Kemanakah kunang-kunang itu perginya? Kisah kunang-kunang malang yang terabaikan dan tergusur oleh sikap dan perilaku egois manusia, sungguh menyedihkan. Bagi orang seperti saya yang tergolong ‘Yesterday People’. Kunang-kunang sungguh begitu memorable karena mereka pernah menghiasi kemeriahan malam-malam kami di kampung yang dulu gelap gulita dikarenakan belum adanya listrik untuk menyinari. Bersama mereka, kami menjalani malam-malam yang romantis. Meskipun terkadang takut juga karena termakan mitos bahwa kunang-kunang berasal dari kuku orang mati. Pada malam-malam tertentu, kunang-kunang hadir begitu meriah mempertontonkan kerlipan cahaya (sebagai efek kerja bioluminescence) dan tidak kenal lelah terbang ke sana ke mari menjadikan malam begitu indah dan terasa megah.
Jika Rachel Carson menulis sebuah buku yang legendaris: “Silent Spring”, sebagai ungkapan keterkejutan dan kesedihannya menyaksikan alam sekitar yang berubah secara tiba-tiba. Musim semi yang biasanya meriah dan riuh rendah sebagai “lebaran” para binatang sehabis hibernasi di musim dingin yang mencekam, tapi di pagi musim semi itu justru sangat sepi. Kemanakah gerangan burung-burung, serangga, dan binatang lain perginya secara tiba-tiba? Jawabannya, menyedihkan. Ternyata mereka semua tidak lagi dapat bersuara karena sedang menderita sakit akut, bahkan mati bergelimpangan karena efek berantai penggunaan pestisida yang tidak terkontrol. Jadilah, pagi itu musim semi yang sunyi, dan tersunyi dari musim-musim semi sebelumnya.
Maka, pada konteks yang sama kita dapat mengambil angle dan perspektif Carson terhadap fenomena menghilangnya kemeriahan bias sinar kunang-kunang di malam hari, sebagai “Blue Night”. Malam yang sendu dan suram. Malam-malam penuh cahaya alam nan natural dan syahdu kini tergantikan cahaya lampu yang gemerlapan dan masif, yang justru disinyalir sebagai salah satu faktor penyebab kepunahan kunang-kunang. Cahaya buatan yang dimaksud para peneliti mencakup pencahayaan langsung, seperti lampu dan papan iklan, serta skyglow yang merupakan pencahayaan pada malam hari yang menyebar dan biasanya tampak lebih terang daripada bulan purnama.
Menurut sebuah studi, polusi cahaya di samping menganggu bioritme alami kunang-kunang, juga benar-benar mengacaukan ritual kawin kunang-kunang. Banyak kunang-kunang yang bergantung pada kemampuan diri mereka untuk bercahaya dalam mencari dan menarik perhatian pasangan. Lingkungan yang terlalu terang akibat cahaya buatan manusia bisa mengganggu ritual ini. Polusi cahaya bahkan disebut para ahli sebagai ancaman tingkat global paling serius kedua bagi kunang-kunang.
Namun faktor penyebab utama punahnya kunang-kunang adalah hilangnya habitat “special” kunang-kunang, yaitu sebuah habitat alaminya yang harus bebas dari jenis pupuk ataupun pestisida sintetis. Selain itu kunang-kunang menyukai tempat yang memiliki kelembapan tinggi, cenderung basah, dan hangat seperti hutan basah, rawa-rawa, sepanjang tepian sungai, lahan perkebunan dan lahan tanaman padi. Berdasarkan karakteristik tersebut, kunang-kunang sering dijadikan bio-indikator lingkungan alami dan bersih. Sebab, kunang-kunang merupakan serangga yang sangat sensitif/rentan terhadap degradasi dan pencemaran lingkungan.
Lalu, bagaimana dengan pendapat bahwa kunang-kunang banyak tinggal di kuburan karena berasal dari kuku orang mati? Itu mitos atau fakta? Dua-duanya, kunang-kunang secara fakta menyukai tinggal di kuburan karena tanah kuburan beberapa tahun lalu adalah tanah yang relatif steril, yang bebas dari penggunaan pupuk organik dan pestisida (bukan karena berkembang biak dari kuku orang mati). Namun seiring perkembangan zaman dengan mudah dan murahnya membeli pestisida, maka untuk menyiangi rumput-rumput yang tumbuh di pemakaman tidak lagi menggunakan cangkul tapi pestisida rumput (herbisida). Telur dan larva kunang-kunang pun mati dan terkubur di kuburan manusia.
Di tempat lain pun begitu, malah lebih parah. Hampir semua sawah dan kebun kita kini penuh dengan pupuk sintetetis dan residu kimia pestisida. Saatnya, kita mengucapkan selamat jalan kepada kunang-kunang dari kampung atau pun kota yang kita tinggali seraya meminta maaf atas apa yang telah kita lakukan kepada mereka. Sambil berharap semoga mereka dapat menemukan tempat baru yang lebih homy dan menjamin keberlangsungan kehidupannya.
Penulis : Dr. Achyani, M.Si. (Dosen S2 Pendidikan Biologi UM Metro)