Sukses itu tidak menarik. Lho, kok tidak menarik? Tak ada pil ajaib dan metode tercanggih yang bisa menghadirkan kesuksesan dalam sekejap. Sukses tanpa kerja keras, omong kosong. Pengorbanan dan konsistensi terus-menerus mengerahkan usaha setiap hari, hal fundamental untuk meraih sukses.

Siapa kuat bertahan menjalani hari-hari penuh perjuangan? Bagi para penikmat sukses, mungkin tak jadi masalah. Bagi pemalas, itulah masalah terbesar dalam hidup mereka. Jika ada yang instan, mengapa harus lama berjibaku dalam perjuangan melelahkan, begitu pikir para pemalas. Tiada hari tanpa berkhayal, not action dream only.

Kesungguhan dalam berproses kemungkinan besar bisa mengantar kita ke gerbang kesuksesan. Begitulah hukum alamnya. Ketika target tercapai, saya selalu mawas diri, benarkah saya sudah sukses? Bertanya pada diri sendiri itu sangat penting. Karena ‘merasa sukses’ tak pernah sama dengan sukses yang sebenarnya. Jika saya anggap ‘merasa sukses’ sebagai kesuksesan, maka sukses berhasil menjebak saya. Saya terjebak, saya kehilangan makna sukses yang sesungguhnya.

Nah, saya tertarik untuk bertanya, apakah penyelenggaraan pendidikan di negeri ini sudah sukses? Jika saya gagal menjelaskan status kesuksesan hidup saya, itu persoalan kecil, hanya urusan satu orang saja. Tapi bingung menentukan pencapaian sukses pendidikan anak negeri, wualah ini sudah masuk kategori persoalan besar. Karena terkait urusan kebijakan sistemik, dampaknya bisa berbahaya.

Mari cermati data-data menarik berikut. Pertama, laporan Mendikbud Mohammad Nuh dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR RI tanggal 21 Maret 2011, 88,8 persen sekolah di Indonesia—SD hingga SMA/SMK—belum melewati mutu standar pelayanan minimal.

Berdasarkan data yang ada, 40,31 persen dari 201.557 sekolah di Indonesia berada di bawah standar pelayanan minimal, 48,89 persen ada di posisi standar pelayanan minimal, dan 10,15 persen sudah memenuhi standar nasional pendidikan. 0,65 persen lainnya termasuk kategori sekolah yang dinilai mampu bersaing dengan mutu pendidikan negara lain, dulu dikenal dengan istilah rintisan sekolah bertaraf internasional.

Tafsir rasional yang bisa dikemukakan, hak-hak belajar anak Indonesia tak mendapatkan pelayanan prima. Hanya anak-anak yang mengenyam pendidikan di sekolah yang sudah memenuhi standar nasional pendidikan saja yang patut bersyukur. Selebihnya, semua berjalan alakadarnya karena infrastruktur sistem sekolah tak memberikan jaminan kualitas. Sukseskah pemerintah mencerdaskan kehidupan anak bangsa?

Kedua, di tahun 2012 tercatat ada 3.600 perguruan tinggi swasta dan hanya ada 92 perguruan tinggi negeri. Dari jumlah itu terdapat 6.000 program studi yang belum terakreditasi (KOMPAS, 18/5/2012). Yang mengerikan, hanya 6 – 7 persen dari semua program studi yang terakreditasi A. Mungkinkah kita berharap lahir kualitas lulusan yang mumpuni jika sedikit sekali program studi di perguruan tinggi kita yang terakreditasi A? Padahal di Indonesia, setiap hari menjamur perguruan tinggi hendak membuka program studi baru. Janjinya menggiurkan, tapi kapasitas manajemen organisasinya abu-abu.

Simak apa yang terjadi di Cina, dengan jumlah penduduk mendekati angka 1,4 miliar, hanya ada 2.263 perguruan tinggi. Yang lebih menarik, China menerapkan kebijakan penggabungan perguruan tinggi yang kecil-kecil menjadi perguruan tinggi besar dengan tata kelola kelembagaan yang lebih profesional (Fact about China Education, 2011). Kualitas itu harus nomor satu.

Cukup menelaah dua data soal kualitas sekolah dan perguruan tinggi, kegelisahan saya tumpah ruah. Padahal, saya masih punya seabrek data beragam terkait potret kualitas guru, hasil studi internasional semacam TIMSS dan PIRLS, dan data lain yang menggambarkan wajah pendidikan Indonesia. Terakhir, saya membayangkan kengerian yang tengah terjadi setelah mendaras kajian dari World Bank tentang survei kualitas tata kelola pendidikan pada 50 pemerintah daerah di Indonesia. Di salah satu bagian laporan dijelaskan, daerah yang punya sistem perencanaan dan penganggaran yang lebih efektif dengan tingkat persepsi korupsi yang lebih rendah mencatat hasil pendidikan yang lebih baik. Persoalannya, saban hari para kepala daerah banyak yang diciduk karena dugaan korupsi, apa yang bisa diharap?

Di mata pemerintah Malaysia, pendidikan dan pembangunan sumber daya manusia merupakan persoalan hidup matinya Malaysia. Maka, kesungguhan dan kerja nyata untuk terus membenahi sektor pendidikan adalah wajib hukumnya. Karena pendidikan adalah investasi untuk masa depan bangsa. Naasnya, di Indonesia, pendidikan tak lebih penting dari soal pencitraan para pemegang kebijakan.

Soal hasil? Selalu indah di atas kertas. Tapi jauh dari realitas yang sebenarnya. Tak pernah selesai diskusi dari satu rapat ke rapat lainnya. Karena seringnya debat kusir, sehingga lupa apa tujuan yang hendak diraih. Amanat penderitaan rakyat terlupakan. Amanat ‘pihak berkepentingan’ diutamakan, itulah sebab mengapa pendidikan kita kehilangan orientasi.

Jujur, saya tak pernah risau dengan beragam data yang menunjukkan buramnya potret pendidikan Indonesia. Yang jadi soal, tergerakkah kita untuk segera berbenah? Saya paham tugas pemerintah sangat tak mudah. Tapi, maukah pemerintah membuka diri dan mengajak semua elemen bangsa bersinergi? Kritik itu tak mengenakkan. Tapi demi perbaikan pendidikan bangsa, mengapa para pengkritik tak pernah dirangkul agar menjadi bagian dari proses perbaikan pendidikan yang diikhtiarkan pemerintah.

Sukses itu perlu kritik. Dengan kritik, kita jadi paham titik terlemah untuk dibenahi. Kalau kritik tak dihiraukan, bisa jadi kita terjebak penyakit lupa diri. Citra dan popularitas jadi yang utama, tugas mulia mengawal proses perbaikan pendidikan terbengkalai. Sekali lagi, saya tak khawatir kualitas pendidikan belum menggembirakan. Jangan malu menerima kenyataan di hari ini. Tapi yang menggelisahkan, saat pemerintah tutup mata dan tutup telinga atas kritik dari elemen masyarakat untuk urun rembug memperbaiki pendidikan bangsa. Kapan pendidikan kita akan berubah jadi lebih baik?

Kata orang, senyum-senyum sendiri itu tak boleh. Tapi apa boleh buat, saya sering lakukan hal itu. Kapan itu terjadi? Saat pemerintah bilang ujian nasional adalah metode evaluasi terbaik, kurikulum 2013 metode terbaik membentuk karakter siswa, ujian nasional hendak dijadikan indikator kompetensi sekolah, sertifikasi guru jadi jalan meningkatkan kompetensi guru, hehehe. Saat saya berkesempatan bergerilya ke pelosok negeri, berjumpa guru dan kepala sekolah, melihat sekolah dari dekat, ternyata apa yang tersurat di atas kertas tak seindah kenyataan di tataran praktis.

“Saya sudah berpengalaman mengajar 25 tahun. Karena pendidikan terakhir saya SPG, saya harus kuliah S1. Itu khan kebijakan pemerintah. Saya setuju. Tapi, siapa yang biayai kuliah saya? Setidaknya saya harus pergi kuliah ke Makasar atau Papua. Kalau saya kuliah, bagaimana dengan siswa saya. Apa mesti saya tinggal?” komentar salah satu guru di Biak Papua soal kebijakan peningkatan standar kualifikasi pendidikan guru.

Semoga pemerintah segera sadar, asyik dengan diri sendiri itu berbahaya. Apa sebab? Persoalan bisa jadi lebih rumit. Situasi kondisi bisa makin buruk jika kita fokus pada pencitraan. Lupakan soal citra diri. Bekerjalah untuk hal yang benar. Menyiapkan generasi masa depan bangsa yang bisa hidup survive di zamannya, nyatalah kerja pemerintah di hari ini.

Tak penting berapa banyak kebijakan yang sudah dihasilkan pada saat menjabat. Yang esensial, perubahan apa yang akan terjadi akibat dari kebijakan yang sudah diambil? Baik atau buruknya, itulah yang akan dimintai pertanggungjawaban di hari akhir kelak. Apakah kebenaran dan kemaslahatan dijadikan pegangan dalam memutuskan kebijakan pendidikan bagi anak negeri? Ataukah sikap egois menjadi panglima dalam pengambilan keputusan?

Ganti menteri ganti kebijakan, itukah makna sukses di hari ini? Jika hal itu benar adanya, maka sukses itu sangat tidak menarik. Kelak, puluhan tahun kemudian, hanya anak-anak Indonesia yang bisa menilai sukses tidaknya kinerja pemerintah di bidang pendidikan. Sejarah mungkin bisa dimanipulasi. Gagal dikatakan sukses atau sebaliknya. Tapi, kenyataan kita jadi bangsa kuli atau bangsa pemimpin di masa depan, itulah gambaran nyata rancangan konsep pendidikan seperti apa yang ada di benak para pemegang kebijakan kita hari ini. Dan rasa risauku belum mau beranjak pergi.

Oleh Asep Sapa’at (Praktisi Pendidikan, Direktur Sekolah Guru Indonesia – Dompet Dhuafa)
Sumber : republika.co.id

Jebakan Sukses Pendidikan

You May Also Like

One thought on “Jebakan Sukses Pendidikan

  1. I just want to mention I am just new to blogs and absolutely enjoyed this web-site. Almost certainly I’m likely to bookmark your blog post . You certainly come with great posts. Bless you for revealing your blog site.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *