Prof Dr H Haedar Nashir MSi melakukan penandatanganan kerja sama (MoU) pada Jumat (1/4) lalu. MoU tersebut antara Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Tokyo, Jepang. Pihak KBRI di Tokyo, Jepang, yakni Duta Besar Republik Indonesia (Dubes RI) untuk Jepang, Ir Heri Akhmadi, menghadiri secara virtual. Area kerja sama meliputi pelatihan kependidikan dan inisiatif kolaborasi bersama, riset, pendidikan, kolaborasi antara institusi Muhammadiyah dengan industri terkait di Jepang, dan kerja sama lainnya.
Kegiatan penandatanganan MoU dilanjutkan dengan pemberian amanat Prof Haedar Nashir melalui pemaparan Kuliah Umum. Prof Haedar menyebutkan tiga landasan demi Indonesia yang kokoh dan berkemajuan, di antaranya berpancasila, beragama, dan berbudaya. “Pancasila menjadi dasar dan ideologi negara yang sesuai dengan Indonesia juga menjadi orientasi kita bersama untuk maju. Di sisi lain, agama hendaknya tetap menjadi inspirasi Ilahiah dan kekuatan ruhaniah bangsa yang di dalamnya memiliki kebudayaan luhur sebagai karakter dan kepribadian Indonesia,” jelasnya.
Prof Haedar Nashir menyebutkan tiga pantangan ekstremitas yang hadir di tengah-tengah kita sebagai dampak dari globalisasi, postmodernisme, hingga era disrupsi. Pertama, keekstreman yang anti dengan perubahan dengan segala konsekuensinya. “Jenis keekstreman ini membuat kita menjadi bangsa yang jumud dan berpandangan miopik. Akibatnya, akan ada kecenderungan untuk menarik diri di tengah perubahan dan menjadi kelompok yang reaktif juga separatis,” papar Prof Haedar Nashir.
Kedua, jenis keekstreman yang larut dalam perubahan itu sendiri tanpa menyaring informasi yang diterima hingga menjadi radikal liberal. Ketiga, jenis keekstreman pragmatis yang membolehkan perubahan-perubahan radikal selama ada kegunaannya bagi kelompok. “Ekstremitas-ekstremitas demikian bisa-bisa menggerus kepribadian bangsa kita,” ujarnya. Pada akhir pemaparannya, Prof Haedar MSi menutup dengan menegaskan bahwa bangsa Indonesia tetap membutuhkan kemajuan untuk meningkatkan daya saing dan kualitas pendidikan, tetapi tetap perlu berbasis pada kepribadian bangsa agar tidak mencerabut akar sejarah Indonesia yang berpancasila, beragama, dan berbudaya.