PENGUATAN KELEMBAGAAN PEYULUHAN MEMASUKI KONEKTIFITAS ASEAN/ASIA (KASUS KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN/AGRIBISNIS)

Oleh: Syafiuddin
(Univeritas Muhammadiyah Makassar)

Konektifitas Asean/Asia

Eksistensi organisasi regional ASEAN mampu menarik minat berbagai aktor penting dalam tatanan hubungan internasional untuk terlibat diri di dalam kancah regionalisme ASEAN. Terdapat beberapa forum kerjasama bilateral, regional, dan multilateral yang digagas sejak regionalisme ASEAN mulai didirikan pada tahun 1967. Forum-forum kerjasama tersebut seperti: forum ASEAN – China, Jepang, Korea Selatan; ASEAN dalam East Asia Summit (EAS), ASEAN dalam Regional Forum (ARF). Selain itu terdapat pula kerjasama seperti ASEAN – Pacific Forum Island (PIF), ASEAN terkait US Lower-Mekong  Initiative, South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC), Shanghai Cooperation Organization (SCO), serta Asia Pacific Economic Cooperation (APEC). Keberadaan forum kerjasama serta berbagai macam kerjasama sub-kawasan dan ekstra regional lainnya, mengindikasikan bahwa posisi dan peran strategis ASEAN dalam politik internasional telah mengalami pencapaian yang cukup signifikan, sehingga mampu mempengaruhi berbagai aktor penting dalam tata hubungan internasional untuk dapat mempelopori kerjasama internasional, baik secara bilateral, regional, maupun multilateral dalam rangka mencapai tujuan dan kepentingan masing-masing pemangku kepentingan (stakeholders).

Untuk mewujudkan Komunitas ASEAN yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, mempersempit kesenjangan pembangunan, dan meningkatkan keterhubungan di antara negara-negara ASEAN dengan sesama anggota dan dengan dunia internasional, terdapat tiga pilar ASEAN Connectivity sebagai rencana aksi, yakni (1) pengembangan konektifitas fisik (physical connectivity), (2) konektifitas institusional (institutional connectivity) dalam bentuk kelembagaan, mekanisme, dan proses yang efektif,
dan (3) konetifitas antar perorangan (people-to-people connectivity) dalam wujud penguatan antar-penduduk yang ditandai dengan peningkatan mobilitas masyarakat ASEAN. Konektivitas ASEAN akan sangat membantu dalam mencapai pertumbuhan yang lebih tinggi, memfasilitasi pasar dan jaringan produksi yang lebih terintegrasi, mendorong perdagangan antar-kawasan, menarik lebih banyak penanaman modal, serta mempromosikan dan memperkuat ikatan-ikatan budaya dan historis yang dimiliki oleh masing-masing negara.

Hubungan antar negara ini mengisyaratkan adanya bentuk komitmen negara-negara ASEAN yang konsekuensinya menuntut kesiapan negara masing-masing untuk terlibat secara fisik, institusi maupun perorangan bagi terwujud tujuan tersebut. Guna beradaptasi dengan sistem baru, Indonesia sudah seharusnya meningkatkan konektifitas domestiknya sebagai prasyarat dapat berperannya dalam konektifitas regional ASEAN. Dalam pandangan Indonesia konektifitas regional tersebut harus membantu memberdayakan dan mengembangkan ekonomi lokal sebagai upaya mempersempit kesenjangan pembangunan di ASEAN. (B. Susantono, 2012).

Tulisan ini bertujuan mengetengahkan gagasan mengenai bagaimana pentingnya kelembagaan penyuluhan sebagai bagian yang dapat menempatkan posisinya secara strategis dalam menggagas perubahan-perubahan, mempersiapkan manusia pembangunan yang berdaya saing serta menciptakan masyarakat pembelajar sebagai bagian dari upaya memperkuat kelembagaan, menciptakan mekanisme dan proses yang efektif dan ikutmerealisasikan keterhubungan antar personal dalam meningkatkan mobilitas masyarakat sebagai pilar penting dalam konetifitas ASEAN/ASIA

Kelembagaan Penyuluhan: Antara Harapan dan Kenyataan

UU no 16 tahun 2006 mengisyaratkan adanya kembagaan penyuluhan yang terbentuk dan menunjukkan fungsinya dalam membangun dinamika dan daya saing bangsa, mulai pada tingkat nasional sampai ke tingkat masyarakat. Pada undang-undang tersebut kelembagaan penyuluhan mengemban fungsi menyelenggarakan penyuluhan. Kelembagaan penyuluhan dapat terdiri dari (1) kelembagaan penyuluhan pemerintah (2) kelembagaan penyuluhan swasta (3) kelembagan penyuluhan swadaya.

Adanya kelembagaan penyuluhan yang berdiri sendiri pada berbagai tingkat wilayah diharapkan dapat menjamin terselengaranya (1) Fungsi perencanaan dan penyusunan program penyuluhan (2) Fungsi penyediaan dan penyebaran informasi teknologi, model usaha agrobisnis dan pasar bagi petani di pedesaan. (3) Fungsi pengembangan SDM pertanian untuk meningkatkan produksi, produktivitas dan pendapatan. (4) Penataan administrasi dan piningkatan kinerja penyuluh pertanian yang berdasarkan kompetensi dan profesionalisme. (5) Kegiatan partisipasi petani-penyuluh dan peneliti. (7) Fungsi supervisi, monitoring, evaluasi serta umpan balik yang positif bagi perencanaan penyuluhan kedepan.

Peran kelembagaan penyuluhan di tingkat Kabupaten kota, kecamatan, dan tingkat kelembagaan petani antara lain: (1) Sebagai sentra pelayanan pendidikan non-formal dan pembelajaran petani dan kelompoknya dalam usaha agrobisnis. (2) Sebagai sentra komunikasi, informasi dan promosi teknologi, sarana produksi, pengolahan hasil dalam berbagai model agobisnis. (3) Sebagai sentral pengembangan SDM pertanian dan penyuluhan berbasis kerakyatan, sesuai kebutuhan petani dan profesionalisme penyuluhan pertanian.(4) Sebagai sentra pengembangan kelembagaan sosial ekonomi petani. (5) Sebagai sentra pengembangan kompetensi dan profesionalisme penyuluh pertanian. (6) Sebagai sentra pengembangan kemitraan dengan dunia usaha agribisnis dan lainnya.

Peran kelembagaan ini perlu dicermati kembali guna memahami kondisi dan karakteristiknya sehingga dapat diidentifikasi masalah dan potensi yang dapat menjadi landasan dalam memikirkan langkah-langkah yang tepat untuk menajamkan misi kelembagaan penyuluhan sesuai fungsinya dalam kerangka pembangunan berkelanjutan dan peningkatan saya saing bangsa. Gambar berikut bermaksud menjelaskan suatu kerangka konsep yang memperlihatkan posisi kelembagaan penyuluhan di tingkat implementasi dalam kerangka membangun kekuatan pelaku utama dan pelaku usaha baik individu maupun kelompok.

[fusion_builder_container hundred_percent=”yes” overflow=”visible”][fusion_builder_row][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Gambar 1. Kelembagaan penyuluhan dalam kerangka sistem kemasyarakatan.
Gambar 1. Kelembagaan penyuluhan dalam kerangka sistem kemasyarakatan.

Gambar 1 menunjukkan posisi kelembagaan penyuluhan yang mengayomi kepentingan petani sebagai pelaku utama, kelembagaan komunitas/kelompok tani sebagai wadah petani mengembangkan dirinya baik untuk kepentingan sosial maupun untuk kepentingan ekonomi dan komponen pelaku usaha pada subsistem pasar. Bentukan sistem ini mengubungkan komponen yang terlibat aktif dalam penyuluhan (baik sebagai pelaku utama maupun pelaku usaha) dalam suatu struktur fungsional. Bila kelembagaan penyuluhan berfungsi baik, kuat dan memuaskan maka akan menjadi stimulus bagi komponen lainnya untuk tumbuh dan berkembang sebagai basis pembangunan berkelanjutan. Lingkaran kecil adalah kelompok di tingkat komunitas yang mulai menguat, mendekati aktifitas sistem pasar sebagai pelaku usaha. Bila lingkaran kecil semakin dekat dan menyatu dengan sistem pasar maka kelembagaannya semakin kuat dan ber
metamorfosa menjadi kelompok usaha. Kondisi inilah yang diharapkan tumbuh pada sistem ini, sehingga mampu melahirkan dinamika masyarakat yang berdaya saing.

Namun demikian, bertolak dari kondisi kelembagaan penyuluhan yang sementara ada, terdapat beberapa masalah yang dapat dikemukakan sehubungan dengan bentukan sistem tersebut yakni:

  1. Peran kelembagaan penyuluhan masih jauh dari yang diharapkan. Selain sebahagian belum terbentuk secara mandiri, sebagian lain masih berjalan sesuai alur proyek pembangunan. Contoh di Sulawesi Selatan masih banyak kabupaten belum membentuk kelembagaan penyuluhan sesuai amanah undang-undang. Setiap daerah mempunyai pandangan berbeda tentang kelembagaan penyuluhan. Di tingkat kecamatan belum seluruhnya memiliki BPP walaupun idealnya 1 kecamatan harus memilki satu BPP.
  2. Pada tingkat implementasi hampir semua garis yang menghubungkan setiap komponen pada sistem tersebut masih belum fungsional karena berbagai macam sebab misalnya jumlah penyuluh masih kurang, penyuluh tidak kompeten dan kurang mampu membangun konsolidasi programnya dengan masyarakat sasaran.
  3. Lemahnya kinerja penyuluhan menyebabkan petani dan kelompok tani sebagai wadah pengembangan di tingkat komunitas belum mampu menunjukkan kinerjanya sebagai kelompok yang kuat dan pelaku utama yang mandiri. Di Sulawesi Selatan misalnya, dari 2048 Gapoktan penerima dana PUAP sejak tahun 2008-2011 dengan dana sekitar 204,8 miliyar belum menampakkan adanya hasil yang memadai. Beberapa penelitian mahasiswa tentang PUAP menyimpulkan program PUAP menunjukkan hasil yang tidak memuaskan.
  4. Kelembagaan penyuluhan yang sudah ada belum terjalin keterhubungan yang intens. Antar kelembagaan penyuluhan kurang terjalin dalam koordinasi yang saling mendukung, baik sesama lembaga penyuluhan maupun dengan dengan pihak-pihak lain yang terkait.
  5. Upaya yang dilakukan lembaga penyuluhan dalam mengimplementasikan program masih terkendala penganggaran sehingga menempatkan kelembagaan penyuluhan dalam posisi yang lemah.

Penguatan kelembagaan Penyuluhan

Berdasarkan masalah yang telah disebutkan seyogianya dipikirkan berbagai upaya dalam penguatan kelembagaan penyuluhan sehingga berfungsi sebagai motor penggerak dinamika masyarakat guna mendukung tiga pilar konetifitas ASEAN/ASIA. Tentang pentingnya penyuluhan bagi kepentingan bangsa, penulis mengutip dialog Anton Supit Ketua Asosiasi pengusaha Indonesia (APINDO) dengan H.M.Yusuf Kalla yang mengatakan “persoalan kita disini adalah produktifitas. Seperti ada kemunduran yang cukup besar. Kalau saya jujur, adalah ketidak seriusan untuk membenahi masalah. Kondisi ini perlu keseriusan semua pihak, semua stakeholders. Tentu saja aspek leadership pemerintah sangat penting. Kita memiliki air ,matahari, tanah yang subur yang dikaruniai Tuhan. Kita memiliki petani yang handal dan ulet. Pabrik pupuk tersedia. Peralatan pertanian modern telah digunakan di desa-desa. Sistem pemasaran sudah cukup bagus. Apa yang kurang untuk mendongkrak produktifitas? saya melihat satu hal yang kurang adalah penyuluhan, untuk mengikat komponen-komponen itu menjadi satu kekuatan nasional. Kita lemah di sektor ini. Jangan anggap remeh, pertanian di Amerika sukses karena peranan penyuluhan pertanian. Bukan sekedar penyuluh, tapi penyuluh yang punya kompetensi pertanian. Kita perlu itu”.

Pernyataan ini disambut Yusuf Kalla “ Ini pandangan dan sharing pemikiran yang luar biasa. Tentu saja saya setuju tentang peranan penyuluhan pertanian. Dulu pernah saya katakan, kurangi setengah jumlah staf dikantor departemen pertanian supaya ada yang bisa berkantor dilapangan . Kita harus mempunyai kebijakan pertanian, terutama mengelola setiap potensi yang kita miliki. Pengelolaan alam yang kaya raya ini perlu manusia-manusia yang berkarakter dan berkompetensi”. Pada bagian lain Yusuf Kalla berkomentar: saya kira cara yang paling efektif untuk memberdayakan nelayan adalah dengan penyuluhan. Kalau ada 50 persen dari 10.640 desa di Indonesia memiliki tenaga penyuluh maka kondisi nelayan akan lebih baik. (Yusuf Kalla, 2013)

Kutipan pernyataan tersebut menunjukkan begitu pentingnya penyuluhan bagi kemajuan bangsa. Tidak hanya sekedar itu, penyuluhan dapat menyelesaikan banyak persoalan, merangkai dan menyatukan berbagai komponen dalam memacu produktifitas. Oleh karena itu penguatan kelembagan penyuluhan mutlak menjadi sesuatu yang penting dalam kerangka yang lebih strategis. Oleh karena itu perlu dipikirkan langkah:

  1. Persiapan dengan melanjutkan upaya pembentukan kelembagaan penyuluhan sampai ditingkat desa/kelurahan sesuai isyarat undang-undang serta berupaya membangun kesadaran bersama mengenai mengenai pentingnya peran kelembagaan ini.
  2. Penguatan kemampuan pengorganisasian. Sebagaimana organisasi/institusi umumnya, kelembagaan penyuluhan secara garis besar mengemban tugas mengelola sumber berkenaan dengan pembelajaran masyarakat tani selain mengolola organisasinya guna menjamin kontinuitas program penyuluhan. Keterlatihan dalam pengorganisasian diharap melahirkan kembagaan yang kuat dan memiliki kemampuan mengorganisir diri (self organizing cupability) guna menghadapi perubahan-perubahan di masa depan.
  3. Peningkatan komitmen dan kemampuan (cupability building) penyuluh sebagai penggerak kelembagan penyuluhan. Komitmen dan kemampuan tersebut akan mengantar kelembagaan penyuluhan memilki penyuluh yang kompeten dan dapat beradaptasi secara lebih luas dengan mengintegrasikan tujuan-tujuannya secara laten.
  4. Penguatan Jejaring kelembagaan penyuluhan untuk membangun fondasi daya saing pengembangan sistem Agribisnis, fondasi tersebut dapat diilustrasikan seperti yang dilihat pada Gambar 2.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Gambar 2 Sistem Agrobisnis Berdaya Saing
Gambar 2 Sistem Agrobisnis Berdaya Saing

Bagan pada Gambar 2 menjelaskan kelembagaan penyuluhan harus memperkuat jejaring dengan perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Misi nya adalah menyiapkan SDM terlatih, mengembangkan dan memanfaatkan bio/agroteknologi sebagai sumber belajar bagi sistem Agribisnis sehingga menghasil produk pembibitan, produk budidaya dan produk prosessing dan pengolahan. Misi lain adalah penguatan kelembagaan usaha yang mampu mengelola dan memasarkan produk pada tiga kelompok aktifitas yang ada pada sistem agribisnis sehingga mampu memberi nilai tambah sebelum produk-produk tersebut dipasarkan. Prinsip daya saing yang perlu diemban adalah menghasilkan produk yang berbeda, dengan biaya yang murah serta dapat direspon oleh pasar dengan lebih cepat. Semua ini bisa terlaksana bila didukung oleh kebijakan pemerintah kondusif dan anggaran yang memadai.

Kesimpulan

Konektifitas Asean/ Asia berlandaskan pada tiga pilar utama yakni, konektifitas fisik, konektifitas kelembagaan dan mobilitas masyarakatt. Konektifitas tersebut menuntut adanya kesiapan. Kelembagaan penyuluhan diharapkan menjadi kekuatan nasional dalam menggagas perubahan masyarakat dan mempersiapkan manusia pembangunan yang mampu dan dinamis. Dalam kondisi kelembagaan penyuluhan yang masih syarat dengan masalah dewasa ini tetap diharapkan berperan aktif dalam menciptakan perubahan tersebut. Untuk itu perlu dilakukan penguatan kemampuan pengorganisasian, peningkatan komitmen dan kemampuan penyuluh. Kemampuan tersebut berfungsi sebagai penggerak, dalam penguatan jejaring kelembagaan penyuluhan dengan perguruan tinggi dan lembaga penelitian dalam menciptakan SDM terlatih, beradaptasi dengan bio/agroteknologi guna menggerakkan sistem agrobisnis berdaya saing.

Sumber : UNISMUH.AC.ID

[/fusion_builder_column][/fusion_builder_row][/fusion_builder_container]

Absennya Muhammadiyah

AHMAD NAJIB BURHANI
Peneliti LIPI dan Maarif Institute

Mengapa seolah-olah pemerintahan Jokowi-JK mengabaikan Muhammadiyah dalam menyusun Kabinet Kerja 2014- 2015?

Apakah tidak ada profesional dari organisasi yang berdiri sejak 1912 ini yang layak untuk masuk dalam kabinet, termasuk di bidang kesehatan, pendidikan, dan pelayanan sosial, bidang-bidang yang telah ditekuni oleh organisasi ini selama lebih dari satu abad? Apakah pengabaian ini terjadi sebagai akibat sampingan dari survei PPIM tahun 2011 lalu, yang merilis bahwa jumlah warga Muhammadiyah di Indonesia jauh lebih kecil dari klaimnya selama ini?

Ataukah ini terjadi karena pilihan sebagian anggota organisasi ini dan partai yang berbasiskan organisasi ini pada masa kampanye presiden? Banyak pertanyaan yang berkaitan dengan absennya kader inti Muhammadiyah dalam Kabinet Kerja Jokowi- JK.

Pertanyaan-pertanyaan itu semakin deras setelah melihat ada enam kader NU (Nahdlatul Ulama) yang masuk dalam kabinet, yaitu M Hanif Dhakiri (Menteri Ketenagakerjaan), Marwan Jafar (Menteri PDT dan Transmigrasi), Imam Nahrawi (Menteri Pemuda dan Olahraga), Khofifah Indar Parawansa (Menteri Sosial), M Nasir (Menteri Ristek dan Dikti), dan Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama).

Memang ada beberapa menteri yang memiliki latar belakang Muhammadiyah seperti Siti Nurbaja (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan) atau konon direkomendasikan oleh Muhammadiyah seperti Nila F Moeloek (Menteri Kesehatan). Namun, tidak ada kader inti Muhammadiyah yang menjadi menteri.

Maksud dari kader inti di sini adalah mereka mendapat pengaderan di Muhammadiyah dan aktif dalam organisasi ini dalam masa yang cukup panjang. Sering dikatakan, beberapa menteri dari NU itu diangkat bukan karena latar belakang ke-NU-annya, melainkan karena mereka berangkat atau diusulkan oleh PKB atau PPP. Satusatunya yang tidak berangkat dari partai atau profesional adalah Khofifah Indar Parawansa yang dalam masa kampanye presiden merupakan anggota tim inti dan juru bicara Jokowi-JK.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah tidak ada orang Muhammadiyah dalam tim inti pemenangan Jokowi-JK? Ada beberapa nama dari Muhammadiyah yang masuk tim inti Jokowi-JK, seperti Rizal Sukma, Abdul Munir Mulkhan, dan Malik Fadjar. Bahkan berbeda dari Said Aqil Siradj, ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), yang secara tegas memberikan dukungan kepada Prabowo-Hatta, Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin berusaha bersikap netral selama kampanye.

Konon Rizal Sukma yang merupakan direktur eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan ketua bidang hubungan luar negeri pimpinan pusat Muhammadiyah sudah masuk sebagai calon menteri luar negeri, namun namanya dicoret pada keputusan akhir.

Apakah ini karena dia dari CSIS yang dulu dikenal sebagai think tank Orde Baru, dekat dengan kalangan Kristen, dan dekat dengan konglomerat? Jawabannya tentu ada di Jokowi dan orangorang yang terlibat dalam keputusan akhir. Dugaan lain tentang absennya Muhammadiyah di kabinet Jokowi adalah karena Partai Amanat Nasional (PAN) yang dulu kelahirannya dibidani oleh Muhammadiyah memilih berkoalisi dengan Gerindra untuk mengusung Prabowo-Hatta sebagai calon presiden dan wakil presiden.

Dan dalam beberapa survei, warga Muhammadiyah lebih banyak yang mendukung Prabowo-Hatta dari pada Jokowi-JK. Ini barangkali dugaan terkuat mengapa tidak ada orang Muhammadiyah yang menjadi menteri. Pilihan politik PAN berdampak pada Muhammadiyah. Namun demikian, mengidentikkan Muhammadiyah dengan PAN tentu tak sepenuhnya tepat mengingat hubungan keduanya tak seperti dulu lagi.

Di samping itu, kini banyak pimpinan PAN yang bukan berasal dari Muhammadiyah termasuk ketua umumnya, Hatta Rajasa. Ada lagi yang menduga, meski kemungkinannya sangat kecil, bahwa tiadanya kader inti Muhammadiyah yang menjadi menteri adalah akibat sampingan dari survei yang dikembangkan oleh The Asia Foundation (TAF), Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2010.

Dari survei yang di antaranya diterbitkan oleh Robin Bush (2014) dalam artikelnya yang berjudul “A snapshot of Muhammadiyah social change and shifting markers of identity and values “ itu, disebutkan bahwa jumlah responden yang menyatakan diri berafiliasi dengan NU berjumlah 49%, sementara yang berafiliasi dengan Muhammadiyah hanya 7,9%.

Angka ini kemudian sering dipakai untuk menarik kesimpulan bahwa warga Indonesia yang berafiliasi ke NU hampir mencapai 50%, sementara warga Indonesia yang Muhammadiyah tidak ada 10%. Kesimpulan ini kemudian dipakai sebagai alat untuk merevisi pandangan sebelumnya, yang didasarkan klaim masingmasing organisasi, bahwa beda antara jumlah warga Muhammadiyah dan NU itu hanya 10 juta orang.

Jika NU memiliki 40 juta anggota, Muhammadiyah memiliki 30 juta warga. Atau, jika 40% dari umat Islam Indonesia secara tradisi adalah warga NU, 30% orang Indonesia adalah Muhammadiyah. Sisanya adalah mengikuti organisasi lain.

Apa konsekuensi dari penelitian PPIM, TAF, dan LSI itu? Ternyata jumlah warga Muhammadiyah tidak sesignifikan yang selama ini dibayangkan. Karena itu, Muhammadiyah bisa diabaikan dalam pembentukan kabinet. Tidak ada keharusan mengangkat menteri dari organisasi yang jumlah warganya kurang dari 10% warga Indonesia ini.

Asumsi di atas, yang didasarkan pada jumlah kepala, tentu tak sejalan dengan kontribusi yang diberikan oleh Muhammadiyah kepada bangsa ini. Di Jawa Timur, misalnya, meski warga Muhammadiyah jauh lebih kecil dari NU, organisasi ini telah menyumbangkepada bangsadalam bentuk pendirian sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, pusat pelayanan sosial hampir di setiap kota dari propinsi itu.

Belum lagi jumlah sekolah, rumah sakit pusat pelayanan sosial yang diberikan oleh Muhammadiyah di provinsi- provinsi lain di Indonesia. Persoalan lain yang berkaitan dengansurvei itu adalah berkaitan dengan metode, kebenaran data, dan kesimpulan. Jika diasumsikan semuanya benar, kemudian pertanyaannya adalah berkaitan dengan perbedaan karakter warga dan organisasi.

NU lebih merupakan budaya, sementara Muhammadiyah adalah organisasi. Orang yang melaksanakan tradisi NU seperti selamatan dan tahlilan akan dengan mudah mengasosiasikan dirinya dengan NU. Sementara di Muhammadiyah, orang yang tidak menjadi pengurus organisasi atau pernah sekolah di Muhammadiyah kadang enggan mengidentifikasi diri sebagai bagian dari Muhammadiyah.

Jadi, meski orang terus menduga-duga tentang absennya Muhammadiyah di kabinet, satu hal yang saya yakin adalah bahwa Muhammadiyah akan terus mengabdi kepada negeri ini meski tak ada anggotanya yang menjadi menteri. Sementara dari pihak Jokowi-JK, keputusan tak memasukkan orang Muhammadiyah adalah sikap kurang mengapresiasi kontribusi organisasi ini untuk bangsa.

Sumber tulisan KLIK DISINI

Dr. Suwarno MSi : “Indonesia Supermarketnya Bencana”

Salah seorang dosen di Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) memahami bahwa Indonesia merupakan supermarketnya bencana alam. Pemikirannya berdasarkan dari letak Indonesia yang berada di pertemuan empat lempeng tektonik dunia, yaitu lempeng euro Asia di utara, lempeng Indo-Australia di selatan, lempeng Filipina serta Samudera Pasifik di timur. Sudah sejak lama, Dr. Suwarno, MSi, dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Program Studi Penddikan Geografi UMP menekankan tingginya kerawanan bencana alam di Indonesia.

Ketertarikan terhadap bencana diawali dari hobinya ketika remaja yang senang mendaki gunung. Kedekatannya dengan alam menjadi tidak terbatas. Hal itu semakin menjadi ketika ia memilih latar belakang pendidikan yang juga tidak jauh dari alam, mulai dari jenjang strata 1 hingga gelar doktoralnya. Ia mendedikasikan dirinya sebagai salah satu staf pengajar di UMP yang sudah lebih dari 20 tahun. Suwarno menilai gunung api, gempa bumi, banjir, tsunami, tanah longsor dan lainnya adalah gambaran nyata dari bencana alam yang menjadi agenda tahunan Indonesia. Satu diantaranya menjadi perhatian Suwarno, tanah longsor. Suwarno memiliki ketertarikan besar pada bencana ini. Tidak sedikit juga jurnal, tulisan dan penelitiannya yang mengupas tentang tanah longsor. Suwarno memfokuskan diri pada pengelolaan lahan rawan longsor. Menekankan perlunya pemahaman masyarakat mengenai karakteristik lahan rawan bencana dan tidak rawan bencana.

Alumni pascasarjana Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada ini memahami dorongan memenuhi kebutuhan hidup dari perilaku masyarakat seringkali melupakan kelestarian lingkungan. “Padahal  ketidaktepatan perilaku masyarakat dalam mengelola lahan bisa memicu kejadian longsor lahan,” katanya. Menurutnya masyarakat perlu memahami kelas kerawanan longsor lahan, karakateristik dan model konseptual pengelolaan lahan yang tepat.

Suwarno meyakinkan agar tidak ada pemukiman di daerah yang rawan longsor. “Meskipun semua tempat sebenarnya rawan, paling tidak tingkat kerawanannya perlu dikaji. Jika tingkatnya masih rendah tidak bermasalah, “ tuturnya. Landasan pemikiran Suwarno ini bukan sebatas acap jempol,  semuanya merupakan hasil penelitian Suwarno dari beberapa daerah di Kabupaten Banyumas, mulai dari Pekuncen, Gumelar, Somagede hingga Ajibarang. Tidak sedikit hasil penelitiannya yang menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah Kabupaten Banyumas. Bahkan, belum lama ini Suwarno menyerahkan “peta resiko” bencana ke dinas pemerintah, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

Suwarno pun aktif turun ke masyarakat untuk melakukan sosialisasi. Ia memastikan, dari 27 Kecamatan di Kabupaten Banyumas, ada 14 kecamatan yang rawan longsor lahan. “Masyarakat Banyumas memerlukan pendidikan mitigasi bencana yang sifatnya continue. Masuk pada kurikulum sekolah.“ Menurutnya, dengan adanya pendidikan mitigasi bencana sejak dini maka informasi bencana akan bersifat terus menerus, bisa merubah perilaku masyarakat. “Jika hanya diberi pelatihan, tidak dapat merubah perilaku, perlu yang lebih sistemasis dan berkesinambungan,“ imbuhnya. Masih menurutnya, pendidikan mitigasi bencana sejak dini sangat diperlukan bagi negara yang memiliki letak geografis rawan dari bencana. Kewaspadaan masyarakat di daerah rawan bencana harus lebih tinggi, insan akademik harus ambil peran aktif. Di sela-sela mengajar, Suwarno aktif ikut berbagai kegiatan mitigasi bencana. Nampaknya, kecintaannya pada bencana tidak nanggung. Ia bahkan menargetkan ingin menjadi guru besar di bidang Geografi. “Ini menjadi semangat hidup saya. Jangan pernah berhenti mencari ilmu,“ pesannya. (Pra)

Sumber : www.ump.ac.id

Pembelajaran Berbasis Lesson Study

Mulai semester genap 2010/2011 Jurusan Pendidikan MIPA FKIP UMM yaitu Prodi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Matematika melaksanakan Pembelajaran Berbasis Lesson study. Hal ini merupakan implementasi dari program yang dikembangkan oleh DIKTI melalui program HIBAH LESSON STUDY. JPMIPA FKIP UMM merupakan salah satu pilot project. Kerjasama dengan DIKTI minimal akan berlangsung selama 3 tahun.

Sebagai permulaan, pada hariu selasa tanggal 17 Februari 2011  diadakan SOSIALISASI DAN LOKAKARYA PEMBELAJARAN LESSON STUDY DI RUANG SIDANG FKIP GKB I RUANG 614. Pembicara Sosialisasi dan Lokakarya adalah DR. IBROHIM, M.Sc (PERWAKILAN DIKTI DARI UM).  Acara diikuti oleh seluruh dosen dilingkungan JMIPA FKIP UMM dan dosen dilingkungan FKIP serta perwakilan sekolah-sekolah mitra.

APA itu Lesson Study?

Konsep dan praktik Lesson Study pertama kali dikembangkan oleh para guru pendidikan dasar di Jepang, yang dalam bahasa Jepang-nya disebut dengan istilah kenkyuu jugyo. Adalah Makoto Yoshida, orang yang dianggap berjasa besar dalam mengembangkankenkyuu jugyo di Jepang. Keberhasilan Jepang dalam mengembangkan Lesson Studytampaknya mulai diikuti pula oleh beberapa negara lain, termasuk di Amerika Serikat yang secara gigih dikembangkan dan dipopulerkan oleh Catherine Lewis yang telah melakukan penelitian tentang Lesson Study di Jepang sejak tahun 1993. Sementara di Indonesia pun saat ini mulai gencar disosialisasikan untuk dijadikan sebagai sebuah model dalam rangka meningkatkan proses pembelajaran siswa, bahkan pada beberapa sekolah sudah mulai dipraktikkan. Meski pada awalnya, Lesson Study dikembangkan pada pendidikan dasar, namun saat ini ada kecenderungan untuk diterapkan pula pada pendidikan menengah dan bahkan pendidikan tinggi.

Lesson Study bukanlah suatu strategi atau metode dalam pembelajaran, tetapi merupakan salah satu upaya pembinaan untuk meningkatkan proses pembelajaran yang dilakukan oleh sekelompok guru secara kolaboratif dan berkesinambungan, dalam merencanakan, melaksanakan, mengobservasi dan melaporkan hasil pembelajaran. Lesson Study bukan sebuah proyek sesaat, tetapi merupakan kegiatan terus menerus yang tiada henti dan merupakan sebuah upaya untuk mengaplikasikan prinsip-prinsip dalam Total Quality Management, yakni memperbaiki proses dan hasil pembelajaran siswa secara terus-menerus, berdasarkan data. Lesson Study merupakan kegiatan yang dapat mendorong terbentuknya sebuah komunitas belajar (learning society) yang secara konsisten dan sistematis melakukan perbaikan diri, baik pada tataran individual maupun manajerial. Slamet Mulyana (2007) memberikan rumusan tentang Lesson Study sebagai salah satu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan pada prinsip-psrinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar. Sementara itu, Catherine Lewis (2002) menyebutkan bahwa:

“lesson study is a simple idea. If you want to improve instruction, what could be more obvious than collaborating with fellow teachers to plan, observe, and reflect on lessons? While it may be a simple idea, lesson study is a complex process, supported by collaborative goal setting, careful data collection on student learning, and protocols that enable productive discussion of difficult issues”.

Bill Cerbin & Bryan Kopp mengemukakan bahwa Lesson Study memiliki 4 (empat) tujuan utama, yaitu untuk : (1) memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana siswa belajar dan guru mengajar; (2) memperoleh hasil-hasil tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh para guru lainnya, di luar peserta Lesson Study; (3) meningkatkan pembelajaran secara sistematis melalui inkuiri kolaboratif. (4) membangun sebuah pengetahuan pedagogis, dimana seorang guru dapat menimba pengetahuan dari guru lainnya.

Dalam tulisannya yang lain, Catherine Lewis (2004) mengemukakan pula tentang ciri-ciri esensial dari Lesson Study, yang diperolehnya berdasarkan hasil observasi terhadap beberapa sekolah di Jepang, yaitu:

Tujuan bersama untuk jangka panjang. Lesson study didahului adanya kesepakatan dari para guru tentang tujuan bersama yang ingin ditingkatkan dalam kurun waktu jangka panjang dengan cakupan tujuan yang lebih luas, misalnya tentang: pengembangan kemampuan akademik siswa, pengembangan kemampuan individual siswa, pemenuhan kebutuhan belajar siswa, pengembangan pembelajaran yang menyenangkan, mengembangkan kerajinan siswa dalam belajar, dan sebagainya.
Materi pelajaran yang penting. Lesson study memfokuskan pada materi atau bahan pelajaran yang dianggap penting dan menjadi titik lemah dalam pembelajaran siswa serta sangat sulit untuk dipelajari siswa.
Studi tentang siswa secara cermat. Fokus yang paling utama dari Lesson Studyadalah pengembangan dan pembelajaran yang dilakukan siswa, misalnya, apakah siswa menunjukkan minat dan motivasinya dalam belajar, bagaimana siswa bekerja dalam kelompok kecil, bagaimana siswa melakukan tugas-tugas yang diberikan guru, serta hal-hal lainya yang berkaitan dengan aktivitas, partisipasi, serta kondisi dari setiap siswa dalam mengikuti proses pembelajaran. Dengan demikian, pusat perhatian tidak lagi hanya tertuju pada bagaimana cara guru dalam mengajar sebagaimana lazimnya dalam sebuah supervisi kelas yang dilaksanakan oleh kepala sekolah atau pengawas sekolah.
Observasi pembelajaran secara langsung. Observasi langsung boleh dikatakan merupakan jantungnya Lesson Study. Untuk menilai kegiatan pengembangan dan pembelajaran yang dilaksanakan siswa tidak cukup dilakukan hanya dengan cara melihat dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (Lesson Plan) atau hanya melihat dari tayangan video, namun juga harus mengamati proses pembelajaran secara langsung. Dengan melakukan pengamatan langsung, data yang diperoleh tentang proses pembelajaran akan jauh lebih akurat dan utuh, bahkan sampai hal-hal yang detail sekali pun dapat digali. Penggunaan videotape atau rekaman bisa saja digunakan hanya sebatas pelengkap, dan bukan sebagai pengganti.

Berdasarkan wawancara dengan sejumlah guru di Jepang, Caterine Lewis mengemukakan bahwa Lesson Study sangat efektif bagi guru karena telah memberikan keuntungan dan kesempatan kepada para guru untuk dapat: (1) memikirkan secara lebih teliti lagi tentang tujuan, materi tertentu yang akan dibelajarkan kepada siswa, (2) memikirkan secara mendalam tentang tujuan-tujuan pembelajaran untuk kepentingan masa depan siswa, misalnya tentang arti penting sebuah persahabatan, pengembangan perspektif dan cara berfikir siswa, serta kegandrungan siswa terhadap ilmu pengetahuan, (3) mengkaji tentang hal-hal terbaik yang dapat digunakan dalam pembelajaran melalui belajar dari para guru lain (peserta atau partisipan Lesson Study), (4) belajar tentang isi atau materi pelajaran dari guru lain sehingga dapat menambah pengetahuan tentang apa yang harus diberikan kepada siswa, (5) mengembangkan keahlian dalam mengajar, baik pada saat merencanakan pembelajaran maupun selama berlangsungnya kegiatan pembelajaran, (6) membangun kemampuan melalui pembelajaran kolegial, dalam arti para guru bisa saling belajar tentang apa-apa yang dirasakan masih kurang, baik tentang pengetahuan maupun keterampilannya dalam membelajarkan siswa, dan (7) mengembangkan “The Eyes to See Students” (kodomo wo miru me), dalam arti dengan dihadirkannya para pengamat (obeserver), pengamatan tentang perilaku belajar siswa bisa semakin detail dan jelas.

Sementara itu, menurut Lesson Study Project (LSP) beberapa manfaat lain yang bisa diambil dari Lesson Study, diantaranya: (1) guru dapat mendokumentasikan kemajuan kerjanya, (2) guru dapat memperoleh umpan balik dari anggota/komunitas lainnya, dan (3) guru dapat mempublikasikan dan mendiseminasikan hasil akhir dari Lesson Study. Dalam konteks pendidikan di Indonesia, manfaat yang ketiga ini dapat dijadikan sebagai salah satu Karya Tulis Ilmiah Guru, baik untuk kepentingan kenaikan pangkat maupun sertifikasi guru.

Terkait dengan penyelenggaraan Lesson Study, Slamet Mulyana (2007) mengetengahkan tentang dua tipe penyelenggaraan Lesson Study, yaitu Lesson Study berbasis sekolah danLesson Study berbasis MGMP. Lesson Study berbasis sekolah dilaksanakan oleh semua guru dari berbagai bidang studi dengan kepala sekolah yang bersangkutan. dengan tujuan agar kualitas proses dan hasil pembelajaran dari semua mata pelajaran di sekolah yang bersangkutan dapat lebih ditingkatkan. Sedangkan Lesson Study berbasis MGMP merupakan pengkajian tentang proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh kelompok guru mata pelajaran tertentu, dengan pendalaman kajian tentang proses pembelajaran pada mata pelajaran tertentu, yang dapat dilaksanakan pada tingkat wilayah, kabupaten atau mungkin bisa lebih diperluas lagi.

Dalam hal keanggotaan kelompok, Lesson Study Reseach Group dari Columbia Universitymenyarankan cukup 3-6 orang saja, yang terdiri unsur guru dan kepala sekolah, dan pihak lain yang berkepentingan. Kepala sekolah perlu dilibatkan terutama karena perannya sebagai decision maker di sekolah. Dengan keterlibatannya dalam Lesson Study, diharapkan kepala sekolah dapat mengambil keputusan yang penting dan tepat bagi peningkatan mutu pembelajaran di sekolahnya, khususnya pada mata pelajaran yang dikaji melalui Lesson Study. Selain itu, dapat pula mengundang pihak lain yang dianggap kompeten dan memiliki kepedulian terhadap pembelajaran siswa, seperti pengawas sekolah atau ahli dari perguruan tinggi.

Tahapan-Tahapan Lesson Study

Berkenaan dengan tahapan-tahapan dalam Lesson Study ini, dijumpai beberapa pendapat. Menurut Wikipedia (2007) bahwa Lesson Study dilakukan melalui empat tahapan dengan menggunakan konsep Plan-Do-Check-Act (PDCA). Sementara itu, Slamet Mulyana (2007) mengemukakan tiga tahapan dalam Lesson Study, yaitu : (1) Perencanaan (Plan); (2) Pelaksanaan (Do) dan (3) Refleksi (See). Sedangkan Bill Cerbin dan Bryan Kopp dariUniversity of Wisconsin mengetengahkan enam tahapan dalam Lesson Study, yaitu:

Form a Team: membentuk tim sebanyak 3-6 orang yang terdiri guru yang bersangkutan dan pihak-pihak lain yang kompeten serta memilki kepentingan dengan Lesson Study.
Develop Student Learning Goals: anggota tim memdiskusikan apa yang akan dibelajarkan kepada siswa sebagai hasil dari Lesson Study.
Plan the Research Lesson: guru-guru mendesain pembelajaran guna mencapai tujuan belajar dan mengantisipasi bagaimana para siswa akan merespons.
Gather Evidence of Student Learning: salah seorang guru tim melaksanakan pembelajaran, sementara yang lainnya melakukan pengamatan, mengumpulkan bukti-bukti dari pembelajaran siswa.
Analyze Evidence of Learning: tim mendiskusikan hasil dan menilai kemajuan dalam pencapaian tujuan belajar siswa
Repeat the Process: kelompok merevisi pembelajaran, mengulang tahapan-tahapan mulai dari tahapan ke-2 sampai dengan tahapan ke-5 sebagaimana dikemukakan di atas, dan tim melakukan sharing atas temuan-temuan yang ada.

Untuk lebih jelasnya, dengan merujuk pada pemikiran Slamet Mulyana (2007) dan konsepPlan-Do-Check-Act (PDCA), di bawah ini akan diuraikan secara ringkas tentang empat tahapan dalam penyelengggaraan Lesson Study

1. Tahapan Perencanaan (Plan)

Dalam tahap perencanaan, para guru yang tergabung dalam Lesson Study berkolaborasi untuk menyusun RPP yang mencerminkan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Perencanaan diawali dengan kegiatan menganalisis kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran, seperti tentang: kompetensi dasar, cara membelajarkan siswa, mensiasati kekurangan fasilitas dan sarana belajar, dan sebagainya, sehingga dapat ketahui berbagai kondisi nyata yang akan digunakan untuk kepentingan pembelajaran. Selanjutnya, secara bersama-sama pula dicarikan solusi untuk memecahkan segala permasalahan ditemukan. Kesimpulan dari hasil analisis kebutuhan dan permasalahan menjadi bagian yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan RPP, sehingga RPP menjadi sebuah perencanaan yang benar-benar sangat matang, yang didalamnya sanggup mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi selama pelaksanaan pembelajaran berlangsung, baik pada tahap awal, tahap inti sampai dengan tahap akhir pembelajaran.

2. Tahapan Pelaksanaan (Do)

Pada tahapan yang kedua, terdapat dua kegiatan utama yaitu: (1) kegiatan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh salah seorang guru yang disepakati atau atas permintaan sendiri untuk mempraktikkan RPP yang telah disusun bersama, dan (2) kegiatan pengamatan atau observasi yang dilakukan oleh anggota atau komunitas Lesson Study yang lainnya (baca: guru, kepala sekolah, atau pengawas sekolah, atau undangan lainnya yang bertindak sebagai pengamat/observer)

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam tahapan pelaksanaan, diantaranya:

Guru melaksanakan pembelajaran sesuai dengan RPP yang telah disusun bersama.
Siswa diupayakan dapat menjalani proses pembelajaran dalam setting yang wajar dan natural, tidak dalam keadaan under pressure yang disebabkan adanya program Lesson Study.
Selama kegiatan pembelajaran berlangsung, pengamat tidak diperbolehkan mengganggu jalannya kegiatan pembelajaran dan mengganggu konsentrasi guru maupun siswa.
Pengamat melakukan pengamatan secara teliti terhadap interaksi siswa-siswa, siswa-bahan ajar, siswa-guru, siswa-lingkungan lainnya, dengan menggunakan instrumen pengamatan yang telah disiapkan sebelumnya dan disusun bersama-sama.
Pengamat harus dapat belajar dari pembelajaran yang berlangsung dan bukan untuk mengevalusi guru.
Pengamat dapat melakukan perekaman melalui video camera atau photo digital untuk keperluan dokumentasi dan bahan analisis lebih lanjut dan kegiatan perekaman tidak mengganggu jalannya proses pembelajaran.
Pengamat melakukan pencatatan tentang perilaku belajar siswa selama pembelajaran berlangsung, misalnya tentang komentar atau diskusi siswa dan diusahakan dapat mencantumkan nama siswa yang bersangkutan, terjadinya proses konstruksi pemahaman siswa melalui aktivitas belajar siswa. Catatan dibuat berdasarkan pedoman dan urutan pengalaman belajar siswa yang tercantum dalam RPP.

3. Tahapan Refleksi (Check)

Tahapan ketiga merupakan tahapan yang sangat penting karena upaya perbaikan proses pembelajaran selanjutnya akan bergantung dari ketajaman analisis para perserta berdasarkan pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran yang telah dilaksanakan. Kegiatan refleksi dilakukan dalam bentuk diskusi yang diikuti seluruh peserta Lesson Study yang dipandu oleh kepala sekolah atau peserta lainnya yang ditunjuk. Diskusi dimulai dari penyampaian kesan-kesan guru yang telah mempraktikkan pembelajaran, dengan menyampaikan komentar atau kesan umum maupun kesan khusus atas proses pembelajaran yang dilakukannya, misalnya mengenai kesulitan dan permasalahan yang dirasakan dalam menjalankan RPP yang telah disusun.

Selanjutnya, semua pengamat menyampaikan tanggapan atau saran secara bijak terhadap proses pembelajaran yang telah dilaksanakan (bukan terhadap guru yang bersangkutan). Dalam menyampaikan saran-saranya, pengamat harus didukung oleh bukti-bukti yang diperoleh dari hasil pengamatan, tidak berdasarkan opininya. Berbagai pembicaraan yang berkembang dalam diskusi dapat dijadikan umpan balik bagi seluruh peserta untuk kepentingan perbaikan atau peningkatan proses pembelajaran. Oleh karena itu, sebaiknya seluruh peserta pun memiliki catatan-catatan pembicaraan yang berlangsung dalam diskusi.

4. Tahapan Tindak Lanjut (Act)

Dari hasil refleksi dapat diperoleh sejumlah pengetahuan baru atau keputusan-keputusan penting guna perbaikan dan peningkatan proses pembelajaran, baik pada tataran indiividual, maupun menajerial.

Pada tataran individual, berbagai temuan dan masukan berharga yang disampaikan pada saat diskusi dalam tahapan refleksi (check) tentunya menjadi modal bagi para guru, baik yang bertindak sebagai pengajar maupun observer untuk mengembangkan proses pembelajaran ke arah lebih baik.

Pada tataran manajerial, dengan pelibatan langsung kepala sekolah sebagai peserta Lesson Study, tentunya kepala sekolah akan memperoleh sejumlah masukan yang berharga bagi kepentingan pengembangan manajemen pendidikan di sekolahnya secara keseluruhan. Kalau selama ini kepala sekolah banyak disibukkan dengan hal-hal di luar pendidikan, dengan keterlibatannya secara langsung dalam Lesson Study, maka dia akan lebih dapat memahami apa yang sesungguhnya dialami oleh guru dan siswanya dalam proses pembelajaran, sehingga diharapkan kepala sekolah dapat semakin lebih fokus lagi untuk mewujudkan dirinya sebagai pemimpin pendidikan di sekolah.

(Info tentang Lesson study dikutip dari Akhmad Sudrajat).

Sumber : www.umm.ac.id

MKU Berbasis KKNI, Fokuskan Pendidikan Karakter

[fusion_builder_container hundred_percent=”yes” overflow=”visible”][fusion_builder_row][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Kepala Biro Administrasi Akademik (BAA) Dr Dwi Priyo Utomo MPd
Kepala Biro Administrasi Akademik (BAA) Dr Dwi Priyo Utomo MPd

Mata kuliah pengembangan kepribadian (MPK) dan mata kuliah berkehidupan bermasyarakat (MBB) dipandang memiliki peran sangat strategis dalam membentuk karakter mahasiswa yang beradab dan berilmu pengetahuan yang mumpuni. Demikian pernyataan dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dr Sugiarti MSi pada kegiatan rekonstruksi pembelajaran MPK dan MBB berbasis Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang berlangsung di Ruang Sidang Senat UMM, Selasa (19/8).
Continue reading “MKU Berbasis KKNI, Fokuskan Pendidikan Karakter”

PENDEKATAN BARU OSPEK

Prof. Suyanto, Ph.D *)

Minggu pertamaSeptember 2014, tahun ajaran baru bagi pendidikan tinggi akan dimulai. Minggu-minggu ini perguruan tinggi  mulai menyelenggarakan tradisi Orientasi Studi dan PengenalanKampus (OSPEK). Dari tahun ke tahun OSPEK selalu membawa banyak cerita dankeluh kesah di kalangan mahasiswa baru. Bahkan OSPEK telah memiliki sejarahhitam karena sempat membawa korban kematian mahasiswa baru di beberapaperguruan tinggi. Sebagai lembaga pendidikan tinggi seharusnya tidak mentoleriradanya bencana kematian seperti itu. Perguruan tinggi harus mampu melindungipara mahasiswa baru dari tingkah laku panitia OSPEK dari unsur mahasiswa yangbiasanya melibatkan organisasi intra kemahasiswaan. Di era global seperti saatini seharusnya OSPEK di perguruan tinggi dilakukan dengan cara-cara yang lebih mendidik. Continue reading “PENDEKATAN BARU OSPEK”

REVITALISASI MODAL SOSIAL

Oleh: Prof.Suyanto, Ph.D


Liburan Hari Raya Idul Fitri dan cuti bersama masih kita nikmati. Dalam liburan dancuti bersama yang baru lalu itu ada fenomena nasional yang sangat unik, yaitu berupamobilitas orang dalam jumlah puluhan juta. Mungkin fenomena ini merupakan satu-satunyadi dunia di mana terjadi pergerakan manusia dalam jumlah puluhan juta daripusat-pusat kota ke kampung halaman di berbagai pelosok tanah air. Apa dampakyang biasa ditonjolkan oleh sistem kepegawaian di berbagai institusi  dan pranata sosial selama ini baik melaluimedia maupun sistem organisasi suatu institusi? Continue reading “REVITALISASI MODAL SOSIAL”

Peran Sastra dalam Pendidikan Karakter

FORUM APRESIASI SASTRA KE-36 KKN UAD:

Ki Hajar Dewantoro telah merumuskan bagaimana pendidikan harus dilakukan untuk membentuk karakter. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendiri Tamansiswa, tujuan pendidikan adalah “penguasaan diri” sebab pendidikan bertujuan untuk memanusiawikan manusia (humanisasi). Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa.  Menurut Prof. Dr. Siti Chamamah, mantan Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, pendidikan karakter bukan hanya memakai ukuran manusia sebagaimana dirumuskan oleh Ki Hajar Dewantoro, tetapi berdasarkan pada tuntunan Islam.

Manusia adalah ciptaan Allah swt, sehingga seluruh pemikiran, cara pandang, sikap, dan perilaku yang ditampilkan harus berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan.  Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, harus dibangun karakter bangsa yang memiliki akhlak mulia, yaitu amanah, tabligh, dan siddiq. Demikian dikemukakan Jabrohim, Kepala Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan dalam sambutan pada pembukaan Forum Apresiasi Sastra ke-36 bertema Peran Sastra dalam Pendidikan Karakter Rabu, 23 Juli 2014.

Lebih lanjut Jabrohim mengatakan bahwa keunggulan karakter terbentuk dari adanya keutuhan antara aspek intelektual, emosional, sosial, serta moral dan spiritual. Karakter terbentuk melalui proses yang panjang dan melibatkan beberapa komponen penting antara lain orang tua, sekolah/pendidik, lingkungan masyarakat, budaya, serta sistem pemerintahan yang ada. Komponen-komponen tersebut memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam menentukan baik atau buruknya karakter bangsa. Hambatan atau permasalahan  yang terkait dengan karakter dapat memunculkan hambatan perilaku dan akan berdampak  negatif  terhadap lingkungan bahkan dapat menjadikan manusia tidak memiliki martabat sebagai manusia.

Dikemukakan pula oleh Jabrohim yang juga Wakil Ketua Pengurus Pusat Himpunan Sarjana-Kesusastraan itu bahwa dewasa ini telah terjadi penurunan kualitas karakter bangsa hingga mencapai  titik rendah yang sangat memprihatinkan. Gejala yang terlihat antara lain adalah meningkatnya kekerasan di masyarakat, kejujuran yang diselewengkan, menurunnya sikap hormat pada orangtua, guru maupun pemimpin, meningkatnya konflik dan kebencian, memburuknya pemakaian bahasa, rendahnya etos kerja, rendahnya rasa tanggung jawab, meningkatnya perilaku perusakan diri serta kaburnya pedoman moral. Keadaan

Mengakhiri sambutannya, Jabrohim menegaskan bahwa upaya untuk mengatasi keprihatinan tersebut diantaranya dapat dilakukan dengan  membangun, memperbaiki, dan mempertahankan karakter melalui pemikiran, rancangan, manajemen, strategi, serta kerja yang simultan. Strategi yang digunakan harus melihat dari berbagai sudut pandang kasus. Dalam bentuk preventif berarti membangun sejak awal terbentuknya karakter, melakukan treatment yakni mengatasi permasalahan yang telah terjadi, serta maintenance untuk mempertahankan agar karakter tidak rusak yakni dengan melakukan penjagaan.

Pendidikan karakter harus diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan agar seorang anak memiliki kecerdasan emosi, yang merupakan bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan. Dengan memiliki kecerdasan emosi yang baik seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan. Kegiatan forum apresiasi sastra yang dilakukan oleh para mahasiswa Kuliah Kerja Nyata Universitas Ahmad Dahlan ini merupakan upaya membangun kecerdasan emosi dan kreativitas. Oleh karena itu perlu dilanjutkan dengan dirancang dan dilakukan secara sistematis.

Sumber : www.uad.ac.id

KEBIJAKAN PEMBELAJARAN AIK DI PTM -2

Bagian Kedua

Pada bagian pertama dikemukakan tentang visi pendidikan Muhammadiyah, permasalahan pembelajaran AIK dan perlunya rekonstruksi filosofis: ontologis dan aksiologis. Pada bagian kedua ini akan dikemukakan tentang rekonstruksi kurikulum, model pembelajaran dan rekomendasi kebijakan pendidikan AIK. Continue reading “KEBIJAKAN PEMBELAJARAN AIK DI PTM -2”