai dengan Islam.

Menurut Ma’mun, perdebatan soal relasi Islam dan Pancasila seringkali mengerucut pada masalah piagam Jakarta. Padahal pada sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” menurutnya berada dalam konteks tauhid.

Ia juga menyampaikan hasil riset PSIP diantaranya adalah bahwa Pancasila diamini sebagai landasan bernegara. Sedangkan tentang relasi Islam dan Pancasila, sekitar 82 % responden menjawab bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Meskipun demikian sekitar 67% responden rindu dengan hadirnya Piagam Jakarta.

Sedangkan menurut Gus Solah, proses memadukan Islam dan Indonesia pergulatannya bukan pada menerima atau menolak Pancasila. Tetapi bagaimana menafsirkan Pancasila, “Saya kira ini akan terus berjalan,” jelasnya.

Soal Pancasila, masih menurut Gus Solah, bahwa Sila ke-5 yang tidak banyak dibahas. “ Soal hak asasi kita masih bicara hak sipil dan politik. Padahal di luar sudah bicara hak ekonomi, social dan seterusnya,” katanya lagi.

Senada dengan Gus Solah soal menafsirkan Pancasila, Andar Nurbowo bahwa untuk memahami bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam perlu pemahaman tafsir yang integral. “Perlu penerjemahan secara operasional bagaimana ber-Islam dan bagaimana ber-Pancasila,” jelasnya.

Sebagai pembicara terakhir Hajriyanto mengatakan jika Pancasila bersifat poli-interpretable artinya bahwa Pancasila dapat diinterpretasikan melalui berbagai macam cara. “Karenanya Pancasila adalah ideology terbuka,” tegasnya.(Abik/ Humas UMJ)

Sumber : www.umj.ac.id