Proses pembangunan ekonomi saat ini masih lebih banyak dipegang oleh kaum elit maupun kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan di dalamnya, hal itu pun kemudian memunculkan kerugian pada masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Di sisi lain, sistem perekonomian dunia menggunakan paham neo liberalisme dengan tujuan mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar atau perdagangan bebas dengan memaksimalkan keuntungan pribadi. Akan tetapi banyak yang beranggapan bahwa sistem ini justru memunculkan krisis ekonomi yang menyebabkan ketidakadilan.

Kondisi itulah yang kemudian mendorong sistem ekonomi yang berbasis perekonomian Islam untuk membangun ekonomi berkelanjutan ke arah yang lebih baik. Hal ini karena sistem berbasis ekonomi Islam diyakini mampu menciptakan kebersamaan ekonomi dengan konsep yang adil. Namun untuk menciptakannya masih diperlukan modal sosial dan dukungan dari berbagai pihak.

“Pembangunan berkelanjutan untuk menciptakan solidaritas ekonomi ini perlu diawali di tingkat masyarakat lokal. Untuk mendorong pembangunan tersebut membutuhkan modal sosial. Modal sosial ini yang benar-benar ampuh untuk membantu menyukseskan agenda besar ini,” papar DR. Anidah Robani selaku pembicara pada seminar Internasional yang bertajuk “Islam, Microfinance and Economic Development in Southeast Asia,” Rabu (21/9) di Ruang Sidang Pasca Sarjana lantai 4 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

DR. Anidah melanjutkan, dalam pembangunan masyarakat bagi microfinance atau layanan masyarakat berpenghasilan rendah, bukan hanya modal keuangan maupun modal intelektual yang dibutuhkan, melainkan mampu menumbuhkan konsep sosial kapital. Konsep sosial kapital ini mencakup jaringan sosial, kepercayaan, dan norma sosial. Selain itu juga perlu membangun konsep komunikasi yang sangat dibutuhkan. “Dalam pengalaman saya saat mewawancarai pengusaha dan manager BMT (Baitul Maal Wat Tamwil, red), mereka lebih melihat pembangunan sosial yang mampu memakmurkan BMT itu sendiri. Rata-rata mereka mengatakan bahwa modal kapital adalah penggerak utama dalam menyukseskan pembangunan berkelanjutan, karena mereka menggunakan konsep perkongsian secara bersama dan memunculkan saling percaya dan mempercayai,” jelas dosen University Technical Malaysia (UTEM-Malaysia) tersebut.

Untuk menciptakan hal tersebut, lanjut DR. Anidah, perlu juga membangun tiga pilar yang saling bergantung dalam menumbuhkan pembangunan berkelanjutan. Diantara ketiga pilar tersebut yaitu adanya roda pertumbuhan ekonomi, modal kelestarian lingkungan, serta modal sosial berkelanjutan. “Untuk menciptakan dan membangun roda ekonomi, maka dibutuhkan kegiatan kewirausahaan yang mampu menghasilkan pendapatan dan kekayaan. Modal sumber daya alam juga menjadi pilar yang saling bergantung dalam pembangunan berkelanjutan. Ini karena SDM sebagai modal saham, dan penggunanya pun harus adil dalam pendistribusian. Selain itu modal sosial seperti jaringan, nilai-nilai sosial, norma, dan afiliasi sebagai modal yang mendukung juga,” ujarnya.

Dalam seminar Internasional tersebut, Ketua Jurusan Ekonomi Perbankan Islam (EPI), Syarif As’ad, SEI., M.Si mengatakan bahwa perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di Asia tenggara sangat cepat. Dimana Negara-negara tersebut menginginkan kolaborasi serius bagaimana pemerintah dan orang-orang berkompeten di dalamnya terus didorong untuk mau turut mengembangkan ekonomi Islam. “Microfinance bisa dikatakan baik dalam kurun waktu 20 sampai 25 tahun. Saat ini Malaysia menjadi tolak ukur dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan berbasis ekonomi Islam. Sehingga pada kesempatan ini mengundang pembicara yang mempunyai pakar terkait microfinance Islam dalam pembangunan berkelanjutan,” tandasnya. -(hv)

Sumber : www.umy.ac.id

Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Ekonomi Islam, Butuh Modal Sosial

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *