FGD MIHI UMY, Quo Vadis Papua dan Aceh dalam Struktur NKRI

Demonstrasi dan gejolak politik pasca kasus rasisme yang terjadi pada mahasiswa asal Papua yang berada di Jawa Timur semakin nyaring gaungnya. Keinginan untuk melepaskan diri dari NKRI pun semakin santer disuarakan. Magister Ilmu Hubungan Internasional (MIHI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mencoba merespon gejolak politik tersebut dari sudut pandang akademisi dengan menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) di Ruang Sidang Direktur Pascasarjana Lantai 1 UMY, Rabu (4/8).

Membawakan tema Quo Vadis Papua dan Aceh dalam Struktur NKRI, FGD dipantik oleh Ali Muhammad, Ph.D dan Dr. Takdir Ali Mukti. Hadir dalam kegiatan diskusi, dosen-dosen UMY dan sejumlah mahasiswa pascasarjana.

FGD dibuka dengan pemaparan dari Ali Muhammad mengenai separatisme di Papua. Menurut Ali permasalahan separatisme ini bukanlah hal yang baru. Negara-negara maju seperti Inggris, Kanada, dan Spanyol pun melalui itu semua. “Tapi saya melihat akar separatisme di Papua ini sangat kompleks dan serius. Ada tiga hal yang mendasari itu, pertama adalah sejarah, kedua adalah identitas, dan ketiga adalah kegagalan pembangunan ekonomi.”

Ali berpandangan bahwa sejarah Papua sudah rumit sejak awal. Orang-orang Papua tidak menerima hal tersebut dan menyatakan itu illegal. Belum lagi berbicara tentang identitas. Tidak jarang orang-orang Papua merasa berbeda dengan identitasnya orang Indonesia pada umumnya. “Ini menjadi masalah karena adanya masalah integrasi nasional yang belum terselesaikan tersebut. Jelas Indonesia bukan bangsa yang berdasarkan ras. Bangsa Indonesia itu berbeda-beda namun tetap satu. Tetapi mereka memang masih merasa kurang nyaman, itu dia tantangannya. Bagaimana membuat mereka bisa nyaman,” ujarnya.

Ali juga menambahkan diskriminasi dan rasisme itu ada meskipun secara tidak sadar dilakukan. Kemudian perlunya menilik lebih lanjut kebermanfaatannya bagi Papua dalam pembangunan ekonomi. “Pembangunan itu jelas ada, tapi kemudian pembangunan itu untuk siapa?”. Menurutnya perlu dicari lagi model pemberdayaan ekonomi yang lebih cocok untuk Papua.

Sementara itu Takdir Ali Mukti menjelaskan dari sisi kontestasi konstruksi sejarah Ke-Indonesia-an, Ke-Aceh-an, dan, ke-Papua-an. “Adanya miss dalam konstruksi sejarah versi Negara, versi GAM  dan OPM.” Ia menjelaskan, tokoh OPM mengatakan Belanda tidak menjajah Papua tapi menyelamatkan dan mendidik Papua. “Jika sampai menyebutkan Belanda ini penjajah, maka akan berlaku prinsip hukum internasional utis possedutis yang menentukan batas negara merdeka yang mewarisi bekas kolonial,” tambahnya. Sedangkan versi NKRI, Papua sudah dijajah oleh Belanda pada tahun 1828 sejak didirikannya benteng Fort du Bus. Sehingga pada tahun 1945 Bung Karno dapat menyebutkan bahwa NKRI terdiri dari Sabang sampai Merauke yang berdasar atas utis possedutis.

Versi GAM, menyebutkan Belanda tidak pernah menjajah Aceh, karena adanya kepemimpinan Wali, dan Ulama sampai dengan mengundang Jepang di Malaka. Awalnya, Aceh sendiri mendukung adanya kemerdekaan NKRI, namun ia tetap berpendapat bahwa Aceh tetap menggunakan hukum syariah. Masa pergolakan, Bangsa Aceh merasa terkhianati oleh RI, karena adanya penghapusan pemberlakuan hukum Islam dan menekankan adanya Indonesia Nasionalis. Sehingga menimbulkan adanya perlawanan Rakyat Aceh terhadap kebijakan tersebut.

Takdir menyimpulkan bahwa ada dua permasalahan dari isu ini yaitu Nation Bulilding yang belum selesai sejak kemerdekaan dan konsep NKRI Harga Mati harus direnungkan kembali. “Karena Federalisme No, NKRI itu harga hidup,” tegasnya.

Aceh dan Papua dari Berbagai Sisi

Prof Tulus menambahkan ada dua persamaan antara kedua daerah ini, karena adanya modal geo-politik dalam sejarah. “Keduanya berlokasi di pinggiran, dan keduanya menggunakan aspek Belanda sebagai orang white,” paparnya. Ia mengajak untuk membuka mata dan memilah mana sejarah yang baik untuk memformat menjadi hal yang baik untuk kedua wilayah. “Marilah kita melihat Indonesia sebagai nation state modern untuk kita hadapi itu, serta kita lihat Aceh dengan bentuk baru pula,” paparnya.

Muhammad Azhar menambahkan perlu adanya pendekatan keagamaan, karena pemahaman Muhammadiyah juga semakin direduksi. Ia menyimpulkan problem pertama karena masjid dan tempat keagamaan lain belum bisa menjembatani pusat elit lokal, problem kedua adalah pejabat yang menikmati Papua. Selain itu perlu kita lakukan pendekatan milenialis melalui iklan yang dapat menjadi keyakinan juga. “Contohnya seperti black is beautiful,” paparnya.

Dr Hasse, J., M.A menyebutkan stigma orang Papua itu bodoh dan terbelakang sama sekali tidak benar, karena justru apa yang dilakukan oleh orang Papua sebagai bagian dari negosiasi mereka. “Masalah Surabaya kemarin itu bukan hal yang baru, karena itu selalu terjadi setiap 17 Agustus,” paparnya. Tegasnya, jangan mengukur Papua, Sulawesi dll dengan perspektif Jawa. Apa yang dilakukan oleh pemerintah sekarang adalah bagian pinggir yang di bawa ke center “Bagaimana jalan tol diperbaiki dan sinyal internet yang mendukung juga,” ini adalah bagian dari negosiasi orang Papua namun jika papua menyatakan untuk berpisah, ini akan menimbulkan perang saudara karena Papua terdiri dari banyak etnis.

Di penutup, Takdir kembali menegaskan bahwa adanya peta kontestasi tersebut jangan sampai justru membuat semakin hancur. Perspektif-perspektif tersebut seharusnya memantik hal yang tidak terpikirkan sebelumnya. “Federalisme no NKRI hidup, itu maksudnya adalah sovereignty. Jadi dilenturkan. Batasnya ditarik lebih luas lagi itu yang saya maksud dengan jalan ketiga”. Ia menambahkan adanya urgensi mendiskusikan kembali perspektif ke-Indonesia-an yang lebih dinamis. Seperti apa nasionalisme di jaman milenial ini. Definisi mengenai NKRI, apakah berlaku terus atau perlu direvisi. “Model Inggris itu saya masih anggap yang paling available. Bukan merubah tapi lebih memodifikasi,” pungkasnya.