Menjadi tamu undangan pemerintah Amerika Serikat selama hampir sebulan, merupakan pengalaman menarik tersendiri yang mengesankan Drs. H. Bulkani, M.Pd, Rektor Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, yang diundang Kementerian Luar negeri Amerika Serikat melalui program IVLP, bersama dengan Dr. Gusti Arya (Ketua Sukarno Center di Bali) dan Siti Arita Rifai (Dosen dan aktivis perempuan dari Tanjung Pinang Riau). Berikut beberapa catatan penting hasil kunjungan bertajuk Changing Face of Education in the US : Training a Skilled Workforce tersebut.
[fusion_builder_container hundred_percent=”yes” overflow=”visible”][fusion_builder_row][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]
IVLP (International Visitor Leadership Program) adalah program yang dicanangkan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat untuk mengundang para pemimpin Negara lain untuk belajar tentang Amerika Serikat selama beberapa minggu, antara lain tentang masalah pendidikan, lingkungan, sosial dan politik serta budaya. Tampaknya Amerika Serikat, di bawah kepemimpinan Obama khususnya, ingin merubah citra Amerika sebagai negara yang sangar, khususnya bagi Negara-negara berpenduduk Muslim di dunia. Alumnus program ini antara lain adalah Tifatul Sembiring, Mahfud MD, dan lain-lain.
Perjalanan dimulai dari bandara Sukarno Hatta Jakarta menuju Chicago, dengan tempat transit adalah bandara Changi di Singapura dan bandara Hongkong. Total waktu yang dibutuhkan 20 jam penerbangan. Akan tetapi penerbangan yang melelahkan terbayar juga karena di bandara Chicago kami telah dijemput oleh utusan Kementerian Luar Negeri AS. Semula, sudah terbayang rumitnya pemerikasaan imigrasi di entry point tersebut, akan tetapi karena dijemput oleh orang-orang Kemenlu AS, ditemani oleh petugas imigrasi, maka proses pemeriksaan passport dan visa dipermudah. Bahkan ada juga rasa bangga sebagai tamu Kemenlu AS juga muncul, karena nama kami bertiga, disebut dan dipanggil sejak di dalam pesawat United Airways.
Menemukan Keramahan Warga AS
Salah satu ciri orang Amerika adalah keramah tamahan mereka, khususnya pada wilayah atau Negara-negara bagian yang belum banyak tercampur dengan budaya pendatang. Contohnya adalah di Washington DC. Ibukota Amerika Serikat dengan populasi sekitar 600.000 jiwa ini (diluar populasi pada kota Maryland dan Virginia yang hanya berbatas sungai dengan Washington DC). Secara umum kota ini merupakan kota yang indah dan ramah, kecuali cuaca dinginnya yang ekstrim pada bulan Februari pada saat kami berkunjung. Di kota ini, kita bisa menemukan keramah tamahan mereka di manapun. Saat berada dalam lift hotel misalnya, setiap orang yang bertemu di dalam lift tersebut selalu saling menyapa, walau hanya sekedar mengucap good morning atau how are you?. Tapi tampak dari raut wajah mereka bahwa ucapan itu juga disampaikan secara tulus. Begitu pula jika kita bertemu orang-orang yang bahkan tidak kita kenal sekalipun di jalan. Hal yang sama juga akan kita temukan di kota-kota lain di USA, kecuali pada kota-kota metropolitan di wilayah pantai yang budayanya telah campur aduk.
[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]
Bentuk lain keramahan mereka adalah kesungguhan dalam melayani tamu. Setiap kami berkunjung pada sebuah kota, selalu ada anggota dari komunitas tertentu pada kota itu, yang siap melayani dan memandu tamu. Contohnya adalah di kota Rochester Negara bagian New York. Pada kota ini ada komunitas yang bernama Rochester Global Connection, sebuah organisasi nirlaba yang bertugas melayani tamu. Pemandu kami di kota ini, Josephine M. Perini namanya, adalah IVLP Director pada Rochester Global Connection tersebut. Sebagai wanita berusia sekitar 60 tahun, yang bekerja sebagai volunteer pada organisasi tersebut, termasuk wanita yang energik dalam memandu tamu. Semua kegiatan kunjungan ke lembaga pendidikan di kota Rochester telah diatur secara rapi olehnya. Demikian pula halnya pada saat kami berkunjung ke kota Pensacola di Negara bagian Florida, kami dipandu, dilayani, dan diarahkan oleh ibu Susan Senkarik, yang berasal dari organisasi nirlaba dan volunteer bernama Gulf Coast Citizen Diplomacy Council. Bahkan di kota ini, kami diterima sebagai tamu kehormatan oleh walikota Pensacola. Dalam kesempatan pertemuan itu, saya dinobatkan sebagai warga Negara kehormatan kota oleh walikota Pensacola, Mr Charles Bare.
Dalam kesempatan lain saat berkunjung ke Hawaii, kami diundang makan malam oleh mantan Dutabesar Amerika Serikat untuk Asia Pasifik, (yang juga mantan duta besar AS di China, Taiwan, Thailand, Bangladesh, Nepal dan Pakistan), yakni ibu Lauren Kahia Moriarty. Ibu duta besar bahkan memasak sendiri masakan khas Hawaii. Bahkan setelah makan malam, beliau berkenan menarikan beberapa tarian Hawaii untuk kami. Pada saat yang sama juga, ibu Maya Soetoro, adik tiri presiden Obama, bersusah payah ikut bergabung dengan kami hanya untuk bertemu dengan orang Indonesia.
Pengalaman seperti itu telah berhasil merubah persepsi kami tentang warga Amerika Serikat. Pada awalnya, kami bertiga membayangkan bahwa warga Amerika adalah orang-orang individualis yang sombong dan tidak peduli pada orang lain. Ternyata setelah berinteraksi dengan mereka, persepsi itu berubah seratus delapanpuluh derajat.
Kekuatan komunitas
Menarik untuk membahas betapa kuatnya peran suatu komunitas di Amerika Serikat, khususnya dalam menunjang proses pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Sistem pendidikan di Amerika Serikat saat ini mengarah pada pembentukan skill melalui akademi komunitas (community college). Sebagian besar kota yang kami kunjungi, memiliki banyak akademi komunitas untuk menunjang sistem pendidikan utama. Untuk pendidikan tinggi misalnya, pola pendidikan yang diterapkan adalah pola 2+2, artinya setamat sekolah menengah (high school), siswa akan diarahkan untuk masuk ke akademi komunitas dengan lama program 2 tahun, baru kemudian tamatan akademi komunitas diarahkan untuk melanjutkan pendidikan ke universitas selama 2 tahun untuk program sarjana. Dengan model seperti ini, diharapkan mahasiswa memiliki dua keunggulan, yakni memiliki skill tertentu sekaligus memiliki keunggulan akademik. Bahkan pada beberapa sekolah menengah, seperti di Eastern Monroe Career Center di Rochester, siswa-siswa SMU diberi kebebasan untuk mengambil pelajaran keterampilan yang mereka minati, seperti kuliner, pertukangan, perbengkelan, sebagai kegiatan ekstra kurikuler di sela-sela mereka bersekolah.
Akademi komunitas di Amerika Serikat dibentuk atas kolaborasi antara para pendidik di sekolah dan universitas, dengan komunitas masyarakat tertentu. Misalnya di negara bagian Hawaii, komunitas perhotelan dan kuliner bekerjasama dengan University of Hawaii membentuk Kapiolani Community College. Dengan demikian telah terjadi simbiosis mutualisme antara dunia industri dan dunia pendidikan. Dunia pendidikan menyiapkan tenaga tenaga terampil yang dibutuhkan oleh dunia industri, sementara dunia industri bisa membantu pendanaan, desain kurikulum, dan penyaluran lulusan ke dunia kerja. Hal yang sama juga banyak ditemukan pada akademi komunitas di negara bagian lain. Kelebihan utama warga Amerika adalah tingginya kepedulian dunia industri terhadap dunia pendidikan. Menurut mereka, hal itu terbentuk dari adanya kepercayaan dunia industri terhadap sistem pendidikan yang berkualitas, dan juga karena kuatnya kepemimpinan di lembaga pendidikan. Saya hanya membayangkan bagaimana jika di Indonesia akademi komunitas tumbuh karena inisiatif dari komunitas industri, bukan semata-mata inisiatif dari dunia pendidikan.
Sistem Pajak yang Menunjang Pendidikan
Salah satu hal yang menarik adalah tentang penerapan sistem pajak berlapis sebagai kewajiban setiap warga Negara Amerika. Setiap warga Negara umumnya dikenai 3 jenis pajak, yakni pajak untuk federal, pajak state, dan pajak property (atau PBB di Indonesia). Selain itu juga berlaku pajak pertambahan nilai seperti untuk restoran dan hotel. Besaran pajak berbeda-beda pada setiap Negara bagian, akan tetapi secara umum setiap warga Negara Amerika Serikat akan menghabiskan 25-30% penghasilannya untuk 3 jenis pajak tersebut. Yang lebih menarik adalah bahwa, sebagian besar dana pajak yang dikumpulkan dari warga Negara pada suatu Negara bagian, akan digunakan untuk menunjang proses pendidikan anak-anak pada Negara bagian tersebut, terutama untuk melengkapi fasilitas, sarana prasarana, dan unsure penunjang lainnya. Maka tidak heran fasilitas yang dimiliki sekolah dan universitas pada umumnya lebih lengkap dibanding di Negara lain.
Individualisme vs equality
Sebagai Negara Federasi, Amerika Serikat memiliki sistem nilai yang sangat mereka junjung tinggi, yakni kesamaan (equality), indvidualisme berdasarkan hak asasi, dan menghormati perbedaan. Tanpa prinsip seperti itu, saya yakin Amerika Serikat dengan 50 negara bagiannya akan bubar, mengingat luasnya wilayah dengan heterogenitas sosial budaya dan politik.
Dalam hal equality, warga Amerika tidak dibenarkan memperlakukan secara berbeda karena adanya perbedaan umur, ras, agama, dan sebagainya. Hal ini terihat antara lain pada saat kita naik pesawat udara. Jangan bayangkan kita bertemu dengan pramugari yang muda dan cantik (seperti dalam pesawat milik maskapai Asia pada umumnya). Pramugari yang melayani kita adalah mereka yang sudah berumur, karena maskapai penerbangan tidak dibenarkan memecat pegawai hanya karena umurnya sudah tua.
Contoh lain adalah penyediaan fasilitas bagi orang-orang cacat. Di setiap kota, kita akan melihat fasilitas parkir, fasilitas pendidikan, dan fasilitas sosial lainnya bagi orang-orang yang cacat secara fisik. Fasilitas ini disiapkan untuk menjamin persamaan perlakuan terhadap semua orang.
Dalam hal penghormatan terhadap perbedaan agama, kami juga menemukan dan berkunjung ke beberapa sekolah/madrasah dan institut yang dikelola oleh komunitas Muslim, khususnya di Los Angeles. Berdasarkan penuturan mereka, komunitas dan lembaga pendidikan Muslim dapat berkembang dengan baik bahkan setelah peristiwa 11 September.
Jika diamati lebih dalam tentang prinsip yang mereka anut, maka tampak bahwa ada peran antagonis antar sistem tersebut. Misalnya antara prinsip menghormati hak-hak individual (individualism) dengan prinsip equality. Di satu sisi, setiap orang menuntut agar hak-hak individunya dipenuhi oleh orang lain dan Negara, tetapi di sisi lain ia juga harus menghormati hak setiap orang dalam prinsip kesamaan. Artinya, kedua nilai itu bisa berjalan bersama jika masyarakatnya sudah memiliki kedewasaan, dan tampaknya sebagian besar warga Amerika Serikat sudah mencapai kedewasaan tersebut.
Tidak tahu di mana Indonesia?
Dalam perjalanan ke Amerika Serikat, kami mengunjungi banyak lembaga pendidikan, dari tingkat dasar, menengah, sampai perguruan tinggi. Fenomena umum yang kita temukan adalah bahwa, sebagian besar siswa dan mahasiswa bingung ketika kita perkenalkan diri sebagai warga Negara Indonesia sehingga mereka sering bertanya Indonesia itu di mana? Ada kecenderungan juga mereka lebih mengenal Bali daripada Indonesia. Saat berkunjung ke dalam kelas, sering kita dengan susah payah meminta peta dunia dan menunjukkan letak Indonesia. Kadang kami merasa sedih dengan ironi tersebut mengingat negera kita adalah negara yang luas dan besar dalam peta dunia.
Upaya untuk melakukan sosialisasi oleh Kedutaan Besar Indonesia di Amerika Serikat dan Konsulat Jenderal RI di beberapa Negara bagian, sepertinya cukup gencar dilakukan. Saat bersilaturahmi dengan Konsul Jenderal Ri di Los Angeles California, dijelaskan bahwa banyak upaya telah dilakukan untuk mengenalkan Indonesia, akan tetapi cakupannya terbatas pada orang-orang tertentu, misalnya para pejabat. Di Los Angeles bahkan ada kelompok warga Amerika yang belajar gamelan dan kesenian Indonesia lainnya. Menurut komunitas warga Indonesia di Los Angeles, banyak kegiatan digelar oleh warga Indonesia pada momen-momen tertentu, misalnya saat 17 Agustus. Tapi tampaknya upaya tersebut masih perlu ditingkatkan mengingat luasnya wilayah Negara Amerika Serikat.
Salah satu keunggulan Indonesia, selain keseniannya yang indah, adalah kulinernya. Masakan Indonesia terkenal spicy, penuh dengan bumbu dan rasa. Dibanding dengan masakan Amerika dan negara lain, makanan Indonesia jauh lebih variatif dan nikmat. Mungkin dari dunia kuliner ini Indonesia di masa dating bias lebih dikenal.
Boros sumberdaya
Tentu tidak semua tentang Amerika adalah hal yang baik. Contoh keburukannya adalah pemborosan dalam hal pemakaian sumberdaya alam. Misalnya tentang makanan. Sebagian besar negara bagian mewajibkan restoran untuk membuang makanan sisa atau yang tidak terjual, sekalipun makanan itu masih layak untuk disantap. Ada anggapan yang menyatakan bahwa memberi makanan sisa kepada orang lain adalah penghinaan. Akibatnya adalah pemborosan sumberdaya alam berupa makanan, yang pada mendatang bias jadi merupakan barang langka.
Pemborosan lain adalah energi. Dalam perjalanan mengunjungi banyak tempat di Amerika, kami hanya sedikit menemukan tempat yang menggunakan energi alternatif dan terbarukan, padahal daerah itu memungkinkan. Contohnya di Hawaii dan di Los Angeles yang sinar mataharinya melimpah, tapi hanya sedikit tempat yang menggunakan sel surya sebagai sumber energi. Artinya, dalam hal penggunaan energi alternatif dan terbarukan, Amerika tertinggal jauh dengan negara-negara Eropa. Tampaknya kampanye tentang green economy hanya sebatas jargon saja di Amerika. Saat kami berkunjung ke sebuah sekolah di Los Angeles yang katanya merupakan sekolah yang menerapkan konsep green, saya bertanya kepada pengelola sekolah, kenapa mereka tidak menggunakan sel surya sebagai sumber energi dan mencontohkannya kepada siswa, para pegelola tergagap menjawab pertanyaan saya. Ia mengatakan pada waktu yang datang akan mereka programkan.
Menjadi Lebih Cinta Indonesia
Dari keseluruhan kunjungan ke Amerika Serikat, dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya, kami bertiga sepakat bahwa kami lebih mencintai Indonesia. Andai ditawarkan untuk tinggal di sana dan menjadi warga negara Amerika, maka kami akan menolak. Negeri kita Indonesia, terlepas dari berbagai kekurangannya, merupakan anugrah Tuhan yang patut disyukuri, karena iklimnya nyaman, alamnya indah, dan terutama ini, makanannya luar biasa. Bravo Indonesia.
Penulis : Drs. H. Bulkani, M.Pd, (Rektor Universitas Muhammadiyah Palangkaraya)[/fusion_builder_column][/fusion_builder_row][/fusion_builder_container]
I just want to mention I am just beginner to blogging and really enjoyed this web blog. Likely I’m likely to bookmark your blog post . You surely have exceptional writings. Cheers for sharing with us your webpage.