Stigma Radikalisme adalah Fakta Sosial yang Nyata
Mengangkat tema “Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan dalam Perspektif Sosiologi” Prof Haedar Nashir mengawali pidatonya dengan pertanyaan mengenai Radikal dan Radikalisme. Bukan hal yang disengaja, ia memaparkan bahwa akhir-akhir ini Indonesia banyak dikaitkan dengan dua istilah tersebut. “Indonesia seolah berada dalam darurat radikalisme, hampir banyak diksi dan kalimat untuk menunjukan Indonesia ada pada situasi Radikal.” Lebihnya, kata radikal tersebut sering disangkut-pautkan dengan agama khususnya Islam.
“Lalu, bagaimana dengan peristiwa di Wamena, pembunuhan 31 pekerja pembangunan jalan di distrik Yigi, Nduga Papua, pembakaran masjid di Tolikara serta gerakan separatis yang mengancam keamanan rakyat dan negara?” pertanyaan ini sontak memaparkan fakta yang mengacu pada pemaparan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu periode 2014-2019, yaitu tindakan tersebut bukan kelompok kriminal biasa, namun kelompok pemberontak.
Awal Mula Lahirnya Radikalisme
Merujuk pada KBBI, pria kelahiran 25 Februari 1958 ini memaparkan tiga arti kata radikal yaitu (1) secara mendasar, (2) amat keras menuntut perubahan, dan (3) maju dalam berpikir dan bertindak. Hal yang menarik, Ketua PP Muhammadiyah ini mencoba mengulik sejarah kelahiran radikalisme yang pertumbuhannya justru di Eropa. Pada 1797 radikal pertama kali muncul pada konteks politik dengan sebutan “reformasi radikal”. “Gerakan radikal dan radikalisme lebih banyak dijumpai dalam kelompok politik,” lanjutnya. Di Indonesia, gerakan komunisme atau Partai Komunis Indonesia (PKI) termasuk paham marxisme radikal yang terbilang sangat radikal. Gerakan ini bahkan totaliter dengan menghalalkan segala cara dan menimbulkan berbagai pertentangan konflik keras dalam masyarakat.
Berawal dari tragedi peledakan WTC (World Trade Center), serta adanya peristiwa bom yang kemudian dikenal dengan tindakan terorisme semakin kuat mengangkat fakta sosial mengenai isu radikalisme. Kasus ini kerap memperkuat diksi bahwa radikal dan terorisme sering dikonotasikan dengan kelompok Islam. Kenyataannya memang terdapat kelompok yang bertautan dengan ideologi Islam garis keras. “Namun, hal tersebut tidak dapat dijadikan generalisasi yang membangun cara pandang dan kebijakan bahwa radikalisme itu adalah radikalisme agama. Sehingga sasarannya pun institusi sosial seperti masjid, majelis taklim, dan bagian-bagian dari kelembagaan umat Islam,” tegas Prof Haedar.
Pancasila sebagai Ideologi, Moderasi jadi Alternatif
Hal tersebut menyimpulkan bahwa persoalan mengenai Radikalisme bukanlah persoalan sederhana dan tidak bisa disederhanakan. Prof Haedar menegaskan bahwa radikalisme atasnama apapun dan dilakukan oleh siapapun merupakan persoalan yang sangat merugikan masa depan bangsa dan kehidupan umat manusia. Karenanya, tidak semestinya terdapat ambiguitas, standar ganda, dan melakukan politisi dalam mengkontruksi radikalisme sehingga label radikalisme dan hanya diperuntukkan untuk golongan tertentu.
“Berlandaskan Pembukaan UUD 1945, Indonesia harus mampu menyelesaikan masalah radikalisme dalam ranah politik, ekonomi, budaya, dan keagamaan,” ucap Dosen FISIPOL UMY ini. Mengusung kata moderasi, Prof Haedar mencoba memberikan jalan alternatif dari deradikalisasi untuk menghadapi segala bentuk radikalisasme secara moderat.
Berdasarkan pancasila, moderasi Indonesia dan keindonesiaan dapat menjadi pandangan dan orientasi yang perlu diutamakan. Dalam konteks moderasi agama, Prof Haedar mengapresiasi apa yang dilakukan oleh menteri agama pada periode lalu. “Yakni melakukan moderasi Indonesia sebagai arus utama dalam kehidupan bangsa Indonesia kedepan.”
Prof Haedar sangat menyayangkan jika ketakutan terhadap jihadis, khilafah dan lainnya justru menjadi alasan untuk menghapus materi pembelajaran yang terkait dengan jihadis dan khilafah. “Tetap ajarkan jihad dan materi khilafah, namun kita luruskan pemahamannya sebagaimana apa yang diajarkan Nabi Muhammad SAW,” lanjutnya.
Karena itu segala bentuk stigma terhadap radikalisme agama termasuk radikalime Islam harus kita sudahi dan tempatkan dalam seluruh mainstream radikalisme. Namun Prof Haedar menegaskan bagi kaum beragama pandangan ini tidak berarti membenarkan radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme, atas nama agama manapun termasuk Islam. Islam tidak membenarkan ekstrimisme dan terorisme dalam bentuk apapun. “Karena Islam menghadirkan agama yang damai untuk seluruh umat semesta,” tutupnya.