Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STIKIP) Muhammadiyah Sorong, Rustamaji menilai, ada dua alasan utama Muhammadiyah sangat diterima di Papua. Karenanya, tidak heran ada sekitar empat Perguruan Tinggi Muhammadiyah berdiri di Papua.
“Alasannya, pertama karena semua orang di Papua itu kenal Muhammadiyah,” kata Rustamaji saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (12/7).
Makanya, lanjut Rustamaji, kalau ada orang Muhammadiyah yang membuat amal usaha dengan nama lain itu keliru. Kedua, karena orang-orang di Papua melihat Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Jawa begitu profesional, sehingga ada kesimpulan kalau dalam mengelola pendidikan Muhammadiyah lebih profesional.
Bahkan, di Sorong ada suster-suster dan biarawati-biarawati yang menjadi mahasiswi dan sudah menjadi pemandangan biasa. Maka itu, jangan kaget kalau mereka memang lebih hafal dengan ‘Sang Surya’ yang merupakan mars Muhammadiyah. Tentu mereka mampu menyanyikannya lebih baik karena sudah berlatih di gereja.
Salah satu pembedanya karena STIKIP Muhammadiyah di Sorong memiliki kearifan lokal, memahami karakter dan budaya anak-anak Papua dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Jadi, semisal di Jawa ada batas pembayaran untuk pendaftaran, mereka di STIKIP Sorong sudah bsia mendaftar sebelum membayar.
“Ada yang sampai wisuda masih belum lunas, ini salah satu bentuk kearifan lokal, dan kita harus sadar kita di mana, jadi tidak boleh semata-mata mengejar profit,” ujar Rustamaji.
Ia menekankan, tenaga pendidik di STIKIP Muhammadiyah Sorong harus betul-betul memiliki misi memajukan saudara-saudara di Papua. Hasilnya, masyarakat lokal pun menyadari kalau adanya Muhammadiyah itu untuk Papua, dan mereka menerimanya dengan tangan terbuka tanpa ada satupun tudingan yang terdengar.
STIKIP Muhammadiyah Sorong sendiri berdiri sejak 2004, dan pada 2016 sudah resmi menyandang akreditasi institusi satu-satunya dengan peringkat B di Papua Barat. Memiliki jumlah mahasiswa 3.000 orang lebih, mereka masuk ke Cluster Madya untuk PTS se-Papua, Papua Barat, Maluku dan Maluku Barat.
Jika dilihat di BAN-PT, STIKIP Muhammadiyah Sorong jadi satu dari 350-an PTS yang terakreditasi institusi B dari 4.000-an dan jadi Peguruan Tinggi termuda di Indonesia. Ada 9 program studi yaitu Bahasa dan Sastra Indonesia, Inggris, Biologi, Matematika PPKN, PGSD, PJKL IPA dan Teknologi Informasi.
“Dan selama ini di STIKIP Muhammadiyah Sorong sendiri ada sekitar 70 persen mahasiswa non-Muslim dan tidak pernah terjadi semacam konflik antara mahasiswa apalagi masalah agama,” kata Rustamaji.
Ia menegaskan, mereka tetap mengikuti UU Pendidikan yang mengatur mahasiswa itu harus mendapatkan mata kuliah agama sesuai agama dari dosen yang sesuai keyakinannya. Maka itu, mata kuliah Kristen pun diajarkan dosen Kristen, kecuali Kemuhammadiyahan mengingat itu pengetahuan wajib yang umum.
Termasuk, lanjut Rustamaji, pendidikan bahasa arab yang sudah jadi umum diberikan dan tidak pernah menimbulkan masalah. Ia malah heran bila mendengar konflik yang terjadi di daerah-daerah luar Papua, dan ini yang tampaknya layak dijadikan model bagi kampus-kampus di seluruh Indonesia.
Ada pula program-program yang bermitra dengan UNICEF seperti literasi dan PAUD, dan dilibatkan tenaga-tenaga non-Muslim dari Papua, Ambon dan sebagainya. Mereka pun mengaku nyaman dan tidak jarang tenaga-tenaga pengajar yang non-Muslim dengan bangga mengaku sebagai Muhammadiyah.
“Bagi saya, saya anggota Muhammadiyah biasa, tapi bapak-bapak itu anggota istimewa Muhammadiyah,” ujar Rustamaji.
Sumber Republika