Regulasi yang mengatur tentang perkara aksi kekerasan seksual perlu ditinjau kembali. Karena, banyak fakta terjadinya kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan ke pihak berwajib. Seandainya dilaporkan pun, penanganan yang dilakukan pihak berwajib cukup rumit dan berkaitan pula dengan nama baik korban aksi kekerasan.
Demikian kesimpulan seminar bertema “Pencegahan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi” yang diselenggarakan Universitas Aisyiyah Bandung (Unisa Bandung), di gedung Balai Santika, Bikasoga, Bandung, Selasa (7/2 2023). Dalam acara yang dibuka oleh Rektor Unisa Bandung, Tia Setiawati, S.Kp, M.Kep, Ns, Sp.kep, an itu, tampil sebagai pembicara yakni AKBP Pol. Taufik Rohman yang mewakili Kapolda Jabar, Irjen Pol Drs. Suntana, M.Si serta Dr. Atalia Praratya, S.IP., M.I.Kom, dan Eddi Brokoli.
Suasana seminar berlangsung hangat, tatkala Atalia “Cinta” Ridwan Kamil menyelingi pemaparannya dengan mencuplikan slide-slide video kasus kekerasan seksual, serta simulasi bela diri praktis mengatasi tindakan kekerasan seksual. Moderator seminar, Rahmat bersama Atalia Praratya memandu simulasi bela diri praktis massal yang melibatkan hadirin. Selain itu, peserta seminar yang juga memenuhi balkon gedung berkesempatan menyaksikan paduan suara dari Tim Kesenian Unisa Bandung pimpinan Gabriele Stefhany Teesen.
Terkait dengan kesimpulan seminar, Taufik Rohman dan Atalia Praratya mengemukakan hal senada bahwa selama ini masyarakat luas cenderung berasumsi korban aksi kekerasan seksual adalah perempuan. Padahal berdasarkan fakta yang terjadi di tengah masyarakat, ternyata korban aksi kekerasan seksual juga dialami kaum laki-laki. Ironisnya, media massa umumnya telanjur memberitakan kasus semacam itu tatkala korbannya adalah perempuan.
Taufik Rohman mengatakan, di beberapa daerah di Jabar terungkap kasus-kasus aksi kekerasan seksual yang juga menimpa kaum laki-laki. Di sisi lain, bagi aparat kepolisian sebenarnya cukup rumit menangani perkasa aksi kekerasan seksual. Di beberapa kasus, pernah terjadi kepolisian menangani secara serius. Tim penyelidik dan penyidik bergerak sesuai Standar Operasi Prosedur (SOP) yang ada. Tatkala sedang proses, tiba-tiba pelapor mencabut pengaduannya. Ada pula, pelapor yang ternyata tidak atau kurang mengerti tentang fakta-fakta aksi kekerasan seksual.
“Penyidik bertanya tentang peristiwanya, dari A hingga Z. Misalnya, dengan siapa korban datang ke hotel dan masuk ke kamar. Siapa yang membuka pakaian atas, rok bawah, dan siapa yang memulainya. Ketika diceritakan oleh korban, penyidik pun akhirnya menilai bahwa tidak terjadi aksi kekerasan seksual. Sebab, ada kasus seperti yang di Kab. Kuningan belum lama ini, ternyata korban sadar masuk ke kamar hotel, bahkan setelah peristiwanya, sempat makan di restoran bersama pelaku. Artinya, defenisi suka sama suka, masuk dalam perkara tersebut,” tuturnya, sambil menambahkan sebenarnya aparat kepolisian segan jika menangani kasus dugaan kekerasan seksual sehubungan faktor sensitifitas dan kerumitannya.
Dalam sambutannya, Tia Setiawati mengemukakan, di UUD 1945 termaktub kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Konsekuensinya kita memiliki hak untuk kemerdekaan secara lahir maupun batin. “Saat ini banyak penjajahan dalam berbagai bidang, baik itu itu ekonomi, sosial, dan lainnya. Salah satu bentuk “penjajahan” itu adalah kekerasan seksual di dunia pendidikan. Jenis penjajahan ini dapat merebut kemerdekaan warga di universitas, sehingga hal ini dapat menghambat potensi individu terkait,” kata Tia Setiawati.
Berkaitan tema seminar, ungkap Tia Setiawati, Unisa Bandung telah membentuk tim Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) untuk membantu mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan (tendik) jika mengalami kondisi tidak menyenangkan. Dikemukakannya, PPKS berfungsi untuk menerima pelayanan dan menerima pengaduan dari warga kampus. Kami berharap Unisa Bandung dapat menciptakan budaya akademik yang baik, kampus yang merdeka sesuai dengan value Unisa Bandung yaitu berakhlakul karimah, profesional, dan berintegritas tinggi,” ujar Tia Setiawati.