Pemerintah dewasa ini terus berupaya untuk meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap dunia pendidikan. Karena disadari bahwa ketimpangan infrastruktur pendidikan di pelosok nusantara cukup besar. Oleh sebab itu dalam beberapa tahun ke depan pemerintah akan meningkatkan aksesibilitas pendidikan.
Bagi Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, semakin banyak jumlah Perguruan Tinggi (PT) saat ini memang diperlukan. Namun jika mutunya tidak terkendali, maka justru akan mencoreng wajah dunia pendidikan di Indonesia.
“Ini yang menjadi sorotan kami, sekalipun masyarakat membutuhkan aksesibilitas yang tinggi dengan adanya jumlah PT yang mencukupi, namun masyarakat juga layak untuk mendapat PT dengan mutu yang terjamin,” kata Wakil Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, Prof Edy Suandi Hamid di Yogyakarta, Rabu (12/7).
Pandangan yang ia sampaikan berkaitan dengan potret aktual dari dunia PT di Indonesia selama ini. Dari sini, ia percaya diri bahwa Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah (PTMA) berhasil menjadi acuan bagi pembuatan regulasi terkait PT di Indonesia. “Acuan itu terkait orientasi pada kualitas dibanding kuantitas,” ujar Edy menambahkan.
Meskipun demikian, pria yang juga guru besar pada Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) itu tak menampik, kuantitas merupakan unsur yang penting. Namun sebelum membicarakan kuantitas, alangkah baiknya hal itu juga dibarengi dengan adanya capacity building, sehingga menghasilkan PT yang berkualitas.
Ia mengatakan, begitu banyaknya jumlah PT di Indonesia dimana saat ini jumlahnya cenderung tidak terkendali, akhirnya menyadarkan pemerintah untuk kemudian menerapkan moratorium terbatas. Dengan adanya moratorium terbatas itu, maka perizinan pendirian PT untuk beberapa program studi di beberapa wilayah menjadi tak semudah sebelumnya.
“Muhammadiyah telah menerapkan pembatasan pendirian Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah (PTMA) ini jauh sebelum kebijakan pemerintah yang mulai diterapkan pada awal tahun ini,” ucapnya.
Gambaran ini menunjukkan, lanjut Edy, Muhammadiyah lebih dahulu menyadari bahwa peningkatan kualitas adalah sebuah keniscayaan. Hal tersebut juga dibuktikan melalui realisasi dari visi dan misi PTMA menjadi PT dan program studi yang unggul. Tak mengherankan, lanjut dia, kini yayasan yang memiliki jumlah institusi PT terbanyak di dunia itu telah berhasil menelurkan empat PTMA (UMY, UMM, UHAMKA, dan UMS) dengan Akreditasi A dan 85 Prodi dengan Akreditasi A.
Meskipun begitu, ia juga menyadari dari sisi kuantitas, jumlah PTMA relatif stagnan. Bahkan, secara kelembagaan maupun jumlah mahasiswa, terjadi penurunan dari sisi market share. “Ini bukan disebabkan oleh penurunan jumlah PTMA atau jumlah mahasiswa, melainkan karena pertumbuhan PTMA jumlahnya dibawah angka pertumbuhan nasional,” ucap Edy.
Namun secara substansi, ia mengklaim bahwa PTMA memiliki kualitas yang relatif lebih baik dibandingkan kebanyakan PTS ‘perorangan’, terutama PTS yang terdapat di daerah-daerah. Apalagi, dari semua PTMA, jumlah institusi yang telah terakreditasi sudah lebih dari 48 persen. Sementara PTS lain masih berkisar di angka 20 persen.
Dari sini Edy pun optimistis bahwa PTMA bukanlah pemain pinggiran, karena PTMA dapat bermain di kelas menengah dan kelas atas. Bahkan, terdapat PTMA yang kualitasnya lebih unggul dibanding Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Beberapa keunggulan berhasil diraih oleh PTMA karena adanya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Indikatornya terlihat dari jumlah guru besar atau pangkat fungsionalnya, serta jenjang pendidikan akademik dari staf pengajar atau dosen. “Hal itu juga didukung dengan hasil riset dan publikasi yang berkualitas,” katanya.
Tak hanya itu, seluruh keunggulan yang dimiliki PTMA juga didukung oleh sarana dan prasarana pendidikan yang baik serta proses belajar mengajar yang terstruktur, baik serta disiplin. Seluruh indikator itu tentu memiliki kontribusi dalam melahirkan lulusan yang unggul baik dari sisi akademis, keterampilan serta karakter.
Menurutnya, indikator-indikator itulah yang membuat PTMA berhasil mendapatkan kepercayaan publik dan membuatnya menjadi pilihan bagi para calon mahasiswa.
Oleh karena itu, ia pun sangat sepakat dengan adanya moratorium pendirian PT. Karena, lanjut Edy, meski kuantitas penting sebagai organisasi dakwah, namun kualitas jauh lebih penting sehingga PT mampu hadir sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dapat memberikan manfaat yang optimal.
“PTMA hadir bukan sekedar ada, namun hadir untuk berkontribusi dalam melahirkan insan cerdas, percaya diri dan berakhlak mulia,” ucapnya.
Selain itu, ia juga menekankan bahwa masyarakat tak perlu khawatir akan adanya intoleransi atau radikalisme dalam PTMA, karena, visi PTMA dalam memajukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta keterampilan untuk pembangunan dan masyarakat Indonesia dilakukan berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945.
Sumber Republika