Muhammadiyah dalam membendung arus kristenisasi bisa dikatakan cukup unik. Jika saat ini umumnya banyak muncul pemikiran bahwa untuk membendung arus kristenasi dilakukan dengan melibatkan amarah, namun berbeda halnya dengan KH. Ahmad Dahlan. Tokoh pendiri Organisasi Muhammadiyah ini, membendung arus kristenisasi melalui gerakan-gerakan pembaruan di bidang pendidikan.
Hal tersebut sebagai tertuang dalam buku “Membendung Arus, Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia”, karya Dr. Alwi Shihab. Dalam bukunya yang di-relaunching pada Kamis (20/10) di Amphi Teater Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Alwi menjelaskan upaya KH. Ahmad Dahlan dalam mencerdaskan umat Islam melalui pembaruan pendidikan kurang mendapat perhatian dari para pengamat dan ilmuwan. Padahal, pembaruan di bidang pendidikan yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan dengan membuat sekolah yang memiliki kualitas setara dengan sekolah milik negara maju tersebut adalah strategi untuk membendung arus kristenisasi yang berawal di Jawa dan sekitarnya.
“Cara Ahmad Dahlan dalam membendung arus kristenisasi seperti ini belum diketahui banyak orang. Muhammadiyah yang dipimpin oleh Ahmad Dahlan saat itu membendung arus kristenisasi dengan cara bersaing secara sehat tanpa menebar benih permusuhan dengan pihak kristen. Karena saat itu Muhammadiyah memiliki empat misi yang dijalankan, yaitu pembaruan agama, perubahan sosial, kekuatan politik, serta pembendung kristenisasi. Dalam pembaruan agama, Muhammadiyah tertuju kepada tradisionalisme Islam dan Jawaisme. Maka tiga peran yang lain termasuk pembendung kristenisasi ditujukan kepada modernisme kolonial, khususnya di bidang pendidikan,” papar Dr. Alwi.
Dr. Alwi melanjutkan, tulisan yang merupakan hasil penelitiannya di studi lanjut program doktor Universitas Temple, Amerika Serikat tersebut menjelaskan bahwa strategi Muhammadiyah dalam membendung arus kristenisasi yaitu dengan melakukan pembaruan melalui persaingan kelas. Bentuk persaingan kelas yang dilakukan oleh Muhammadiyah adalah dengan membangun pendidikan modern yang tetap bertumpu pada Al-Qur’an dan Aqidah Islam. “Untuk membendung kristenisasi ini, Muhammadiyah tidak melibatkan kekerasan fisik, namun melalui strategi pembangunan pendidikan yang justru belum banyak diketahui orang, seperti pendirian sekolah modern yang sejajar dengan kualitas bangsa Barat, karena saat itu belum ada sekolah modern yang ada hanya sekolah tradisional (pesantren) yang masih dianggap kolot oleh Kolonial dan dianggap belum mengikuti zaman. Amal usaha Muhammadiyah inilah yang menjadi bentuk kemandirian dan kemajuan Islam saat ini,” jelasnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie selaku salah satu pembicara dalam diskusi buku tersebut. Prof. Jimly mengungkapkan perlunya belajar dari perkembangan Muhammadiyah yang menjadi organisasi terbesar di dunia. Dalam pemaparannya, Muhammadiyah dinilai efektif dalam berorganisasi, serta memiliki ideologi yang membuat keluarga besar Muhammadiyah memiliki partisipasi yang kuat.
“Sekarang kita sedang menghadapi neoliberal di segala bidang. Seperti yang paling berdampak adalah kondisi yang berakibat pada perebutan kekuasaan, dan dalam pencapaian segala bidang berdasarkan oleh materi. Buku yang ditulis oleh Dr. Alwi ini memberikan gambaran terkait rasional dalam beragama, dan tidak terlalu retorika sehingga dengan mudahnya mengumbar amarah. Kita perlu belajar dari Muhammadiyah dalam menghadapi kasus-kasus yang sedang berlangsung saat ini. Semoga dapat menyadarkan para aktifis dan intelektual untuk belajar dari Kh. Ahmad Dahlan, yaitu bersaing dengan cara yang sehat,” ujar Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia tersebut.
Sumber : www.umy.ac.id