Pada masa ini, internet sudah menjadi gaya hidup, bahkan telah menjadi bagian yang tidak dapat lepas dari kebutuhan manusia. Sastra pun telah terkena dampak internet. Ini dapat dilihat dari munculnya istilah-istilah baru. Salah satunya sastra cyber, yang semakin populer seiring perkembangan teknologi.
Inilah topik yang dibahas di dalam Forum Apresiasi Sastra (FAS) ke-44 pada Rabu, (11/3/2015), di hall kampus II UAD. Acara yang diadakan berkat kerja sama UAD dengan LSBO Muhammadiyah tersebut menghadirkan pembicara Fitri Merawati, M.A. yang merupakan alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UAD, dan baru saja menuntaskan pendidikan S-2 di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
FAS ke-44 ini mengangkat tema “Jelajah Sastra Cyber”. Dalam pembahasannya, Fitri mengatakan bahwa latar belakang berkembangnya sastra cyber adalah teknologi. Di Indonesia, hal ini dimulai pada 1990-an ditandai dengan terbitnya antologi puisi cyber berjudul Graffiti Gratitude. Namun, kemunculan buku ini menuai pro dan kontra.
Dalam makalah yang ditulis, Fitri menjelaskan, Ahmadun Yosi Herfanda (Redaktur Koran Republika) pernah menulis sebuah artikel yang berjudul “Puisi Cyber, Genre atau Tong Sampah” pada 2001. Menurut Ahmadun, karya sastra cyber merupakan karya-karya yang tidak tertampung atau ditolak oleh media sastra cetak. Pendapat ini memicu pro dan kontra. Meski demikian, media cyber menjadi tempat bagi orang-orang yang memiliki semangat dan kebebasan kreatif seliar-liarnya yang selama ini tidak mendapatkan tempat selayaknya di media sastra cetak.
Wacana yang berkembang dalam sastra cyber dapat melalui perspektif wacana yang ditawarkan oleh Michel Foucault. Selain itu, sastra cyber yang hadir seiriang dengan perkembangan komputer, muncul pada akhir tahun 1980-an, yaitu berbentuk fiksi hypertext dan hyperlink yang digunakan untuk menghubungkan cerita. Cerita yang dianggap sebagai fiksi hypertext pertama adalah Afternoon, a Story (1987) karya Michael Joyce, disusul oleh Victory Garden (1992) karya Stuart Moulthrop’s, dan Patchwork Girl (1995) karya Shelley Jacson.
“Penulis dan pembaca cyber dengan penulis dan pembaca sastra cetak berbeda, yakni mengenai cara menghadirkan sebuah teks, atau yang menurut Hayles disebut ‘kode’. Kode inilah yang membuat keduanya berbeda, sastra cetak menggunakan kode literacy sedangkan cyber menggunakan kode electracy,” jelasnya.
Terdapat 11 genre sastra cyber, yaitu fiksi hyperteks, fiksi interaktif, puisi hyperteks, puisi interaktif, puisi animasi, fiksi berbasis email atau blog, karya sastra instalasi komputer, computer generated fiction, computer generated poetry, karya sastra kolaboratif, dan karya sastra online.
Sementara itu dalam menentukan kanon sastra cyber, yang dapat diamati adalah dari aspek produksi (innovativeness), aspek objek (kedalaman tematik), aspek bentuk (estetika overstructuring dan interaksi semiotik), dan aspek penerimaan (kritik, anthologigization/derajad kanonisasi danmotivasi/efek pada pembaca).
“Sastra cyber, sastra lisan, sastra cetak, sastra tulis, dan sastra lainnya tidak jauh berbeda secara filosofis karena bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan budaya masyarakat Indonesia,” tutupnya. (Rh)
Sumber : UAD.AC.ID