Aplikasi JASGO Hantarkan Dosen UM Sorong ke Startup Inovasi Indonesia

Melalui aplikasi JASGO, Teguh Hidayah Iskandar Alam bersama tim @jasgo.id berkesempatan menghadiri acara launching brand dan kick off Program Startup Inovasi Indonesia 2020, Kamis (5/3). Digelar di Auditorium B.J Habibie gedung BPPT Jakarta, acara ini diprakarsai oleh Kementeritan Riset dan Teknologi/BRIN. Pada kesempatan yang sama, Menristek/Kepala BRIN mengubah nama program Kemenristek/BRIN yang membina startup dari sebelumnya bernama Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi (PPBT) menjadi Startup Inovasi Indonesia (SII).

Dosen Jurusan Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Sorong ini merupakan salah satu penerima Hibah Calon Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi dan Perguruan Tinggi. Mengusung pariwisata di Sorong, Teguh bersama tim mengembangkan aplikasi Jelajah Sorong. Saat ini aplikasi sudah dapat diunduh di PlayStore dan AppStore. Bahkan kini aplikasi tersebut sudah berubah menjadi JasGo.Id karena memperluas cakupannya ke Papua Barat. Menurut Teguh, Papua mempunyai sumber daya yang tidak kalah hebat. Semua ini hanya masalah mau atau tidak mau memajukan Tanah Papua. “Saya yakin Papua punya andil dan hak yang sama dalam perkembangan startup di Indonesia,” jelasnya.

Ke depannya, Teguh berharap hibah yang diperolehnya dapat memacu semangat para teknisi teknologi informasi dan dosen di Papua untuk berkarya. “Agar bisa bersanding dengan perusahaan yang sama dari seluruh Indonesia,” tambahnya. Sementara itu Rektor UM Sorong, Hermanto Suaib, mengapresiasi pencapaian ini. Disampaikan bahwa adanya Jurusan Teknik Informatika di UM Sorong salah satunya bertujuan untuk menyediakan tenaga  teknologi informasi yang handal.

LPD Unimuda Sorong Siap Laksanakan Diklat Kepala Sekolah 2019

Lembaga Penyelenggara Diklat (LPD) Universitas Pendidikan Muhammadiyah (UNIMUDA) Sorong mendapat kepercayaan oleh Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menyelenggarakan pendidikan serta pelatihan penguatan kepala sekolah. Diklat yang diperuntukkan untuk kepala sekolah TK, SD, SMP, SMA dan SMK akan dipusatkan di Hotel Kyriad mulai dari tanggal 28 Oktober 2019.

“Ada 3 lembaga yang dipercaya, sehingga diinformasikan kepada kepala sekolah agar mengecek nama apakah masuk atau tidak karena keikutsertaan Diklat ini berdasarkan rekomendasi dari Dinas,” ujar Rustamadji selaku rektor UNIMUDA Sorong

Mukhlas Triono selaku Direktur LPD Unimuda Sorong menjelaskan data awal yang diterimanya terdapat 281 kepala sekolah yang akan mengikuti diklat. Rencananya akan dibagi dalam 3 gelombang dikarenakan keterbatasan tempat. Setiap gelombangnya akan mengikuti diklat selama 8 hari sehingga total pelaksanakan selama 24 hari yang melibatkan 9 tenaga profesional penyelenggaara diklat.

Workshop AIK untuk PTM Indonesia Timur : Tingkatkan Kapasitas Kompetensi Dosen AIK

Workshop penyegaran Al Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) kawasan timur dilaksanakan di Sorong, Selasa hingga Kamis (27-29/08). Kali ini yang menjadi tuan rumah adalah Universitas Muhammadiyah Sorong. Dibuka oleh Ketua Diktilitbang PP Muhammadiyah, Prof. H. Lincolin Arsyad, PhD, acara ini dihadiri oleh perwakilan dari PTM yang berada di daerah timur Indonesia, seperti STIKES Muhammadiyah Manado, STIKOM Muhammadiyah Jayapura, STIKIP Muhammadiyah Manokwari, Universitas Muhammadiyah (UM) Kupang, UM Sorong, UM Maluku Utara, dan Unimuda Sorong.

Rektor UM Sorong, Dr. Hermanto Suaib, MM, mengatakan tujuan kegiatan ini untuk meningkatkan kapasitas kompetensi dosen-dosen AIK agar dapat menyesuaikan tuntutan zaman. Diakui juga meskipun berada di wilayah mayoritas non muslim, pertumbuhan PTM cukup menggembirakan serta mendapatkan apresiasi dari masyarakat dan pemerintah sekitar.

Hermanto berharap kegiatan ini bisa menjamin keberlanjutan kiprah PTM di wilayah-wilayah mayoritas non muslim. “Ketulusan dan keikhlasan dalam bekerja dan beradaptasi dengan lingkungan adalah salah satu kunci keberhasilan,” tambahnya.

Muhammadiyah Sangat Diterima di Papua

Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STIKIP) Muhammadiyah Sorong, Rustamaji menilai, ada dua alasan utama Muhammadiyah sangat diterima di Papua. Karenanya, tidak heran ada sekitar empat Perguruan Tinggi Muhammadiyah berdiri di Papua.

“Alasannya, pertama karena semua orang di Papua itu kenal Muhammadiyah,” kata Rustamaji saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (12/7).

Makanya, lanjut Rustamaji, kalau ada orang Muhammadiyah yang membuat amal usaha dengan nama lain itu keliru. Kedua, karena orang-orang di Papua melihat Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Jawa begitu profesional, sehingga ada kesimpulan kalau dalam mengelola pendidikan Muhammadiyah lebih profesional.

Bahkan, di Sorong ada suster-suster dan biarawati-biarawati yang menjadi mahasiswi dan sudah menjadi pemandangan biasa. Maka itu, jangan kaget kalau mereka memang lebih hafal dengan ‘Sang Surya’ yang merupakan mars Muhammadiyah. Tentu mereka mampu menyanyikannya lebih baik karena sudah berlatih di gereja.

Salah satu pembedanya karena STIKIP Muhammadiyah di Sorong memiliki kearifan lokal, memahami karakter dan budaya anak-anak Papua dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Jadi, semisal di Jawa ada batas pembayaran untuk pendaftaran, mereka di STIKIP Sorong sudah bsia mendaftar sebelum membayar.

“Ada yang sampai wisuda masih belum lunas, ini salah satu bentuk kearifan lokal, dan kita harus sadar kita di mana, jadi tidak boleh semata-mata mengejar profit,” ujar Rustamaji.

Ia menekankan, tenaga pendidik di STIKIP Muhammadiyah Sorong harus betul-betul memiliki misi memajukan saudara-saudara di Papua. Hasilnya, masyarakat lokal pun menyadari kalau adanya Muhammadiyah itu untuk Papua, dan mereka menerimanya dengan tangan terbuka tanpa ada satupun tudingan yang terdengar.

STIKIP Muhammadiyah Sorong sendiri berdiri sejak 2004, dan pada 2016 sudah resmi menyandang akreditasi institusi satu-satunya dengan peringkat B di Papua Barat. Memiliki jumlah mahasiswa 3.000 orang lebih, mereka masuk ke Cluster Madya untuk PTS se-Papua, Papua Barat, Maluku dan Maluku Barat.

Jika dilihat di BAN-PT, STIKIP Muhammadiyah Sorong jadi satu dari 350-an PTS yang terakreditasi institusi B dari 4.000-an dan jadi Peguruan Tinggi termuda di Indonesia. Ada 9 program studi yaitu Bahasa dan Sastra Indonesia, Inggris, Biologi, Matematika PPKN, PGSD, PJKL IPA dan Teknologi Informasi.

“Dan selama ini di STIKIP Muhammadiyah Sorong sendiri ada sekitar 70 persen mahasiswa non-Muslim dan tidak pernah terjadi semacam konflik antara mahasiswa apalagi masalah agama,” kata Rustamaji.

Ia menegaskan, mereka tetap mengikuti UU Pendidikan yang mengatur mahasiswa itu harus mendapatkan mata kuliah agama sesuai agama dari dosen yang sesuai keyakinannya. Maka itu, mata kuliah Kristen pun diajarkan dosen Kristen,  kecuali Kemuhammadiyahan mengingat itu pengetahuan wajib yang umum.

Termasuk, lanjut Rustamaji, pendidikan bahasa arab yang sudah jadi umum diberikan dan tidak pernah menimbulkan masalah. Ia malah heran bila mendengar konflik yang terjadi di daerah-daerah luar Papua, dan ini yang tampaknya layak dijadikan model bagi kampus-kampus di seluruh Indonesia.

Ada pula program-program yang bermitra dengan UNICEF seperti literasi dan PAUD, dan dilibatkan tenaga-tenaga non-Muslim dari Papua, Ambon dan sebagainya. Mereka pun mengaku nyaman dan tidak jarang tenaga-tenaga pengajar yang non-Muslim dengan bangga mengaku sebagai Muhammadiyah.

“Bagi saya, saya anggota Muhammadiyah biasa, tapi bapak-bapak itu anggota istimewa Muhammadiyah,” ujar Rustamaji.

Sumber Republika

Perguruan Tinggi Muhammadiyah, Simbol Toleransi di Timur Indonesia

Toleransi secara otentik diterapkan Muhammadiyah, termasuk di Indonesia timur. Tidak tanggung-tanggung, enam Perguruan Tinggi Muhammadiyah berdiri di Indonesia timur, dengan mahasiswa yang sebagian besar merupakan non-Muslim.

Sekretaris Majelis Pendidikan Tinggi Muhammadiyah, Muhammad Sayuti menuturkan, memang menjadi kebijakan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah untuk memberi perhatian ke daerah terluar, terdepan dan tertinggal. Termasuk, daerah yang Muslimnya minoritas agar mendapat perhatian dalam konteks dawkawh.

Implikasinya, Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) di kantong-kantorng non-Muslim menjadi perhatian, mengingat ada setidaknya enam PTM dengan rata-rata memiliki 70-80 persen mahasiswa non-Muslim. Terdapat empat PTM di Papua dan dua di Nusa Tenggara Timur (NTT).

PTM itu Universitas Muhammadiyah Sorong, Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STIKIP) Muhammadiyah Sorong, STIKIP Muhammadiyah Manokwari, Sekolah Tinggi Komputer (STIKOM) Muhammadiyah Jayapura, Universitas Muhammadiyah Kupang dan IKIP Muhammadiyah Maumere.

Hebatnya, di kampus-kampus itu mereka yang sebagian besar beragama Protestan dan Katolik, memiliki kepercayaan yang sangat besar kepada Muhammadiyah. Padahal, mereka memiliki kewajiban mempelajari Al Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK), yang memberi pemahaman tentang Islam secara benar.

“Itu yang tidak banyak dimuat orang, kita (Muhammadiyah) non-Muslim saja percaya, dan selama kuliah mereka tidak pernah merasa diintimidasi, dan teman-teman dosen tentu melakukan modifikasi mata kuliah Al Islam tersebut,” kata Sayuti saat dihubungi Republika, Rabu (12/7).

Sejumlah model pembelajaran memang diterapkan, terutama untuk AIK, mengingat setiap daerah tentu memiliki kekhasan sendiri. Tapi, penerimaan Muhammadiyah di kantong-kantong Katolik dan Protestan itu berjalan dengan baik, termasuk untuk lagu Sang Surya yang merupakan mars dari Muhammadiyah.

Ditambah anugerah asal rata-rata orang Indonesia timur, bisa dibilang penyanyi-penyanyi terbaik Sang Surya justru berasal dari kampus-kampus tersebut. Di Sorong, sudah pemandangan biasa ada non-Muslim yang memimpin lagu Sang Surya, sehingga menunjukkan lagi bagaimana penerimaan itu sangat baik adanya.

Sumber Republika