Satria Unggul Wicaksana, Dosen sekaligus Direktur Pusat Studi Antikorupsi dan Demokrasi (PUSAD) UM Surabaya mengisahkan kisah hidupnya kepada Humas UM Surabaya pada Selasa (27/12) lalu. Dalam kisahnya, Satria melakukan kilas balik sejak sebelum menjadi Wakil Dekan dan pengorbanan-pengorbanan dalam perjalanan menuju puncak kariernya. Di keluarga kecilnya, Satria merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara dengan orang tua bekerja sebagai pejual rombeng baju bekas di desa-desa.
Ketika SMP, ia pernah tidak naik kelas karena tidak bisa membeli buku-buku sekolah dan tidak memperoleh nilai dari lima guru. “Saya sempat frustrasi dan mengurung diri di kamar selama dua hari. Karena banyak sekali yang mem-bully,” paparnya. Dari situ, ia memutuskan untuk tidak berlama-lama meratapi nasib. Satria melanjutkan sekolah dengan tekad menjadi siswa yang lebih aktif mengikuti berbagai olimpiade dan organisasi.
Naik tingkat ke SMA, Satria dikenalkan dengan Muhammadiyah oleh seorang gurunya, Yusuf Ismail. “Saya tahu organisasi Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), lalu juga belajar mengaji dan agama. Pak Yusuf mengajari banyak hal dan sering mempresensi salat saya,” kenangnya. Selama SMA, ia bekerja sebagai waiter. Pekerjaan ini ia lakoni hingga semester tiga di bangku kuliah di UM Surabaya sebagai mahasiswa Ilmu Hukum.
“Pendidikan adalah cara terbaik memutus mata rantai kemiskinan,” demikian pungkasnya. Selama kuliah, sekalipun tetap melalui jatuh-bangun. Satria gigih mempertahankan pendidikannya. Ia menjadi asisten dosen di Fakultas Hukum, kemudian mendapat beasiswa untuk studi di Universitas Airlangga dengan jurusan konsentrasi Hukum Internasional. Prestasi Satria terbaru adalah penobatan Dosen Terimplementatif di kegiatan workshop hasil luaran dana inovasi pembelajaran dan teknologi asistif bagi mahasiswa berkebutuhan khusus.